Beranda Artikel Asia Tenggara, Medan Perang Dingin Teknologi Kereta Api Cepat?

Asia Tenggara, Medan Perang Dingin Teknologi Kereta Api Cepat?

oleh Redaksi

AFP PHOTO / Bay ISMOYO

Kereta api merupakan moda transportasi darat dengan daya angkut tinggi, reliable dan hemat dalam penggunaan ruang.  Keunggulan ini mendorong banyaknya negara menjadikan kereta api sebagai fondasi penyokong perekonomian negara.  Amerika Serikat berhasil menghubungkan Samudera Atlantik dengan Samudera Pasifik dengan jalan rel, Transcontinental Railroad, pada tahun 1869.  Keputusan ini berhasil meningkatkan efisiensi transportasi logistik, mendorong transmigrasi penduduk ke wilayah barat (West Coast) dan menurunkan biaya produksi barang.  Tak ingin kalah, Russia meresmikan network Trans-Siberian Railway pada tahun 1916, yang menghubungkan Moskow dengan Vladivostok.  Kereta api berhasil merevolusionerkan transportasi darat dan mejadi tulang punggung ekonomi negara-negara maju.

Kebutuhan akan transportasi darat yang efisien dan handal terus mendorong perkembangan sarana dan prasarana perkeretaapian.  Pada tahun 1964 Jepang memelopori revolusi dunia perkeretaapian dengan melahirkan kereta api cepat pertama bernama Shinkansen.  Shinkansen berhasil memecah rekor kecepatan kereta api dengan kemampuan top speed 210 km/jam.  Tak lama kemudian revolusi kereta api cepat disusul beberapa negara seperti Jerman dan Perancis.  Teknologi kereta api cepat di benua Asia didominasi oleh Jepang, sebelum di susul Tiongkok yang meresmikan kereta api cepat pada tahun 2003 dan Korea Selatan pada tahun 2004.  Telat meramaikan pesta bukan masalah bagi Tiongkok, yang berhasil membangun network kereta api dengan panjang jalan rel total lebih dari 19.000 kilometer pada tahun 2016.  19.000 kilometer ini merupakan 2/3 dari total panjang jalan rel kereta api cepat di dunia, sebuah torehan luar biasa yang diraih dalam jangka waktu hanya 13 tahun.

Trend kereta api cepat menyebarluas hingga ke wilayah Asia Tenggara.  Tertinggalnya infrastruktur perkeretaapian dan kepadatan penduduk yang mengakibatkan berbagai permasalahan transportasi darat mendorong beberapa negara untuk mempertimbangkan kereta api cepat sebagai solusi.  Satu per satu negara-negara ASEAN membuka rencana untuk membangun infrastruktur kereta api cepat dengan harapan untuk membangkitkan perekonomian dan membangun integrasi regional, terutama pada negara-negara daratan Asia Tenggara seperti Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar dan Malaysia.

Foto : www.asiabriefing.com

Foto : www.asiabriefing.com

“One Belt, One Road” merupakan inisiatif negeri tirai bambu untuk meningkatkan keterikatan ekonomi dan integrasi regional dengan ASEAN melalui jalan rel yang menghubungkan Kumming dengan Kuala Lumpur.  Jalan rel yang dijuluk The Iron Silk Road berpotensi meningkatkan perdagangan Tiongkok dengan mudahnya export ke wilayah ASEAN.  Tiongkok telah mengakantongi kerjasama untuk mengembangkan kereta api cepat di berbagai negara, termasuk Thailand, Laos dan Indonesia. Malaysia, Singapore, Myanmar, Cambodia dan Vietnam juga masih dirayu oleh Beijing untuk kerjasama.  Semangat menghubungkan Tiongkok dan Indo-China dapat dilihat dari keterlibatan tiongkok dalam membangun koridor Laos-Kumming dan koridor Nong Khai-Bangkok-Rayong.  Nampak sangat jelas keuntungan yang akan diperoleh Tiongkok dalam pembangunan kereta api cepat di Indo-China.  Pergerakan jasa dan barang dari Tiongkok akan sangat mudah untuk penetrasi ke market ASEAN.  Tiongkok juga berhasil menang kontrak untuk membangun kereta api cepat koridor Jakarta-Bandung di Indonesia.  Dengan cepatnya kereta api cepat berkembang di Tiongkok pada 13 tahun terakhir, kini teknologinya telah siap untuk melayani permintaan pasar ASEAN.

