Pembangunan Infrastruktur, antara Manfaat dan Mudarat

Bicara manfaat…

Berkembangnya infrastruktur di suatu negara merupakan salah satu indikator perkembangan perekonomian—begitu juga sebaliknya. Tak bisa dimungkiri, infrastruktur sering dijadikan tools untuk meningkatkan dan mengakselerasi perekonomian suatu kawasan. Tidak hanya perekonomian, adanya pembangunan infrastruktur merupakan bentuk keadilan, kesetaraan, dan kemajuan peradaban.

Kita tahu bahwa pembangunan infrastruktur juga melibatkan berbagai pihak pendukung seperti industri material, jasa konsultansi dan pekerjaan konstruksi, transportasi, energi, perbankan, dan lain sebagainya. Keberadaan infrastruktur menghasilkan multiplier effect bagi perekonomian. Lapangan kerja yang dihasilkan terbilang cukup besar sehingga mampu menyerap tenaga kerja sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.

Pembangunan infrastruktur juga bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat ke berbagai hal. Pembangunan sekolah dan rumah sakit meningkatkan akses masyarakat akan pendidikan dan kesehatan. Pembangunan bendungan dan sistem irigasi meningkatkan akses masyarakat akan air baku untuk berbagai keperluan. Pembangunan jalan, jembatan, terminal, pelabuhan, dan bandar udara meningkatkan akses masyarakat akan transportasi. Pembangunan pembangkit listrik, kilang minyak, serta jaringan pipa dan kabel meningkatkan akses masyarakat akan pemenuhan kebutuhan energi.

Dengan adanya bendungan, misalnya, petani mendapat kepastian akan sumber air untuk lahan tanamnya yang kelak dapat meningkatkan pendapatannya saat panen. Dengan adanya jembatan, sebuah desa di seberang sungai dapat mengirimkan hasil panennya ke kota dengan lebih cepat sehingga meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Dengan adanya jalan tol, pengiriman logistik dari pusat-pusat produksi ke berbagai daerah makin cepat. Hal itu memungkinkan harga barang-barang menjadi lebih terjangkau. Bahkan, bagi seorang awam, penulis merasa masih banyak manfaat lain yang tidak sempat dituliskan dalam artikel ini.

Semenjak Presiden Joko Widodo mengambil alih kemudi pemerintahan di Indonesia, beliau dengan gencar menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas nasional dalam memajukan perekonomian Indonesia. Setidaknya sejak 2014, tidak kurang 4.600 km jalan, 41.063 m jembatan, 55 bendungan, 124 pelabuhan, 15 bandar udara baru, serta 38 ekspansi dan perbaikan bandara lama telah dibangun. Pemerintah juga memiliki proyek infrastruktur prioritas yang disebut sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang meliputi 208 proyek dan 10 program selama 2020–2024. Melalui kebijakan ini, setidaknya terdapat 57 proyek bendungan dan irigasi, 56 proyek jalan dan jembatan, serta 19 proyek kawasan industri baru.

Bermanfaat kok bisa bermudarat?

Akan tetapi, terkadang tidak semua proyek infrastruktur mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat. Beberapa kalangan merasa adanya infrastruktur tertentu justru menimbulkan permasalahan. Permasalahan ini timbul karena beberapa hal terkait proses perencanaan, pembangunan, atau pengoperasian yang dirasa mengganggu, merusak, bahkan memusnahkan kehidupan segelintir masyarakat. Hal inilah yang menuai banyak perdebatan di ruang-ruang publik.

Meskipun pembangunan infrastruktur sudah direncanakan, kenyataannya masih banyak proyek yang menuai pro dan kontra. Contoh yang sedang hangat akhir-akhir ini adalah proyek pembangunan Bendungan Bener di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Pembangunan bendungan tersebut dimaksudkan untuk pengaliran jaringan irigasi yang mendukung ketahanan pangan serta memenuhi kebutuhan air baku masyarakat dan industri di sekitarnya.

Alih-alih mendapat dukungan utuh dari masyarakat, pembangunan Bendungan Bener justru mendapat penolakan dari sebagian warga desa terdampak. Bila ditelisik lebih jauh, barangkali, masyarakat sebenarnya tidak menolak adanya bendungan tersebut, tetapi mereka menolak pembangunan quarry batu andesit di wilayahnya yang digunakan sebagai material utama pembangunan bendungan. Masyarakat merasa bahwa mengorbankan sebagian atau seluruh wilayah desa beserta kehidupannya adalah bentuk ketidakadilan. Mereka khawatir akan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat adanya penambangan untuk pembangunan bendungan. Proyek ini juga menuai perhatian publik setelah banyak tindakan yang dianggap represif dan tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya.

