Beranda Opini Opini Publik sebagai Sebuah Tuntutan Bersama

Opini Publik sebagai Sebuah Tuntutan Bersama

oleh Redaksi

Hukuman sosial merupakan cara masyarakat memberi tanggapan terhadap suatu penyimpangan yang terjadi. Jenis hukuman ini merupakan sesuatu yang cukup krusial lantaran bisa membentuk stigma yang akan berpengaruh pada citra seseorang.

Orang dengan status “pernah melakukan tindakan kriminal” mesti siap jika nantinya akan berhadapan dengan stigma dari masyarakat. Mereka harus sanggup bila nantinya akan berhadapan dengan penolakan dari lingkungan sekitar.

Hal ini bisa menjadi lebih fatal lagi jika pelaku kejahatan berasal dari kalangan tokoh masyarakat. Orang dengan pengikut dan penggemar yang banyak akan lebih menjadi sorotan. Hal ini dapat mempertaruhkan karier mereka ke depannya jika gagal mempertahankan citra yang baik.

Namun, yang menjadi poin pentingnya adalah selepas mendapat hukuman atas tindakan kriminal yang pernah dilakukan, pantaskah mereka kembali ke area publik dan menekuni kegiatan seperti sediakala? Apakah mungkin mereka dapat dilepas ke muka umum untuk memberi pembelajaran atas kasus yang pernah menjeratnya?

Penolakan di Balik Bebasnya Pelaku Tindak Kriminal

Belakangan ini, kasus yang menjerat penyanyi dangdut Saipul Jamil kembali ramai diperbincangkan. Pria 41 tahun tersebut berhasil menghirup udara bebas tepat pada tanggal 2 September 2021 kemarin, setelah dipenjara kurang lebih lima tahun akibat kasus pencabulan dan penyuapan.

Sorotan dari publik kemudian makin banyak diarahkan kepada pria ini lantaran penyambutan pasca-bebas dirinya dinilai berlebihan dan tidak beretika. Masyarakat juga dibuat tambah geram akibat banyaknya tawaran pekerjaan yang diterima seusai keluar dari hotel prodeo. Dirinya dikritik oleh masyarakat atas citra yang ditampilkan sebagai mantan pelaku kekerasan seksual.

Kericuhan di masyarakat makin memuncak selepas Ketua KPI Agung Suprio melemparkan sebuah pernyataan kontroversial. Ia menyebutkan bahwa Saipul Jamil, yang statusnya sebagai mantan narapidana, masih diperbolehkan untuk tampil di televisi asalkan dalam konteks memberikan edukasi soal kekerasan seksual kepada masyarakat.

Ironi tersebut telah mendatangkan berbagai kecaman dari berbagai pihak hingga ketua KPI harus meminta maaf atas pernyataan blunder yang telah disampaikannya. Lantas, apakah tepat jika mantan pelaku kejahatan dijadikan sebagai pemberi edukasi atas kasus yang pernah menyeretnya?

Regulasi yang harus ditaati

Berdasarkan ketentuan Pasal 72 (5) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, peran media massa dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

Oleh karena itu, sudah semestinya pihak yang terlibat dalam pembuatan konten di ranah publik harus memperhatikan kesehatan mental dan kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap tayangan yang dibawakan. Jangan hanya mencari rating semata, tetapi konten yang dibawakan seharusnya dapat mengedukasi dengan tepat.

Terutama apabila suatu media massa akan menampilkan mantan pelaku tindakan kriminal dalam tayangannya, perlu dipikirkan dampak tayangan tersebut terhadap kesehatan mental korbannya. Jika dirasa berdampak sangat buruk, jangan sampai pelaku seolah-olah dijadikan pemberi edukasi, sementara korbannya masih menanggung trauma atau dampak negatif lainnya.

Edukasi dari Pihak yang Pantas untuk Hasil yang Tepat

Menyoroti kasus tersebut, reputasi negatif seharusnya cukup membuat seseorang lebih berhati-hati untuk ditampilkan di media publik. Hal ini karena konsumsi konten dari media akan diterima oleh beragam orang dengan latar belakang dan usia yang tidak sama.

Selain contoh kasus Saipul Jamil tersebut, sebelumnya telah banyak contoh seorang pelaku pelanggaran yang malah dijadikan duta atau penyuluh atas kasus yang pernah diperbuatnya. Pada 2016 lalu, penyanyi dangdut Zaskia Gotik pernah tersandung kasus penghinaan terhadap dasar negara karena menyebut lambang sila kelima Pancasila adalah “Bebek Nungging”. Akibat perbuatan ini, dirinya nyaris dijerat pidana walau pada akhirnya malah dijadikan duta pancasila.

Menurut para politikus seperti dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tujuan pemberian gelar Duta Pancasila ini adalah agar sang penyanyi dangdut tidak mengulangi kesalahannya lagi. Selain itu, dirinya diharapkan dapat menyebarkan pentingnya pengetahuan empat pilar kenegaraan kepada masyarakat luas.