Jika Tiongkok membanggakan dirinya dengan jumlah panjang rel kereta api cepatnya, Jepang berseru sudah paling lama menguasai teknologi kereta api cepat.  Sejak meresmikan Shinkansen pada tahun 1964, belum pernah terjadi kecelakaan yang menghilangkan nyawa.  Beda halnya dengan Tiongkok, yang pernah terjadi kecelakaan di Wenzhou yang merebut 40 nyawa pada tahun 2011.  Tak beda dengan Tiongkok, Jepang juga berkecipung di pembangunan kereta api cepat di Asia Tenggara. Jepang telah sepakat untuk menggandeng tangan Thailand dalam mengembangkan koridor Bangkok-Chiang Mai, koridor Kanchanaburi-Bangkok-Laem Chabang dan koridor Bangkok-Sa Kaew.  Megaproyek Jakarta-Bandung pada awalnya juga berpotensi menggunakan Shinkansen milik Jepang.  Jepang menawarkan teknologi Shinkansen ke Indonesia sejak tahun 2008.  7 tahun silam prospek kerjasama Indonesia-Jepang akhirnya diakhiri dengan Tiongkok sebagai pemenang mitra pembangunan koridor Jakarta-Bandung, kereta api cepat pertama di Indonesia.  Apakah ini pertanda eskalasi kompetisi export teknologi antara dua raksasa Asia?

Menjalin hubungan dengan yang baik dengan ASEAN merupakan kebijakan politik luar negeri untuk Tiongkok maupun Jepang.  Interaksi perdagangan antara ASEAN dengan Tionkok dan Jepang sangat intens.  Tiongkok menduduki peringkat 1 dan Jepang menduduki peringkat 3 pada jumlah volume perdagangan dengan ASEAN pada tahun 2013.  Yang menarik untuk disimak adalah bagian Tiongkok dalam perdagangan ASEAN yang naik dari 4,3% pada tahun 2000 hingga 14,0% pada tahun 2013, sedangkan Jepang turun dari 15,3% menjadi 9,6%.  Berkat investasi dan kerjasama bilateral yang ditanamkan Tiongkok di regional Asia Tenggara berhasil menggeserkan Jepang dari peringkat 1.  Ini merupakan pertanda komitmen Tiongkok untuk meletakkan kaki di perkembangan ekonomi di ASEAN.  Keterbukaan dalam perdagangan dimanfaatkan oleh Tiongkok untuk masuk ke pasar ASEAN.  Sudah tak asing lagi negara-negara Asia Tenggara dengan influx barang dan jasa yang banjir dari negeri tirai bambu.  Jepang tak berbeda, teknologi manufaktur buatan negeri Sakura telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat ASEAN.  Saingan supremasi antara Jepang dan China untuk memegang kendali perdagangan berdampak buruk bagi Asia Tenggara?

