Beranda Berita Pembangunan, Bencana, dan Hari Menanam Pohon Indonesia

Pembangunan, Bencana, dan Hari Menanam Pohon Indonesia

oleh Redaksi

Tepat hari ini, hari saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia. Penetapan itu bermula dari adanya Gerakan Aksi Penanaman Serentak serta Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon yang berhasil menanam ribuan pohon. Gerakan tersebut mendapatkan banyak reaksi dan atensi positif dari masyarakat, sebagian karena gerakan ini merupakan upaya untuk mengendalikan perubahan iklim, yakni sebagai langkah awal mengurangi emisi karbon.

Berbicara mengenai penanaman pohon, tentu ada kaitannya dengan upaya reboisasi atau penanaman kembali. Upaya reboisasi dilakukan pada titik-titik prioritas yang meliputi lahan kritis atau lahan yang tidak produktif. Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan fisik, kimia, ataupun biologi yang membahayakan fungsi hidrologi, produksi pertanian, ataupun permukiman. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini Indonesia memiliki setidaknya 14 juta hektare lahan kritis. Beberapa upaya reboisasi sudah mulai dilakukan, salah satunya di Jawa Barat yang telah melakukan penanaman kembali sekitar 40,6 juta pohon di lahan kritis sekitar seluas 100 ribu hektare.

Pemerintah lewat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove juga telah mengeluarkan berbagai rencana untuk mempercepat pelaksanaan restorasi lahan gambut dan areal mangrove. Terbentuknya badan ini dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk mencegah berulangnya kebakaran hutan dan lahan serta mengurangi dampak dari asap yang ditimbulkannya. Lewat badan ini, pemerintah hendak fokus untuk memulihkan sekitar 2 juta hektare lahan gambut yang mengalami kerusakan akibat aktivitas industri dan perkebunan, serta sekitar 637.624 hektare areal mangrove yang dalam keadaan kritis.

Pada COP26 di Glasgow beberapa minggu lalu, Presiden Joko Widodo mencanangkan program restorasi areal mangrove sebesar 64.000 hektare. Pada forum itu pula, pemerintah meminta dukungan internasional untuk membantu memulihkan sekitar 600.000 hektare areal mangrove di Indonesia. Rencana besar tersebut dimaksudkan karena mangrove memiliki kemampuan untuk menyerap emisi karbon sebagai satu solusi dalam mencegah global warming. Mangrove dinilai memiliki kemampuan 3-4 kali lebih besar dalam menyimpan karbon bila dibandingkan dengan lahan gambut. Dalam berbagai kesempatan, Presiden akhir-akhir ini juga terlihat mengampanyekan penanaman mangrove di berbagai daerah di, seperti di Batam, Cilacap, dan Bengkalis.

Beberapa waktu lalu, bencana banjir melanda beberapa daerah di Indonesia dengan banjir bandang melanda Sintang dan Batu Malang. Kedua bencana banjir tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya adalah kondisi iklim yang kurang mendukung dan adanya alih fungsi lahan di beberapa daerah. Bencana tersebut memang sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan fenomena La Lina. Akan tetapi, dampak dari kondisi ini sesungguhnya dapat diminimalkan dan diantisipasi.

Upaya reboisasi yang dilakukan merupakan langkah yang penting dalam mengantisipasi bencana hidrometeorologi, yaitu bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim, misalnya banjir, tanah longsor, erosi, dan sebagainya. Keberadaan areal mangrove—selain menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna pesisir—juga menjaga ekosistem pesisir dari erosi pantai, gelombang pasang, hingga tsunami. Penanaman pohon lewat berbagai aktivitas rehabilitasi, konservasi, dan reboisasi sesungguhnya merupakan bentuk pertahanan alami lingkungan terhadap ancaman-ancaman tersebut.

Tak dapat dimungkiri, Indonesia saat ini masih memiliki catatan terkait kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan data dari Global Forest Watch, Indonesia menempati peringkat kelima dalam jumlah tutupan hutan yang hilang selama 2001-2020 dengan sekitar 27,7 juta hektare. Beberapa waktu lalu, sempat geger pernyataan Menteri LHK mengenai rencana pembangunan pemerintah yang saat ini tidak boleh berhenti atas nama deforestasi dan zero emission. Pihak-pihak tertentu merasa bahwa pembabatan hutan pasti terjadi seiring dengan proyek infrastruktur ataupun perkebunan dan industri. Seolah bahwa kesejahteraan dan kemajuan lewat pembangunan merupakan trade off yang harus mengorbankan keseimbangan alam.

Padahal, pembangunan dan keberlangsungan lingkungan merupakan dua hal yang bisa berjalan beriringan. Pembangunan dapat dilakukan tanpa merusak lingkungan dengan menaati aturan-aturan dan proses audit yang ketat. Kerusakan lingkungan sekecil apapun sesungguhnya memberikan dampak negatif yang jauh lebih besar dan bisa mengundang bencana di masa mendatang.

Pohon bukanlah sekadar batang berkayu dengan ranting-ranting yang meneduhkan. Oksigen yang menyegarkan begitu mudahnya kita hirup tanpa berpikir dari mana datangnya. Momen hari ini seharusnya dapat menjadi permenungan kita semua—betapa pentingnya keberlangsungan lingkungan hidup demi kesejahteraan umat manusia.

Tulisan dan Data oleh Filipus Alfiandika Nugrahadi dan Nadya Khailifa
Ilustrasi oleh Muhammad Iqbal Baihaqi

Artikel Terkait