Beranda Opini Harga LPG Nonsubsidi Naik? Saatnya Pindah ke Gas Alam!

Harga LPG Nonsubsidi Naik? Saatnya Pindah ke Gas Alam!

oleh Redaksi

Tahun 2021 ditutup dengan kabar mengejutkan dari sektor migas. Per tanggal 25 Desember 2021, PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga LPG nonsubsidi dengan rerata kenaikan antara Rp1.600 hingga Rp2.600 per kg. Kenaikan harga ini disebabkan oleh tren peningkatan contract price aramco (CPA) sebagai acuan harga LPG. Nilai CPA tertinggi pada November 2021 mencapai 847 USD/metrik ton atau meningkat 57% sejak Januari 2021. Kenaikan harga LPG nonsubsidi ini menimbulkan pertanyaan di benak para konsumen, bukankah Indonesia memiliki cadangan gas alam yang melimpah?

Perlu dipahami, sebenarnya kedua pernyataan tersebut tidaklah saling berkaitan karena gas alam dan LPG berbeda. LPG atau liquefied petroleum gas adalah gas yang didominasi oleh propana dan butana. Sementara itu, gas alam didominasi oleh senyawa metana dan etana.

Sesuai namanya, LPG merupakan turunan minyak bumi yang didapat dari proses pengilangan. LPG dapat disimpan dalam tabung atau tangki sehingga mudah untuk didistribusikan. Hal ini membuat LPG banyak digunakan untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga. Selain itu pula, tekanan yang dibutuhkan untuk mencairkan gas ini lebih rendah. Gas dalam tabung dicairkan langsung ketika ingin digunakan tanpa perlu infrastruktur khusus.

Indonesia memiliki kekayaan gas alam melimpah yang dapat dimanfaatkan. Tercatat pada Statistical Review of World Energy yang dirilis BP, akhir tahun 2020 kemarin cadangan gas alam Indonesia ada sebanyak 1.300 miliar meter kubik dengan produksi rata-rata 60 hingga 70 miliar meter kubik per tahunnya. Apabila cadangan gas ini diproduksi terus menerus, dalam waktu 20 tahun, cadangan ini akan habis. Walaupun begitu, cadangan ini hanya merupakan cadangan terbukti (proven reserves) yang dapat segera diproduksi. Pada kenyataannya, alam juga menyimpan cadangan gas dalam jumlah sangat besar yang mungkin bisa diproduksi (probable reserves).

Gas alam sebagai bahan bakar dapat didistribusikan dalam dua bentuk, yaitu LNG dan CNG (compressed natural gas). CNG memiliki tekanan berkisar antara 200 hingga 250 bar yang berbahaya jika langsung digunakan dalam skala rumah tangga. Sebagai gambaran, tekanan gas LPG yang biasanya dipakai masyarakat berkisar antara 2 hingga 2,5 bar sehingga perlu dilakukan penurunan tekanan apabila CNG akan dipakai. Selain itu pula, tabung penyimpanan CNG umumnya lebih besar dari tabung LPG. Di Indonesia sendiri, saat ini CNG digunakan untuk bahan bakar kendaraan bus TransJakarta dan sebagian bajaj. Akan tetapi, pemakaian CNG sebagai bahan bakar kendaraan ini masih terbatas, salah satunya adalah karena kecilnya minat masyarakat untuk beralih ke bahan bakar gas. Hal ini karena bahan bakar minyak (BBM) yang dipakai masyarakat dapat dijangkau dengan mudah dan harganya masih berada dalam batas wajar.

Produksi gas alam diperlukan untuk menghilangkan zat-zat pengikutnya seperti karbon dioksida dan hidrogen sulfida yang tidak diperlukan dalam pembakaran. Gas alam hasil produksi Indonesia sebagian besar digunakan untuk sektor kelistrikan dan sekitar sepertiganya diekspor dalam bentuk LNG (liquefied natural gas). LNG merupakan gas dengan senyawa dominan berupa metana dan etana yang didinginkan hingga menjadi cair pada suhu antara -150°C hingga 200°C.

