Pada saat ini, dunia perindustrian konstruksi di Indonesia ataupun hampir di seluruh wilayah dunia masih menghadapi permasalahan yang belum dapat diatasi. Permasalahan tersebut adalah ketidakefisienan dalam pelaksanaan proses konstruksi. Sebuah studi yang dilakukan Construction Industry Institute (CII) pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 50% atau lebih upaya yang dilakukan untuk mendukung proyek konstruksi merupakan upaya non-nilai tambah atau disebut dengan pemborosan.
Pemborosan (waste) berupa upaya yang menggunakan sumber daya tetapi tidak menambah nilai suatu proyek (value) masih banyak terjadi di industri konstruksi. Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh Lean Construction Institute, besarnya pemborosan pada industri konstruksi mencapai sekitar 57%, sedangkan upaya yang dilakukan untuk memberikan nilai tambah hanya sebesar 10%. Beberapa dampak dari ketidakefisienan industri konstruksi yaitu terjadinya keterlambatan waktu pelaksanaan proyek dan peningkatan biaya pelaksanaan proyek yang bisa memicu terjadinya perselisihan.
Dalam upaya untuk memperbaiki kinerja industri konstruksi, Lauri J. Koskela dari VTT Building and Transport mencetuskan suatu metode pendekatan baru dalam pelaksanaan proyek industri yang disebut dengan lean construction atau konstruksi ramping. Konstruksi ramping merupakan sebuah metode yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi untuk meminimalkan pemborosan serta memaksimalkan nilai proyek.
Sejatinya, prinsip-prinsip konstruksi ramping merupakan penerapan lean principles yang telah diterapkan industri manufaktur pada industri konstruksi. Prinsip-prinsip konstruksi ramping, yaitu:
1. Mengidentifikasi proyek dari sudut pandang konsumen (value)
Pendekatan konvensional hanya berfokus pada hasil fisik bangunan yang diinginkan pelanggan, sedangkan konstruksi ramping menjelaskan bahwa nilai-nilai proyek pelanggan memiliki makna dan fungsionalitas yang lebih dalam daripada itu. Tim proyek tidak hanya memberikan hal yang diinginkan klien, tetapi juga memberikan saran dan gambaran detail perancangan dan pelaksanaan proyek.
2. Menentukan value stream
Setelah memahami nilai-nilai proyek dari sudut pandang konsumen, selanjutnya proses yang diperlukan dapat disusun untuk mencapai nilai tersebut. Hal itu disebut dengan value stream. Selanjutnya, dapat ditentukan detail setiap aktivitas, tenaga kerja, informasi, peralatan, dan bahan yang benar-benar diperlukan untuk pelaksanaan proyek.
3. Mengeliminasi pemborosan
Konstruksi ramping menargetkan pengeliminasian 8 jenis pemborosan utama:
-Kecacatan
-Produksi berlebih
-Waktu tunggu
-Kemampuan SDM yang tidak optimal
-Pengangkutan
-Persediaan
-Pergerakan
-Pemrosesan berlebih
4. Menentukan alur proses kerja (flow)
Keadaan ideal proyek konstruksi ramping adalah saat alur kerja yang terjadi bersifat berkelanjutan sehingga dapat diandalkan dan diprediksi. Komunikasi yang jelas antara semua pihak sangat diperlukan untuk mencapai alur yang telah direncanakan.
5. Pull planning and scheduling (pull)
Produk dibuat pada saat dibutuhkan atau sesuai jadwal yang telah ditentukan untuk menghindari produk tidak terpakai dan mengurangi pemborosan.
6. Peningkatan kualitas pekerjaan yang berkelanjutan (perfection)
Untuk mencapai kesempurnaan produk, perlu dilakukan perbaikan secara terus-menerus. Setiap peluang untuk perbaikan diidentifikasi dan ditindaklanjuti agar bisa diterapkan pada proyek-proyek selanjutnya.
Sudah tidak perlu diragukan lagi bahwa konstruksi ramping jauh lebih maju dibanding konstruksi konvensional. Berbagai alat dan teknik telah dikembangkan untuk mengimplementasikan pelaksanaan konstruksi ramping. Terdapat kurang lebih lima puluh alat yang dapat digunakan. Alat-alat tersebut dapat membantu para pekerja konstruksi untuk meningkatkan nilai suatu proyek dan mengurangi pemborosan. Namun, terdapat beberapa cara/tools yang sudah terkemuka dan penting untuk diketahui, di antaranya:
1. 5S Process
5S merupakan singkatan dari seiri, seiso, seiton, seiketsu, dan shitsuke, (yang berarti ringkas, rapi, resik, rawat, dan rajin). 5S adalah lima tahap proses pengurangan pemborosan dari suatu proyek di tempat kerja melalui penggunaan kontrol visual. Secara singkat, 5S bertujuan untuk mengontrol ketertiban dan efisiensi di proyek tempat bekerja.
