Terminal Tirtonadi merupakan terminal tipe A di Surakarta yang telah mengalami proses perbaikan dan peningkatan pelayanan dalam berbagai hal, dari yang awalnya kumuh dan kurang nyaman menjadi terminal yang ramah dan nyaman bagi siapapun yang berkunjung ke terminal ini.
Kumuh dan Rawan Tindak Krimnal
Sebelum 2009, kondisi Terminal Tirtonadi tidak jauh beda dengan kondisi umum terminal lainnya di Indonesia. Kesan kumuh dan banyaknya tindak kriminal belum lepas dari prasarana tranportasi yang satu ini. Para penumpang dituntut harus ekstra waspada ketika berada di terminal. Namun, saat ini Terminal Tipe A Tirtonadi Kota Surakarta menjamin para penumpang aman dari gangguan ketidaknyamanan.
Menurut Eko Agus Susanto, SE, M.Si., Koordinator Terminal Tipe A Tirtonadi Kota Surakarta, pihak terminal berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan kenyamanan dan keamanan penumpang. Pedagang asongan pun telah dikelola sejak dulu dengan memberikan warna baju khusus sehingga kontrol lebih mudah. Hal ini didasarkan pada rasa kemanusiaan pada pedagang yang mencari nafkah tetapi tetap menjaga kondusivitas terminal.
“Terlihat pada saat lebaran kemarin, kami membentuk satuan petugas (satgas) anti copet untuk meminimalisir adanya kejahatan tersebut, kami bisa jamin keamanannya. Salah satu indikator bahwa terminal aman dan nyaman, jika pada jam malam ada perempuan yang berani memainkan hp di terminal, itu tanda bahwa mereka sudah percaya pada kualitas keamanan terminal, ” tandas Eko.
Terminal di Indonesia pada umumnya menawarkan pelayanan yang seadanya. Bila dibandingkan dengan bandar udara, pelayananya bak bumi dan langit. Maklum, terminal seringkali identik dengan masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah, sedangkan bandara identik dengan kelas menengah ke atas. Namun, era kelam terminal terbesar di Solo itu mulai sirna. Sejak 2009, konsep perubahan total Tirtonadi mulai digagas oleh Pemerintah Kota Solo. Kini, terminal yang dulu kumuh itu justru menjadi acuan pengelolaan terminal untuk daerah lain di Indonesia.
Di Balik Cantiknya Tirtonadi
Joko Widodo atau lebih akrab disapa Jokowi, mantan Wali Kota Solo periode 2005-2012 yang kini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, merupakan konseptor utama dibalik transformasi besar Terminal Tirtonadi. Terminal yang memiliki luas 5 hektar ini dibangun dalam kurun waktu 2009-2016 dan menghabiskan dana hingga 186 miliar rupiah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Tengah, serta APBD Kota Surakarta.
Dengan adanya berbagai perubahan yang sudah maupun sedang digodog, kini terminal yang dalam perencanaannya mengacu pada salah satu terminal di Singapura tersebut sedang mengalami transfer kewenangan. Kewenangan atas Terminal Tirtonadi yang sebelumnya dipegang oleh Pemerintah Kota Surakarta atau lebih tepatnya dibawah komando Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Kota Surakarta, kini diserahkan kepada Kementerian Perhubungan karena menyandang titel terminal tipe A.
Transformasi Terminal Tirtonadi
Selasa (25/4), Tim Liputan Clapeyron berkesempatan berkunjung ke Terminal Tirtonadi. Kesan pertama yang muncul adalah terminal itu tidak terasa seperti terminal biasanya. Meski pembangunan terminal belum sepenuhnya rampung, transformasi sejak 2009 telah membuat Terminal Tirtonadi terasa layaknya bandara. Tentu hal yang paling menonjol adalah lengkapnya fasilitas penunjang dan ramahnya pelayanan petugas di terminal ini.
Layanan informasi, CCTV, ATM center, ruang tunggu ber-AC, ruang laktasi untuk ibu menyusui, layar LED jadwal pemberangkatan, website resmi Terminal Tirtonadi, hingga fasilitas khusus penyandang difabel seperti kamar mandi dan blind track yang dikhususkan untuk penumpang tunanetra pun tersedia di terminal itu. Walaupun blind track memang jarang digunakan tetapi pihak terminal merasa berkewajiban untuk menyediakan fasilitas ini.
Terminal ini juga sudah menyediakan fasilitas sistem tiket elektronik (e-ticketing) sehingga masyakarat bisa memesan tiket melalui gerai resmi maupun secara online. Sistem tiket elektronik ini juga didukung dengan penerapan empat zonasi yang terbagi atas zona 1 bagi penumpang yang mempunyai tiket, zona 2 yang belum mempunyai tiket atau zona campuran, zona 3 yakni perpindahan penumpang, dan zona 4 pengendapan kendaraan.
