Gunung Anak Krakatau kembali melakukan aktivitas vulkanik dalam status Waspada (Level II). Erupsi terjadi hingga dua kali letusan pada Jumat (10/4) pukul 21.58 WIB dan pukul 22.35 WIB disertai beberapa letusan kecil tipe strombolian hingga Sabtu (11/4) pukul 03.30 WIB. Letusan pertama terjadi dengan ketinggian kolom abu yang dikeluarkan ±357 meter di atas permukaan laut sedangkan letusan kedua mengeluarkan abu dengan ketinggian mencapai ±657 meter di atas permukaan laut.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa erupsi yang terjadi memicu terjadinya gempa di Selat Sunda pada pukul 22.59 WIB dengan magnitudo M 2,4 dan episenter pada jarak 70 km arah selatan barat daya pada kedalaman 13 km. Meski begitu, mengacu pada pengamatan muka laut yang dilakukan BMKG, erupsi ini tidak berpotensi memicu terjadinya tsunami.
Suara Dentuman
Seiring dengan erupsi Gunung Anak Krakatau, warga Jabodetabek dihebohkan dengan terdengarnya suara dentuman yang cukup keras sejak malam hingga pagi pukul 06.00 WIB. Awalnya, suara dentuman ini disinyalir warga berasal dari erupsi Gunung Anak Krakatau. Namun, para pengamat yang berlokasi di pos pengamatan di Pasauran, Pantai Carita, mengatakan bahwa letusan yang terjadi tidak menimbulkan suara dentuman.
Suara dentuman ini juga tidak mungkin terjadi akibat letusan Gunung Anak Krakatau karena jenis erupsinya tergolong tidak besar dan tidak berpotensi menghasilkan energi suara yang besar hingga terdengar dari jarak jauh. Suara dentuman umum terjadi akibat aktivitas vulkanik apabila erupsi yang terjadi cukup besar. Biasanya, letusan yang disertai suara dentuman ini akan melontarkan material pada jarak yang cukup jauh dan semburan abu vulkanik yang tebal.
Seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan suara dentuman yang didengar sejumlah warga bukan berasal dari erupsi Gunung Anak Krakatau melainkan petir yang terdengar lebih keras dari biasanya. Namun, pendapat ini ditolak oleh BMKG yang menyatakan tidak terjadi aktivitas petir sejak malam hingga pagi berdasarkan hasil pengamatan dengan alat lightning detector.
Sampai saat ini, belum dapat dipastikan asal suara dentuman yang didengar masyarakat. Namun, BMKG memastikan bahwa suara dentuman tersebut tidak bersumber dari aktivitas gempa akibat letusan Gunung Anak Krakatau maupun petir.
Erupsi Tipe Strombolian
Ciri khas dari letusan Gunung Anak Krakatau adalah memiliki erupsi tipe Strombolian. Bahkan, untuk letusan yang baru terjadi ini juga memiliki erupsi tipe Strombolian. Erupsi tipe Strombolian ini berupa semburan lava pijar dari magma yang dangkal. Nama Strombolian diadopsi dari letusan gunung api Stromboli di Italia. Letusan tipe ini tidak terlalu kuat, tetapi bersifat bersambung terus menerus dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Erupsi strombolian memiliki karakter yakni adanya erupsi-erupsi kecil dari gas dan fragmen-fragmen atau serpihan magma. Material yang keluar berupa bom, lapili, dan abu. Selain itu, magmanya juga sangat cair dan tekanan gas rendah. Gunung api yang dikategorikan tipe Strombolian tubuh dan lereng gunungnya tersusun dari batuan yang berasal dari lava. Hal ini disebabkan material yang diletuskan oleh erupsi kecil jatuh kembali ke dalam kawah atau di sekitar bibir kawah, sementara untuk erupsi besar, lava mengalir ke lereng sekitar dan membentuk batuan.
Beberapa letusan gunung api di Indonesia, seperti Gunung Raung di Bali dan Gunung Sinabung di Sumatera Utara, dapat dikategorikan sebagai erupsi tipe Strombolian.
Pertumbuhan Gunung Anak Krakatau
Erupsi yang terjadi kali ini termasuk dalam rangkaian erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada bulan Januari hingga Maret 2020 dengan material yang didominasi oleh gas atau uap air. Namun, pada erupsi kali ini material pijar dengan intensitas rendah sudah terbawa ke permukaan.
Gunung Anak Krakatau merupakan salah satu gunung paling aktif di Indonesia. Gunung ini terbentuk pasca letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Setiap tahunnya, Gunung Anak Krakatau ini bertumbuh 4-6 meter lebih tinggi dan 12 meter lebih lebar. Dalam proses pertumbuhannya, Gunung Anak Krakatau sering kali mengalami erupsi. Erupsi ini merupakan proses pertumbuhan dengan cara ekstrusi. Hal ini juga didukung karakteristiknya sebagai gunung api tipe Strombolian.
Pertumbuhan secara ekstrusi adalah dengan mengeluarkan lava panas ketika letusan. Lava ini mengeras setelah terpapar udara luar dan membentuk batuan. Apabila proses ini terus berulang, gunung api akan semakin besar karena adanya tumpukan material di permukaannya.
Selain ekstrusi, gunung api dapat bertumbuh secara intrusi. Dengan cara ini, magma mengkristal di bawah permukaan gunung tanpa letusan. Magma mendorong gunung ke atas atau melebar tanpa meledakkan lava sehingga gunung api semakin membesar.
Untuk saat ini, bila dilihat dari status dan pengamatan yang dilakukan oleh BMKG, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari letusan Gunung Anak Krakatau. Meski demikian, tidak ada salahnya bagi masyarakat untuk tetap berjaga-jaga dan waspada apabila ada potensi terjadi letusan berskala besar.
Tulisan oleh Melisa Ruth Angelica
Data oleh Irma R
Gambar oleh Elvira Apriana