Beranda BeritaKilas Di Balik Sensor Film

Di Balik Sensor Film

oleh Redaksi

Pada tahun 1990-an, warna dunia perfilman Indonesia terkesan lebih bebas. Hal ini ditandai dengan sering ditemuinya adegan yang tergolong vulgar tetapi tetap lolos sensor. Pada film-film zaman dahulu, kita masih sering melihat banyak pemain film mengenakan pakaian yang terkesan “kurang bahan” seperti bikini atau mungkin pakaian yang mengumbar bagian dada dan paha seperti pada film “Ken Arok Ken Dedes” atau “Susuk Nyi Roro Kidul”. Film zaman dahulu juga memiliki kecenderungan lebih bebas dan ekspresif dalam melontarkan candaan. Misalnya film “Warkop DKI”. Film-film “Warkop DKI” sering menggunakan judul-judul ambigu seperti “Atas Boleh Bawah Boleh” atau “Makin Lama Makin Asyik”.

Keadaan tersebut berbeda dengan kondisi saat ini. Banyak film-film terkenal yang dilarang untuk ditayangkan di layar kaca karena tidak lolos proses penyensoran, seperti “Schindler’s List”, “Noah”, dan “Fifty Shades of Grey”. Walaupun film-film tersebut mengangkat topik yang berbeda-beda, mengapa hal itu bisa terjadi? Bagaimana sebenarnya sejarah dan proses sensor film di Indonesia?

Sejak tahun 1900, penyensoran film telah dilaksanakan di Indonesia. Hal ini beriringan dengan penayangan film-film di bioskop. Pada masa itu, terdapat banyak konten yang tidak layak disaksikan oleh masyarakat pribumi karena dianggap dapat menyerang kewibawaan pemerintah kolonial secara psikologis.

Seiring berjalannya waktu, penyensoran film terus dilanjutkan hingga dibentuklah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang lahir setelah era reformasi 1998. KPI berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Karena frekuensi dimiliki oleh pihak publik dan sifatnya terbatas, penggunaannya harus diprioritaskan bagi kepentingan publik. Oleh sebab itu, media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat.

Dalam proses sensor film, bukan hanya KPI yang terlibat, melainkan juga Lembaga Sensor Film (LSF) dan pihak internal rumah produksi. LSF bertanggung jawab terhadap film dan sinematografi yang akan ditayangkan di bioskop. Berkenaan dengan hal itu, KPI sebagai regulator hanya berperan sebagai pengawas yang akan memberikan sanksi apabila terdapat standar aturan yang dilanggar.

Pada umumnya, penyensoran dilakukan terhadap adegan yang tidak layak untuk ditonton dan mengandung unsur-unsur yang bertolak belakang dengan ideologi bangsa Indonesia. Beberapa contoh yang sering ditemukan adalah penyensoran terhadap pemakaian narkotika secara vulgar, kekerasan berlebihan, glorifikasi tindakan kriminal, tindakan seksual berlebihan, dan pemakaian unsur-unsur suku, ras, agama, serta antar golongan (SARA) yang dapat memecah belah bangsa Indonesia.

Dalam dunia perfilman, sebuah film akan terlebih dahulu disunting oleh pihak internal produksi film. Kemudian, LSF berperan dalam memberikan masukan kepada pihak produksi terkait kepantasan adegan-adegan film. Setelah pihak internal melakukan penyuntingan kembali, LSF akan menentukan kelayakan penayangan sebuah film dan memberikan persetujuan apakah film tersebut dapat ditayangkan di layar kaca.

Selain itu, LSF juga ditugaskan untuk mengelompokkan sebuah karya perfilman berdasarkan rating usia para penontonnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap standar penyensoran yang dilakukan. Sebuah film yang ditujukan untuk penonton semua umur pastinya akan mengalami penyensoran yang lebih ketat dibandingkan dengan film yang memang ditujukan untuk penonton di atas usia 21 tahun.

Oleh karena itu, kedisiplinan dalam menonton film sesuai kategori usia masing-masing menjadi amat diperlukan. Dalam prosesnya diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari industri perfilman hingga tiap-tiap individu. Pengetatan atas peraturan di bioskop, seperti pengecekan usia dengan kartu identitas penting untuk dilakukan, agar penonton lebih tertib menonton film yang sesuai dengan usianya masing-masing. Selain itu, perlu terdapat kesadaran pribadi untuk mengawasi diri sendiri dan keluarga untuk menonton film sesuai dengan usianya.

Klub 1 Diskusi Clapeyron
(Bagas, Cankum, Dikky, Damar, Haekal, Salma)

Artikel Terkait