Beranda Artikel Konstruksi Humanisme dalam Paradigma Pembangunan

Konstruksi Humanisme dalam Paradigma Pembangunan

oleh Redaksi

Rezim hari ini begitu akrab dengan wacana pembangunan infrastruktur yang begitu masifnya. Ada banyak hal yang kemudian menjadi diskursus sehari-hari sebagai upaya menemukan sintesis daripada baik buruknya pembangunan. Saya cukup sadar bangsa ini begitu pluralnya ketika menjumpai banyak argumen yang begitu sentimental satu sama lainnya, tak jauh jauh dari lingkungan saya berhubung isu-isu semacam ini begitu dekat dengan latar belakang keilmuan saya sebagai mahasiswa teknik sipil dan mungkin lahan saya untuk mencari makan besok.

Berkenaan dengan pembangunan infrastruktur yang begitu sensitif ini, sudah jauh kita tertinggal untuk sekadar mulai berbicara idealisme dalam menanggapi hal-hal semacam ini karena nyatanya apa yang diwacanakan rezim ini sudah berjalan sebegitu masifnya tapi belum terlambat untuk memperjuangkan humanisme dalam pembangunan yang katanya selalu menindas rakyat itu. Tanpa kalkulasi untung-rugi pribadi, sedikit banyak hal mungkin terlupakan dari paradigma pembangunan hari ini. Sebagian kita mungkin masih bersikukuh dengan pendekatan akademiknya atau bahkan keberpihakan subjektifnya masing-masing untuk pro ataupun kontra dengan hal ini, sementara ada nilai-nilai substansial yang melampaui wujud fisik bangunan itu sendiri barangkali luput dari kita.

Infrastruktur sebagai Ruang dan Nilai

Ruang dan nilai adalah entitas yang saling membentuk satu sama lain seiring waktu, kemudian menjadi kultur dan lekat pada manusia yang ada dalam lingkungan itu sendiri. Wajar saja apabila kemudian terjadi kekacauan atau ketidaknyamanan ketika ruang yang sudah lekat dengan struktur tertentu dalam tatanan sosial masyarakat kemudian tiba-tiba dimodifikasi secara besar-besaran. Apa yang sering kita dengar sebagai penindasan dalam pembangunan adalah implikasi dari hadirnya infrastruktur yang tak menyentuh kultur dan nilai yang terbangun dalam tatanan masyarakat yang sudah terbentuk dalam kurun waktu yang lama, bukan semata-mata soal uang. Dalam membebaskan lahan guna keperluan pembangunan tersebut selalu ada upaya ganti rugi, tapi bukan berarti selalu tidak ada penolakan. Ini yang mungkin menyadarkan kita bahwa nilai-nilai yang terbentuk tidak lantas bisa diganti rupiah. Barangkali di lahan yang tergusur itulah kuburan kakek nenek mereka, masjid yang dibangun leluhurnya, atau tanah warisan turun temurun sejak datuk-datuknya membuat mereka merasa lingkungan tersebut sudah cukup ideal untuk hidup bersama, mencari makan, beranak pinak, dan mati dengan damai.

Oleh karena itu, apa yang justru membantu mereka selain dengan tidak melakukan eksploitasi tempat tinggal mereka guna pembangunan secara membabi buta adalah dengan membangun infrastruktur yang dapat terikat oleh nilai-nilai kultur masyarakat, bisa memfasilitasi mereka dalam menikmati kehidupan dalam ruang dan nilai mereka sendiri, serta menjamin self-esteem, personal freedom, security, love, and trust. Dalam praktik pembangunan, inilah yang tak boleh ditinggal, tapi sering dikebiri dalam mekanisme Survey, Investigation, Land Acquisition, Contruction, Operation, and Maintenance (SIDLACOM). Proses politik dan dialektik sebagai tamu terhadap tuan rumah dalam negosiasi pra konstruksi begitu penting agar pembangunan tidak merugikan dan adil bagi siapapun.