2. Last Planner System (LPS)
Last Planner System adalah
sistem holistik yang berarti bahwa setiap bagiannya terikat satu sama lain dan sangat diperlukan untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan konstruksi ramping. LPS merupakan sebuah metode yang memetakan berbagai kegiatan dalam konstruksi yang berbentuk alur kerja (workflow).
LPS ini memiliki urutan pelaksanaan, yaitu master scheduling atau penjadwalan utama, phase scheduling atau penjadwalan fase, lookahead planning atau peninjauan kembali jadwal, weekly work plan (WWP) atau rencana kerja mingguan, dan percent plan complete (PPC). LPS merupakan tools konstruksi ramping yang paling banyak digunakan di hampir seluruh penjuru dunia.
3. Value stream mapping (VSM)
Value stream mapping merupakan diagram alur yang menggambarkan langkah-langkah suatu pelaksanaan proyek. Alat tersebut bekerja dengan membuat diagram alur untuk representasi visual suatu proses. Oleh karena itu, teknik ini mengandalkan analisis aliran proses. Diagram dirancang untuk memeriksa nilai tambah dari setiap langkah pelaksanaan proyek sehingga dapat ditemukan langkah mana yang bernilai tambah ataupun yang hanya bersifat pemborosan.
Konstruksi ramping memberikan lebih banyak manfaat dan nilai lebih dibandingkan dengan konstruksi konvensional. McGraw Hill Construction telah melakukan studi kepada proyek-proyek konstruksi yang menerapkan konstruksi ramping. Hasil studi tersebut menerangkan bahwa proyek-proyek tersebut mendapat banyak manfaat, yaitu:
-Peningkatan kualitas konstruksi (84%)
-Pengurangan biaya pelaksanaan proyek (64%)
-Peningkatan produktivitas (77%)
-Pengurangan jadwal proyek (74%)
-Peningkatan keamanan dalam pelaksanaan proyek (77%)
Sebagian besar subjek studi tersebut membuktikan bahwa konstruksi ramping ini memberikan banyak manfaat terhadap suatu proyek konstruksi.
Konstruksi ramping, sebagai metode baru dalam lingkup ilmu manajemen dan rekayasa konstruksi (MRK), masih perlu banyak dikaji dan diteliti lebih lanjut agar dapat diimplementasikan dalam industri konstruksi di Indonesia. Untuk merealisasikan konstruksi ramping di Indonesia, perlu adanya penelitian mengenai kesiapan berbagai stakeholder industri konstruksi serta edukasi yang tepat mengenai konstruksi ramping.
Oleh karena itu, peranan ahli, lembaga penelitian, dan pendidikan sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Sebelum konstruksi ramping diterapkan secara masif, pastinya para stakeholder industri konstruksi harus sudah sangat siap dan paham mengenai konstruksi ramping.
Konstruksi ramping belum banyak dipahami oleh khalayak umum sehingga diperlukan usaha yang keras dan berkelanjutan agar dapat diaplikasikan secara nyata. Maka dari itu, partisipasi serta kerja sama oleh semua pihak tentunya sangat dibutuhkan. Setiap pihak yang terlibat di industri konstruksi memiliki andil sesuai dengan kapabilitasnya masing-masing.
Di Indonesia saat ini, langkah nyata penerapan konstruksi ramping secara serius sudah mulai diimplementasikan ke suatu proyek. Salah satu proyek tersebut ialah mega proyek Engineering, Procurement and Construction (EPC) Jambaran Tiung Biru (JTB) di Bojonegoro, Jawa Timur yang dilaksanakan oleh PT. Rekind (Rekayasa Industri) dengan PT. Pertamina EP Cepu sebagai owner. Dengan adanya langkah awal tersebut, perusahaan penyedia jasa konstruksi lainnya diharapkan dapat turut serta menerapkan konstruksi ramping sehingga kedepannya prinsip tersebut menjadi hal yang lumrah diterapkan dalam industri konstruksi di Indonesia.
Data oleh Sherly Octavia
Tulisan oleh Alkansa Jesiro Syam
Gambar oleh Arieq Zulian