Kereta api cepat merupakan satu dari sekian banyak solusi yang dapat diterapkan untuk memecah permasalahan transportasi suatu negara.  Solusi ini tepat untuk Jepang dan Tiongkok, namun apakah tepat untuk menjawab problematika kepadatan penduduk, keterbelakangan infrastruktur dan menyejahterakan masyarakat ASEAN?  Kita ambil contoh pembangunan kereta api cepat yang akan menghubungkan Laos dengan Tiongkok.  Dilangsir dari AsiaBriefing, harga proyek rel Laos-Tiongkok ditaksir sebesar USD 7,2 milyar.  Kelayakan finansial pembangunan kereta api cepat menjadi pertanyaan besar mengingkat Produk Domestik Bruto (PDB) Laos hanya USD 8,3 milyar.  Tak mampu secara finansial, Laos berencana untuk meminjam kapital dari Tiongkok untuk mendanai proyek yang bernilai 85% dari PDB.  Perlu dicatat bahwa Laos menggunakan sumber daya mineral yang dimiliki sebagai jaminan untuk menebus pinjaman dari Tiongkok.  Kebutuhan kereta api cepat terlihat sangat ironis dengan kondisi ekonomi masyarakat Laos yang pendapatan rata-rata anual masih dibawah USD 1700.  Bagaimana Laos bisa membayar hutang untuk pembangunan kereta api cepat? Apakah tidak ada solusi yang lebih layak secara finansial yang bisa menjawab kebutuhan infrastruktur perkeretaapian dan pro-rakyat? Biaya hanya bagian dari permasalahan kompleks yang timbul.  Tak bisa mengadalkan tenaga kerja domestik untuk membangun kereta api cepat, Laos harus memenuhi kebutuhan dari tenaga kerja Tiongkok.  Rakyat Laos hanya dapat terdiam melihat uang mereka mengucur deras ke kantong pekerja asing.  Merogoh dompet untuk uang tak berwujud demi kereta api cepat untuk masyarakat miskin, upaya menyejahterakan masyarakat, kebijakan pembangunan tak bertanggungjawab?  Mengasingkan rakyat sendiri dan membiarkan sumber daya alam jatuh ke tangan asing, inikah bentuk kolonialisme modern?

Kereta api cepat merupakan teknologi mutakhir untuk memindahkan barang dan manusia dengan cepat dan efisien.  Dengan infrastruktur perkeretaapian yang usang, tak sedikit negara-negara Asia Tenggara mempertimbangkan untuk mengupgrade ke kereta api cepat.  Melihat permintaan yang ada, Tiongkok dan Jepang berlomba-lomba untuk mengekspor keahlian mereka di teknologi kereta api cepat.  Dengan metode marketing yang berbeda, Tiongkok dengan menyombongkan network kereta api cepat terpanjang di dunia dan Jepang sebagai pemain paling berpengalaman di bidang kereta api cepat, dua raksasa Asia bertarung untuk mencari keuntungan ekonomi dari keahliannya.  Berlomba-lomba meraih kontrak tentu tak luput dari kepentingan politik untuk meraih supremasi perdagangan di wilayah Asia Tenggara.  Kedua negara merayu regional Asia Tenggara dengan mimpi integrasi wilayah dan kesejahteraan ekonomi melalui transportasi berkecepatan tinggi.  Iming-iming ini seakan mempercik adu gengsi untuk memiliki teknologi terkini antar negara, padahal tak selalu kereta api cepat merupakan solusi yang tepat.  Nasib kereta api cepat Taiwan dapat menjadi peringatan bagi negara-negara yang bercita-cita untuk membangun kereta api cepat.  Dibangun pada tahun 2007 dengan teknologi Shinkansen, Taiwan High Speed Rail (THSR) terbelit hutang karena penumpang pengguna kereta api cepat tidak sesuai dengan prediksi saat studi kelayakan.  Tidak perlu dipaksakan pembangunan kereta api cepat, jika kereta api konvensional masih bisa menyelesaikan permasalahan transportasi.  ASEAN, sebagai lembaga yang mempunyai kepentingan untuk menjaga kestabilan ekonomi regional, harus bisa mencegah terulangnya kasus THSR di wilayah Asia Tenggara.  Walaupun tidak mempunyai keweanangan dalam kebijakan pembangunan nasional negara anggota, ASEAN pantas untuk memberikan rekomendasi kepada negara anggotanya demi kepentingan regional.  Jangan sampai terjadi suatu negara menjadi boneka dari perang dingin Tiongkok dan Jepang karena bagi mereka kami hanyalah kesempatan bisnis yang dapat di eksploitasi.

Penulis :
Kemal Fardianto

Artikel Terkait