Pembangunan Bottom-Up, Bukan Top-Down

Hari ini perencanaan pembangunan infrastruktur kerap kali dilakukan dengan pendekatan Top-Down oleh pembuat kebijakan yang begitu lekat dan menjadi main stream ekonomi ala neo klasik yang di-pertuan-agung. Bagaimana bisa pembangunan kita pada akhirnya menjadi karpet merah kapitalisme besar besaran. Konsep perencanaan pembangunan inilah yang kemudian beresiko gagal mengejawantahkan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan fisik besar besaran kadang menjadi pembenaran yang menjijikkan demi dalih transportasi logistik sebagai semacam solusi absolut yang dinubuatkan Tuhan. Padahal, mungkin kita masih menutup mata dari sedikit banyak kebobrokan sistem yang harus dibenahi yang justru bisa memberikan efisiensi lebih ketimbang apa-apa pokoknya bangun fisiknya.

Sementara, di kampung-kampung, para petani harus mendorong sepeda atau motornya yang mogok di jalur perlintasan babi karena infrastruktur yang justru dibutuhkan masyarakat kelas pinggiran ini tidak bisa membantu mereka menjual hasil perkebunan atau bahkan tidak ada sama sekali padahal pembanguan fisik jelas dibutuhkan mulai dari sini. Maka, sudah tampak jelas bahwa pembangunan berkeadilan masih sekadar menjadi utopia, dan ini tentu adalah efek domino dari hegemoni rezim-rezim sebelumnya. Barangkali cukup bijaksana ketika perencanaan dalam pembangunan lebih menggunakan pendekatan Bottom-Up yang bisa lebih memfasilitasi dari tingkatan kebutuhan yang paling mendasar sehingga tujuan pembangunan ini diperuntukkan kepada siapa tidak lagi menjadi bias, bahwa pembangunan adalah untuk mencapai rakyat yang berkeadilan itu sendiri.

Pembangunan tidak selalu harus berawal atau berujung kepada penindasan. Peradaban kita selalu memerlukan pembangunan, tidak mesti tinggal di gua untuk menjadi manusia yang sejati. Pembangunan berkemanusiaan tidak mesti de-industrialisasi, tidak berarti penolakan terhadap teknologi modern, ataupun bukan merupakan pembenaran terhadap zero-growth economy, tapi bukan juga pembenaran pertumbuhan ekonomi setinggi langit demi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Keberhasilan pembangunan kita tidak ditilik seenak dengkul hanya berdasar pada data statistik sementara nilai-nilai yang kita bicarakan di awal bukan merupakan kuantifikasi data-data pertumbuhan ekonomi yang disembah-sembah itu, pun keadilan sosial dan humanisme tidak selalu berbanding lurus dengan kilometer jalan nasional yang berpuluh-puluh ribu itu.

Berbicara keadilan pun tidak hanya soal manusia yang ada di dalamnya saja, kadang kita terlalu merasa eksklusif dan lupa kita harus berbagi ruang, lebih-lebih menyatu dengan saudara tua manusia, yaitu alam. Tidak ada pembangunan yang tidak niscaya memodifikasi alam, segala bentuk pembangunan pasti ada proses modifikasi tatanan lingkungan. Hidup di gua, berburu, dan food gathering adalah satu-satunya cara untuk tidak memodifikasi alam. Berkeadilan dengan alam adalah bentuk kebijaksanaan. Memaknai proses-proses organik alam pun adalah upaya berdialektika dan berpolitik dengan alam untuk menghasilkan keadilan dan keseimbangan antara manusia dan alam serta meninggalkan ego antroposentris kita sebagai manusia.

Oleh karena itu, paradigma pembangunan tidak selembar-dua lembar halaman, ada banyak perspektif dan keilmuan yang harus kita buka selebar-lebarnya supaya mudah-mudahan kita bisa terhindar dari yang namanya kebodohan epistemik yang makin lama makin akut di masyarakat milenial ini. Pembangunan pasti terus ada, harus ada! Akan tetapi keadilan dan humanismelah yang menjadi alasan pembangunan itu harus ada, walaupun masih menjadi utopia.

 

Muhammad Farizqi Khaldirian

Artikel Terkait