Pemberian gelar “duta” dari kalangan selebriti memang cukup penting dilakukan. Hal ini karena mereka akan mendapat sambutan lebih banyak dari publik lantaran status mereka yang terkenal dan memiliki banyak penggemar. Namun, pantaskah edukasi tersebut dilakukan oleh orang yang kontroversial dan justru pernah terjerat kasus kriminal?
Pada dasarnya, orang yang mesti dijadikan representasi dari suatu persoalan adalah mereka yang benar-benar paham atas materi edukasi yang akan disampaikan. Memang penting menggaet orang yang memiliki “nama”, tetapi lebih penting memilih orang yang memang memiliki kapasitas untuk berbicara mengenai hal tersebut.

Kembali lagi kepada permasalahan kekerasan seksual, cara penyampaian dan pihak yang menyampaikan edukasi seharusnya adalah orang yang berkapasitas. Cara yang tidak tepat justru dapat membuat orang bisa saja menjadi salah tafsir sehingga menganggap pedofilia sebagai suatu hal yang biasa, bukan kejahatan yang harus mendapat perhatian. Jangan sampai kesadaran publik mengenai isu kekerasan seksual hanya terbentuk berdasarkan sudut pandang pelaku semata.

Jika dibiarkan, suatu saat masyarakat bisa saja menormalisasi perilaku yang berhubungan dengan kekerasan seksual, melihat pelakunya saja bisa tampil dan memperoleh sambutan di media massa. Buruknya, dapat timbul simpati dari beberapa golongan masyarakat kepada pelaku karena dianggap telah berhasil memberikan edukasi.

Baik pada isi materi, sosok yang membawakan, maupun citra yang ditampilkan seharusnya senantiasa merujuk pada suatu hal, yaitu memberi manfaat dan kenyamanan pada masyarakat umum. Jika kebanyakan masyarakat menentang, hal tersebut sangat cukup dijadikan bahan pertimbangan dan evaluasi terhadap konten mana yang pantas dihadirkan dan mana yang hanya menimbulkan kontroversi semata.

Pentingnya opini publik

Merujuk pada kasus yang tengah marak saat ini, opini publik begitu diperlukan dan menjadi suatu hal yang amat penting. Hal ini karena kritik, saran, serta tanggapan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh penanggung jawab. Jadi, jangan takut untuk menyuarakan pendapat jika mengetahui ada sesuatu yang menyimpang.

Hakikat opini publik adalah integrasi dari pendapat masyarakat. Hal ini menandakan bahwa suatu tanggapan dapat menjadi lebih kuat jika diberikan secara masif dalam satu paham yang serupa.

Suatu isu sosial yang hadir di tengah masyarakat serta menimbulkan ketertarikan dan pandangan yang sama akan melahirkan penilaian sosial. Kemudian, masyarakat dapat menarik keputusan bersama untuk bisa menyuarakan tuntutannya kepada pihak yang bersangkutan.

Oleh karena itu, dalam kasus ini opini publik menjadi sangat penting karena dapat dijadikan sebagai upaya dalam memberikan efek jera kepada pelaku tindakan kriminal. Selain itu, opini publik yang masif juga dapat digunakan sebagai pendorong pihak penanggung jawab untuk melakukan tindakan yang tepat. Hal ini dapat dijadikan sebagai suatu langkah untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal serupa di masa mendatang.

Opini publik memanglah sesuatu yang penting. Namun, perlu diingat bahwa hal ini tidaklah selalu benar dan mutlak. Jangan sampai opini yang disampaikan menyebabkan mob mentality yang berlandaskan emosi, bukan pemikiran rasional. Hal yang ditakutkan adalah opini publik yang terbentuk akan mengarah pada suatu hal yang belum terverifikasi atau terkonfirmasi kebenarannya.

Contohnya pada kasus Audrey, yaitu penganiayaan terhadap seorang siswi SMP di Pontianak yang ternyata tidak sesuai dengan fakta. Publik terlalu cepat dan berlebihan dalam menghakimi “pelaku” yang justru mengakibatkan publik makin termakan oleh hoaks dalam kasus ini.

Sudah semestinya masyarakat menyuarakan apa yang benar dan apa yang salah. Rakyat boleh menuntut, tetapi jangan memperkeruh. Masyarakat boleh mengkritik, tetapi jangan menghakimi. Biarkan tugas untuk memutuskan kebijakan akhir dilakukan oleh pihak yang tepat. Tugas rakyat di sini adalah untuk memperkuat opini publik jika melihat ada penyimpangan yang terjadi.

Tulisan oleh Baiq Melly Ciptayuni
Data oleh Salma Zulfa
Ilustrasi oleh Aldhytian Surya Arthaka

Artikel Terkait