Kasus lain terjadi pada proyek PLTA Sulewana yang terletak di Danau Poso, Sulawesi Tengah. Pembangkit listrik sebesar 515 megawatt ini merupakan yang terbesar di wilayah Indonesia Timur. Keberadaan PLTA tersebut diharapkan dapat membantu mencukupi kebutuhan listrik di Sulawesi sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca yang merugikan lingkungan.

Namun, tidak lama setelah PLTA Sulewana beroperasi, muncul protes yang berasal dari warga di sekitar Danau Poso. Warga mengeluhkan ketinggian muka air danau yang meningkat akibat beroperasinya PLTA tersebut. Naiknya muka air danau menyebabkan area persawahan dan ladang ternak kerbau milik warga terendam. Akibatnya, para petani tidak bisa bercocok tanam dan ternak-ternak milik warga banyak yang mati karena kekurangan pangan. Hal tersebut berdampak pada perekonomian warga di sekitar Danau Poso yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan penggembala kerbau.

Pro dan kontra di tengah masyarakat terhadap pembangunan infrastruktur tidak berhenti pada dua kasus tersebut. Masih banyak proyek lain yang menjadi perdebatan sengit di Indonesia sehingga tidak mungkin penulis sebutkan seluruhnya. Sebut saja proyek Formula E yang dinilai menghambur-hamburkan uang di tengah pandemi Covid-19. Dalam proyek Jalan Tol Serpong–Balaraja, uang ganti tanah dan bangunan yang diberikan oleh pemerintah dinilai terlalu rendah. Lalu kemudian, juga terdapat proyek Jakarta International Stadium (JIS) yang belum menemui titik terang dalam merelokasi warga Kampung Bayam yang terdampak pembangunan.

Sejatinya, pembangunan infrastruktur diharapkan mampu memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian Indonesia. Mulai dari terbukanya lapangan pekerjaan baru, terciptanya kawasan industri baru, hingga pemerataan pembangunan. Akan tetapi, mengapa masih ada warga yang menolak pembangunan infrastruktur di daerahnya? Bukankah pembangunan tersebut mestinya akan membawa manfaat untuk masyarakat? Ataukah mereka hanya bersikap egois karena takut kehilangan apa yang mereka miliki?

Selama ini, kita selalu memiliki nilai moral “kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi”. Masyarakat diminta untuk dapat berkorban demi kepentingan negara yang lebih besar dan mampu melihat big picture dari keberadaan suatu infrastruktur.

Bahkan, tidak selamanya masyarakat yang menjadi pihak berkorban akan merugi. Beberapa tahun belakangan, sebagian masyarakat justru diuntungkan akibat adanya proyek pemerintah. Sebut saja warga “Kampung Miliarder” di Tuban, Jawa Timur. Dalam waktu singkat, mereka menjadi miliarder setelah tanah dan bangunan yang mereka miliki dibeli oleh PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia untuk mendirikan kilang minyak. Tidak berhenti di situ, Pertamina juga berjanji akan membuka lowongan pekerjaan untuk warga yang terdampak pendirian kilang minyak tersebut—walaupun masyarakat masih menuntut janji ini. Apakah mendirikan kilang minyak termasuk kepentingan negara? Tentu saja iya. Apakah warga “Kampung Miliarder” berkorban untuk kepentingan negara tersebut? Jika yang dimaksud berkorban adalah mereka menggunakan uang “ganti untung” tersebut untuk membangun rumah di tempat lain, berpindah tempat merupakan bentuk pengorbanan mereka.

Lantas, seberapa besar pengorbanan yang harus diberikan oleh tiap-tiap pribadi kepada bangsanya? Apakah dengan berkorban, warga harus rela kehilangan mata pencaharian dan kehidupannya? Apakah warga pantas dikatakan egois hanya karena mereka takut kehilangan segalanya? Apakah ganti untung langsung menyelesaikan semua permasalahan dan pengorbanan masyarakat?

Duduk bersama, rembug bersama

Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah sebagai pihak yang memiliki kepentingan untuk merangkul masyarakat dalam setiap proyek pembangunan infrastruktur. Masyarakat perlu dilibatkan dalam perencanaan, perancangan, hingga pascapembangunan. Melalui wakil atau tokoh masyarakat, pemerintah dapat menyerap aspirasi yang muncul dari diskusi atau musyawarah. Dengan ikut terlibat, masyarakat dapat memahami apa, mengapa, bagaimana, risiko, serta manfaat yang dapat diperoleh dari tiap proyek pembangunan infrastruktur.