Tidak hanya layar LED jadwal pemberangkatan saja yang disuguhkan oleh terminal ini, para penumpang juga dapat mengakses website resmi Terminal Tirtonadi sehingga masyarakat dapat memberikan komentar, kritik, dan saran untuk Terminal Tirtonadi melalui website tersebut. “Website Terminal Tirtonadi baru dibuat 2 atau 3 hari yang lalu sebelum saya ke jakarta di web tersebut tertera jadwal perjalanan yang memuat waktu keberangkatan, tujuan, dan waktu sampai tujuan agar penumpang bisa mempersiapkan dirinya saat akan melakukan perjalanan maupun setelahnya,” ungkap Eko.
Waktu yang tertera pada layar LED jadwal pemberangkatan maupun pada website dapat dimungkinkan berubah karena sulitnya memperkirakan masalah lalu lintas. Pihak terminal memastikan keterlambatan bus diusahakan masih dalam batas wajar, yaitu sepuluh hingga lima belas menit. Jika hal tersebut tidak terpenuhi maka akan ada skema kompensasi untuk penumpang bila terjadi keterlambatan pemberangkatan, persis layaknya kompensasi penumpang pesawat saat terjadi penundaan penerbangan.
Dalam perencanaan terminal ini, konstruksi bangunan terminal telah didesain untuk menjadi bangunan 4 sampai dengan 5 lantai yang akan dijadikan pusat perbelanjaan ataupun hotel. Terminal ini pun mendapat predikat terminal terbaik dan terlengkap se-Indonesia.
Konsep Integrasi antar Moda
Terminal Tirtonadi juga memiliki skybridge yang terhubung dengan Stasiun Solo Balapan yang panjangnya mencapai 650 meter dengan ketinggian 5 meter. Uniknya, Skybridge Solo itu dibangun di tengah perkampungan. Tiang-tiang pancangnya berada di tepian jalan kampung. Trase proyek skybridge pun masuk ke gang-gang. Meski begitu, Dinas Perhubungan memiliki tantangan berat karena tidak semua masyarakat bisa cepat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Selain bentuk integrasi moda kereta api dengan adanya skybridge yang ditargetkan akan beroperasi pada 2017 tersebut, akan dibangun juga trase kereta api dari Stasiun Solo Balapan menuju Bandar Udara Adi Soemarmo, Surakarta sehingga dapat disimpulkan bahwa akan ada integrasi moda transportasi pada tiga tempat yaitu Terminal Tirtonadi, Bandara Adi Soemarmo, dan Stasiun Balapan. Dengan demikian, diharapkan seluruh moda transportasi umum di Solo akan terintegrasi dengan baik sehingga dapat melayani masyarakat secara maksimal.
Bus sebagai Pilihan Utama, Bukan Alternatif Terakhir
Eko berharap Terminal Tirtonadi sekarang yang notabennya jauh lebih maju daripada yang dahulu bisa dijaga bersama masyarakat. Masyarakat dituntut untuk peduli terhadap lingkungan terminal sehingga mampu menempatkan diri menyesuaikan peraturan yang ada seperti dilarang merokok pada saat memasuki ruangan yang berAC tanpa perlu diperingatkan oleh petugas. “Kami masih memasuki tahap mengedukasi masyarakat karena tidak mudah untuk membuat masyarakat peduli khususnya terhadap terminal. Di benak mereka terminal lekat dengan kondisi lingkungan yang jorok, kotor, bau, dan tidak adanya peraturan yang mengikat, maka kebiasaan itu perlu diubah pelan-pelan dan senantiasa diperingatkan oleh petugas terminal. Di samping itu, perlu dilakukan pembenahan dari segi fasilitas yang ada di terminal, selagi pimpinan masih terpusat pada Kementrian Perhubungan Republik Indonesia,” tandas Eko.
Masyarakat jelas masih sulit meninggalkan kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi. Untuk mengatasi hal tersebut harus didukung dengan pembenahan sistem sarana dan prasarana transportasi sehingga masyarakat pun secara sukarela akan lebih memilih menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi. Akan tetapi, kini masyarakat secara perlahan mulai beralih menggunakan bus akibat pembenahan terminal Tirtonadi. Selain terminal yang sudah terasa nyaman, bus secara perlahan akan dilengkapi dengan double decker. Bus yang sudah tidak layak otomatis akan disingkirkan. Eko pun mengajak masyarakat untuk menggunakan bus sebagai pilihan utama dan bukan alternatif terakhir.
Artikel : Dyah Muharomah K. P. dan Adya Sadewo H.
Video : Annisa Latasha
Poster : Hutama Sektiaji
Litbang : Andi Nur S.
Dokumentasi :Ghani Wahyu S., Andisa Jura Fatwa, Dimas Sri Wicaksono