Pengembangan dan pemanfaatan LNG memerlukan infrastruktur khusus mulai dari produksi hingga distribusi ke konsumen. Gas alam yang baru diambil dari ladang gas perlu dibersihkan dahulu dari senyawa-senyawa pengikut dan dicairkan menjadi LNG. Pencairan gas alam menjadi LNG memerlukan fasilitas pendingin dan tangki kriogenik yang suhunya dapat mencapai -150°C hingga 200°C. Temperatur yang rendah ini menjadikan LNG tidak dapat dikemas dalam tabung seperti LPG. Sebelum digunakan, LNG perlu dikembalikan ke bentuk gas lewat proses regasifikasi. Regasifikasi umumnya dilakukan di atas kapal yang biasa disebut FSRU (floating storage and regassification unit) dengan menggunakan air laut sebagai penukar panas dalam prosesnya. Jaringan pipa ke rumah-rumah konsumen yang terintegrasi dengan fasilitas regasifikasi diperlukan dalam distribusi LNG sebagai bahan bakar rumah tangga. Proses yang kompleks ini jelas tidak dapat dilakukan pada skala rumah tangga.

Gas alam bernilai jauh lebih murah daripada LPG. Di saat harga LPG nonsubsidi naik, naluri masyarakat akan bergerak mencari opsi yang lebih murah. Pada kasus ini, gas alam bisa menjadi solusi. Namun, fasilitas pendukungnya sampai hari ini tak kunjung tersedia. Alhasil, masyarakat akan beralih ke LPG bersubsidi 3 kg, membuat pemerintah makin banyak mengeluarkan anggaran untuk subsidi bahan bakar tersebut.

Hingga saat ini, sebagian besar LPG yang digunakan di Indonesia masih mengandalkan impor. Ironis, mengetahui ada opsi lain bahan bakar rumah tangga yang tidak dapat dirasakan masyarakat akibat terbatasnya fasilitas pendukung. Ketika kebutuhan gas masyarakat bertambah, bukannya memasang infrastruktur penyaluran gas alam, kita malah memilih untuk tetap mengimpor LPG.

Kendala utama dalam penggunaan gas alam sebagai bahan bakar rumah tangga adalah distribusi dan infrastruktur pendukungnya. Pemerintah harus menyediakan jaringan perpipaan gas untuk menyalurkan gas ke rumah tangga sebab gas alam tidak bisa didistribusikan dalam tabung seperti LPG.

Jalan terbaik yang dapat ditempuh adalah dengan menggencarkan pembangunan infrastruktur regasifikasi yang terintegrasi dengan jaringan perpipaan untuk mengalirkan gas alam ke rumah-rumah konsumen. Langkah awal yang mungkin dilakukan adalah dengan pengembangan jaringan perpipaan rumah tangga di daerah sekitar industri dan pembangkit listrik yang menggunakan LNG. Untuk daerah yang berada jauh dari ladang gas, LNG dapat didistribusikan dengan kapal khusus pengangkut LNG dan diregasifikasi terlebih dahulu di atas kapal. Pemasangan jaringan pipa untuk gas alam ini harus mendapat perhatian serius. Apabila dilihat dari kondisi permukiman di Indonesia, faktor keamanan menjadi faktor penting untuk mencegah terjadinya kebocoran gas yang dapat mengakibatkan bencana, khususnya di area permukiman padat penduduk.

Tidak ada satu aktivitas pun yang tidak memiliki sisi negatif. Kendala-kendala pemasokan gas alam yang telah dijabarkan di atas sebaiknya tidak menjadi bahan pemerintah untuk tidak memprioritaskan peralihan ke gas alam. Daripada gas alam kita dijual untuk kemudian membeli LPG, akan lebih baik jika gas alam langsung digunakan untuk bahan bakar rumah tangga. Sebaiknya peralihan dari LPG ke gas alam untuk bahan bakar rumah tangga ini tidak ditunda-tunda sebab makin waktu berjalan, makin banyak impor LPG yang dilakukan—dan makin berkurang cadangan gas alam kita.

Tulisan oleh Melisa Ruth Angelica
Data oleh Salma Zulfa
Ilustrasi oleh Caroline Valencia Kurniawan

Artikel Terkait