Pemahaman ini penting bagi pemerintah untuk memahami kondisi sosial masyarakat dan lingkungan. Pemahaman ini justru akan mempermudah pemerintah dan pelaksana dalam proses persiapan dan pembangunan. Selain itu, pemahaman yang komprehensif juga akan memudahkan masyarakat dalam mengukur serta memutuskan untuk “berkorban”. Mengukur besar pengorbanan bukan berarti pamrih, tetapi sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya dan rakyat berkewajiban untuk mendukung usaha pemerintah itu. Pemerintah harus seminimal mungkin—bahkan seharusnya tidak boleh—menggunakan intimidasi dan pemaksaan kepada masyarakatnya sendiri.

Bersambung dengan peristiwa Kampung Miliarder, kabar baru-baru ini justru terdengar kurang mengenakkan. Sebagian masyarakat yang lahannya dibeli oleh perusahaan justru menderita kemiskinan. Padahal, dalam proses pembelian lahan tersebut yang menggunakan prinsip ganti untung, masyarakat mendapatkan untung besar karena lahannya dibeli di atas harga pasar oleh perusahaan. Saat ini, masyarakat justru memprotes keadaan mereka saat ini kepada perusahaan dan menuntut janji-janji perusahaan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Jawabannya mungkin bisa sangat kompleks. Akan tetapi, penulis merasa pemerintah masih kurang serius dalam menyosialisasikan dan mengedukasi masyarakat terdampak. Seharusnya, masyarakat diedukasi supaya bijak dalam penggunaan uang hasil ganti untung. Pemerintah mesti memberikan semacam pelatihan dan bantuan kepada masyarakat untuk tetap bisa melanjutkan kehidupannya setelah terkena dampak—juga untuk masyarakat yang tidak memiliki lahan, tetapi sangat bergantung dengan keberadaan lahan yang dibeli pemerintah. Bentuknya bisa bervariasi, seperti pelatihan pengelolaan keuangan dan pelatihan kerja. Jangan sampai masyarakat salah kelola, seperti merenovasi rumah dan membeli mobil mewah—bukannya menggunakan uang ganti untung untuk hal-hal yang sifatnya lebih produktif dan menjaga kelangsungan hidup dan mata pencahariannya.

Lagi-lagi amdal…

Melihat berbagai permasalahan yang ada, penulis merasa bahwa permasalahan tersebut muncul karena pemerintah gagal mengatasi dan memitigasi dampak sosial dan lingkungan dari beberapa pembangunan infrastruktur. Sebenarnya, regulasi telah mengatur bahwa setiap proyek pembangunan infrastruktur mensyaratkan dokumen lingkungan—diatur dalam UU Cipta Kerja, Permen LH No. 38 Tahun 2019, dan turunannya. Hampir semua aspek pembangunan dianalisis melalui dokumen ini, termasuk di antaranya perubahan rona lingkungan, kondisi sosial masyarakat, dan dampak yang ditimbulkan. Melalui dokumen ini, setiap pembangunan infrastruktur harus memiliki langkah mitigasi dan pengelolaan untuk meminimalkan dampak buruk sebelum pembangunan, saat pembangunan, hingga pascapembangunan. Dokumen ini bisa dibilang sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap pengelolaan lingkungan hidup dan jaminan bahwa pembangunan dilaksanakan sesuai dengan prinsip berkelanjutan.

Tak bisa dimungkiri, pembangunan infrastruktur tidak bisa menyenangkan semua pihak. Barangkali, semua kembali ke niat awal pemerintah sebagai owner proyek pembangunan. Niat yang tulus untuk memajukan masyarakat niscaya akan didukung penuh. Akan tetapi, sesuai dengan pepatah, percuma perbuatan baik kalau dilakukan dengan tidak baik. Proyek pembangunan infrastruktur mesti memperhatikan semua aspek–tidak hanya tentang hal-hal teknis dan biaya. Dokumen AMDAL adalah salah satu kunci keberhasilan proyek—selama isinya tidak dimanipulasi untuk target dan kepentingan segelintir orang. Sesungguhnya, pemilik proyek adalah rakyat, pemerintah adalah penerima mandat rakyat. Jadi, pemerintah mesti menjadikan rakyatnya sebagai pemilik kepentingan di setiap proyek-proyeknya.

Tulisan dan Data oleh Filipus Alfiandika N. dan Shafa Arkan A.
Ilustrasi oleh Deva Setya