Belakangan, dinamika perpolitikan kampus UGM kembali hadir di lingkungan mahasiswa UGM. Kali ini suhu perpolitikan kampus lumayan lebih panas dengan diwarnai ramainya isu boikot Pemilwa KM UGM. Ada beberapa hal yang sedikit banyak membuka mata dan pikiran kita dengan munculnya propaganda-propaganda baru yang sedemikian rupa dramatisnya terkait dengan isu boikot Pemilwa. Barangkali sedikit dari kita mulai tergugah dari senyapnya pemberitaan tentang kondisi KM UGM selama ini, dan pro kontra yang muncul tentu saja tak lewat begitu saja. Hal ini tentu saja menjadi pencerahan di kalangan mahasiswa bahwa student governance kita sedang bermasalah dan tidak dalam kondisi idealnya.
Isu boikot Pemilwa menggiring banyak opini betapa kondisi BEM KM saat ini sudah dalam tahapan dimana pemerintahan mahasiswa tidak lagi berdampak pada mahasiswa itu sendiri. BEM KM tidak lebih dianggap sebagai lembaga mahasiswa yang elitis, eksklusif, dan sekadar menang gengsi. Tidak sedikit yang menilai betapa cacatnya demokrasi di tataran mahasiswa melihat adanya dominasi politik tidak sehat dari golongan tertentu untuk melanggengkan posisi-posisi prestis di KM UGM.
Melihat kondisi dimana sebagian besar mahasiswa merasa tidak perduli dengan BEM KM maupun dinamika politik saat ini bukan berarti tidak menjadi masalah dan lepas begitu saja dari tanggung jawab lembaga yang katanya representasi mahasiswa. Artinya, bisa dikatakan minim sekali produk dari kegiatan BEM KM yang memang bersentuhan langsung dengan mahasiswa. Lebih-lebih dampak, bahkan informasi tentang BEM yang “ngapain aja” selama ini sendiri senyap-senyap lewat begitu saja, dan ini bukan berarti tidak menjadi hal yang seharusnya dipertanggungjawabkan oleh lembaga yang katanya reperesentatif, mengingat legitimasinya didasari poduk dari pemilihan umum langsung mahasiswa, dan seluruh mahasiswa adalah konstituennya.
Wajar juga ketika kita sadar bahwa sistem student governance saat ini adalah federasi, dimana tiap fakultas, bahkan Himaprodi punya otonominya sendiri yang menggerakkan mahasiswa lebih jauh dengan kebijakan masing-masing sehingga efek dari BEM KM itu sendiri tidak begitu saja terasa ke seluruh mahasiswa.
Gerakan boikot Pemilwa mungkin lebih mengarah kepada revolusi bentuk KM UGM menjadi semacam DEMA yang sifatnya kolektif kolegial. Dimana dalam system tersebut terdapat keterwakilan dari tiap-tiap fakultas yang memang betul-betul menjadi representasi mahasiswa fakultasnya. Sistem ini juga diharapkan dapat menghantarkan pengambilan keputusan diselesaikan dengan musyawarah mufakat, sehingga demokrasi yang dijalankan lebih sehat dan tidak didominasi oleh golongan mayoritas tertentu, hak suara yang setara tanpa adanya kewenangan tunggal.
Barangkali, partai mahasiswa saat ini tidak lebih dari organisasi kendaraan politik tanpa latar belakang ideologi yang jelas, yang memang tujuannya praktis memperoleh suara mahasiswa untuk memenangkan Pemilwa. Tidak bermaksud mengeneralkan, tetapi memang diluar masa Pemilwa saya atau bahkan mahasiswa-mahasiswa lain yang memilih partai bersangkutan tidak melihat adanya partai mahasiswa yang benar benar berproses di tengah-tengah mahasiswa. Nilai-nilai demokrasi diciderai dan pendidikan politik justru gagal diterapkan dengan benar.
Wes jal, kene ki wong goblok, ndak mutlak benar.
Setidaknya dengan keresahan ini saya sudah berupaya untuk kembali pada ketidakresahan.
Penulis : Farizqi Khaldirian