Beranda Artikel Lima Puluh Lima Hari di Daerah Tanpa Sila Kelima

Lima Puluh Lima Hari di Daerah Tanpa Sila Kelima

oleh Redaksi

Di usia yang sudah genap 72 tahun ini, ideologi negara yang kerap diagungkan insan bumi pertiwi itu ternyata belum bisa menyentuh seluruh tanah merah putih kita.

Desa Harenoro, Kecamatan Lahusa, Nias Selatan, layaknya anjing yang menunggu remah-remah yang dijatuhkan dari meja, mereka menunggu sisa-sisa uang jatah gundik pejabat negara untuk merebut keadilan sosial semu yang dijanjikan Bung Besar kita dahulu kala.

Empat jam dengan berjalan kaki di atas jalan berbatu menanjak menurun barulah kita bisa menyentuh tanah di bawah ambang kelayakan manusia itu. Listrik hanya pukul tujuh hingga sebelas malam lalu gelap padam hingga pagi menjelang (itupun hanya beberapa rumah), air untuk sehari-hari hanya mengandalkan air hujan (masak, minum, mandi), jika kemarau semua serba sulit, bahkan masalah feses pun tidak bisa diurus.

Kondisi batang utama pohon hidup mereka yang berupa pendidikan sangatlah keropos. Tentu keadaan seperti itu sangat berhasil menumbuhkan cabang-cabang ranting permasalahan yang subur dan menghasilkan buah-buah kesulitan hidup lainnya. Bukan hanya asupan makanan untuk badan mereka yang terlampau kurang, asupan ilmu pengetahuan pun sangat memprihatinkan.

Pengetahuan yang sangat minim itu tentu tidak cukup memenuhi syarat sebagai penopang kehidupan mereka. Pengetahuan tentang tani, pengetahuan tentang ternak, pengetahuan tentang kesehatan, kemampuan membaca menulis maupun berbahasa Indonesia juga memprihatinkan, semua serba kurang, sangat kurang.

Ladang tidak berproduksi dengan efektif. Hasil tani hanya sebagian kecil yang bisa dijual (karena akses yang sulit dan jauh), itupun dengan harga sangat murah (karena tidak mengerti harga pasar mungkin). Mengandalkan hasil ladang seadanya untuk makan anak mereka, tidak jarang terlihat hanya ada kuah dan nasi di atas piring makan, tambahan sedikit mie instan sudah terbilang mantap. Ternak yang begitu menjulang tinggi harganya dibanding nilai harta mereka dengan begitu saja diserang penyakit lalu mati hilang. Kulit anak kecil sudah begitu rusak karena luka nanah, tidak mengerti cara mengobati, tidak ada obat, tidak ada air bersih, perpaduan sempurna untuk kesehatan mereka. Akses yang begitu sulit dan jauh juga berhasil melambungkan harga bahan bangunan, menahan arus pembangunan di desa tersebut. Membuat penampungan air dekat rumah warga saja harus dengan susah payah dilakukan dengan tenaga warga dan bantuan kami mahasiswa. Keterbatasan berbahasa Indonesia juga menyulitkan komunikasi antara warga dan mahasiswa, baik dalam pendekatan maupun bekerjasama dalam pengerjaan program. Pengadaan infrastruktur itu juga dipersulit dengan keterbatasan dana karena pemda dan dosen pembimbing yang berhasil sepenuhnya “kecu” sebegitu ajaibnya. Saya kira itu semua cukup untuk menggambarkan belum tercapainya keadilan dalam segi pembangunan maupun usaha pencerdasan untuk seluruh rakyat.

Meskipun banyak kesulitan yang harus kami lalui tadi, Puji Tuhan semua bisa diselesaikan dan semoga bisa berguna untuk warga sana, dan tentunya saya sangat bersyukur bisa mendapatkan pengalaman hidup lima puluh lima hari terakhir ini. Diberi kesempatan menjadi penyalur berkat oleh Tuhan, bergabung dengan orang-orang hebat di kelompok ini untuk bisa menolong sesama yang membutuhkan sebisa kami melalui program KKN-PPM ini. Syarat kelulusan dari UGM ini juga sudah menarik saya untuk merasakan tingkat kehidupan terbawah yang tidak bisa saya bayangkan sebelumnya, salah satu dari banyak pengalaman hidup yang indah tapi tidak untuk diulang.

Kami pulang dengan membawa memori baru di hati kami. Melihat wajah warga lokal penuh harap akan sila kelima ketika kami datang, tawa tangis anak-anak sana, sentuh tangan mereka, bau pesing celana mereka, permainan bola voli warga, anjing-anjing bau, tarian dan teriakan bersama warga, potongan-potongan daging dan darah babi di depan rumah kami, pesta nikah tiga hari dua malam penuh, tenunan bupati dan birokrasi khas Indonesia, campuran tuak dan nyanyian bahasa nias setelah lampu padam, tawa pahit 29 mahasiswa UGM, luka-luka nanah kami, permasalahan dan harapan yang terukir di sana, imajinasi akan kondisi normal kehidupan kami di kampung masing-masing, keluh kesal kami, serta umpatan dan syukur kami, ditutup dengan letusan tangis haru saat harus pulang ke ibu kami masing-masing. Semua itu berhasil memahat cerita baru di hati kami dan kami ciumi itu semua.

Doa kami bersama kalian orang-orang malang.

“Saya menangis pada orang mati karena tidak akan bertemu lagi, sekarang saya tidak menangis karena saya yakin bisa bertemu dengan kalian lagi.”-Ama Ulfa

Harenoro, zomasido.

 

Andhara Ananta Putra

Kontributor

Artikel Terkait