Beranda Opini Momentum Sistematisasi Jakarta Setelah 2024

Momentum Sistematisasi Jakarta Setelah 2024

oleh Redaksi

Ibu Kota Yang Berpindah

Keputusan pemindahan IKN ke Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur telah ditetapkan oleh pemerintah terhitung sejak tanggal 18 Januari 2022 melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022. Pemindahan ini didasari oleh berbagai aspek, salah satunya adalah aspek kependudukan. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil memaparkan jumlah penduduk DKI Jakarta yang semakin bertambah hingga mencapai angka kepadatan 16.704 jiwa/km². Angka tersebut tergolong sangat tinggi apabila dibandingkan dengan kepadatan penduduk Indonesia yang hanya 141 jiwa/km². Permasalahan penduduk ini menjadi akar dari berbagai macam permasalahan turunan lainnya.

Ibu kota yang ideal seharusnya memenuhi beberapa poin, seperti pada aspek keberlanjutan yang mencakup keamanan dan keterjangkauan, desain yang disesuaikan dengan kondisi alam, keterhubungan dan aksesibilitas antarwilayah, sirkularitas, serta rendah emisi karbon. Ibu kota menjadi perwujudan simbol identitas bangsa Indonesia serta penggerak ekonomi Indonesia di masa depan. Berkaca dari kondisi aktual yang ada di Jakarta, cukup mustahil untuk mampu memenuhi kondisi ideal Ibu Kota Negara.

Permasalahan konversi lahan, krisis ketersediaan air, kemacetan, penurunan kualitas udara, hingga merosotnya daya dukung lingkungan menjadi parameter urgensi pemindahan Ibu Kota Negara. Lantas, bagaimana keadaan Jakarta setelah dilangsungkan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur? Akankah Jakarta menjadi kota mati?

Ada Apa dengan Jakarta?

Konversi lahan menjadi salah satu permasalahan Provinsi Jakarta. Intensitas hujan di Jakarta tergolong ekstrem dan nilainya mencapai 377 mm/hari. Hal tersebut menjadi sebuah kontroversi karena nilai koefisien limpasan wilayah Jakarta sebesar 0,61 dengan arti bahwa 39% air meresap ke dalam tanah dan 61% air menjadi limpasan. Limpasan air hujan yang tidak diatasi dengan tepat mampu menimbulkan banjir. Masih terkait dengan air,  Kementerian ESDM menyebutkan bahwa hanya sekitar 20% air tanah yang memenuhi standar Menteri Kesehatan No. 492 tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. 

Tak cukup dengan kedua permasalahan di atas, jumlah penduduk yang terus bertambah berdampak pada peningkatan aktivitas mobilisasi. Dari mobilisasi tersebut, muncul kemacetan tinggi dan penurunan kualitas udara. Integrasi permasalahan-permasalahan tersebut akan menyebabkan semakin buruknya daya dukung lingkungan Jakarta. Dibuktikan dengan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupa penurunan muka air tanah hingga 7,5-10 cm/tahun, pencemaran air sungai hingga 61%, dan prediksi kenaikan muka air laut hingga 25-50 cm pada tahun 2050.

Permasalahan konversi lahan, krisis ketersediaan air, kemacetan, penurunan kualitas udara, hingga merosotnya daya dukung lingkungan menjadi parameter urgensi pemindahan Ibu Kota Negara. Lantas, bagaimana keadaan Jakarta setelah dilangsungkan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur? Akankah Jakarta menjadi kota mati?

Jakarta dan Eksistensinya

Pertanyaan ini memerlukan suatu jawaban yang sistematis dan runtut. Jakarta adalah sebuah provinsi berkarakter urban dan didominasi oleh perkotaan (biasa disebut megalopolitan). Pada dasarnya, salah satu faktor pendorong pemilihan ibu kota suatu negara berdasar pada kemampuan pertumbuhan ekonominya. Ketika sebutan ibu kota tak lagi disandang, kota tersebut tetap akan memiliki basis ekonomi yang baik. Roda perekonomian Jakarta berputar dengan sangat cepat, pasalnya basis ekonomi berasal dari unsur bisnis finansial, jasa, industri, pariwisata, serta pendidikan. Perekonomian tentunya akan terus bertumbuh dan menuju Jakarta yang jauh lebih dinamis.

Di samping aspek ekonomi, beban Jakarta akan berkurang dalam perihal kemacetan serta penurunan kualitas udara. Dilansir dari laman BPS, jumlah penduduk Kota Jakarta menyentuh angka 11,25 juta jiwa dengan kepadatan 17.013 jiwa/km. Wacananya, sejumlah 100 ribu aparatur sipil negara (ASN) akan dipindahkan ke IKN dalam rentang tahun 2024-2029. Pengurangan jumlah penduduk di Jakarta semestinya akan mengurangi aktivitas mobilisasi masyarakat sehingga emisi karbon yang dihasilkan juga akan berkurang. Hal tersebut berpengaruh kepada tingkat kualitas udara di Jakarta. 

“Kami yakin Jakarta tidak akan ditinggalkan oleh pemerintah pusat termasuk dalam hal pembangunan infrastrukturnya karena bagaimanapun Jakarta akan tetap menjadi wajah pusat bisnis dan jasa terbesar di Indonesia yang menjadi tolak ukur terutama bagi pelaku bisnis global,” ujar Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) DKI Jakarta Dhani Muttaqin.

Pemindahan IKN menjadi suatu momentum sistematisasi bagi Kota Jakarta. Tak adanya aktivitas pemerintahan mampu mendorong alih fungsi lahan menjadi ruang terbuka hijau (RTH). Meskipun Jakarta tak lagi menjadi ibu kota negara, Jakarta tetap akan berwenang dalam proses integrasi sistem mobilisasi, permukiman, dan pusat investasi dalam wilayah setempat.

Masyarakat Provinsi Jakarta berpandangan bahwa ketika pembangunan tetap dilakukan di Provinsi Jakarta, perkembangan akan semakin cepat dan menjadi suatu wilayah yang mampu bersaing secara global dengan negara lain. Berdasarkan data yang diperoleh dari survei Pusat Kajian Kepemudaan (PuskaMuda) terhadap 500 warga Jakarta, sejumlah 61,5% responden survei menilai bahwa pemindahan IKN ke Kalimantan Timur akan membawa perubahan untuk kemajuan Provinsi Jakarta.

“Perubahan yang akan terjadi menurut mayoritas responden adalah lalu lintas dan transportasi umum lebih nyaman,” ucap peneliti Pusat Kajian Kepemudaan Rissalwan Habdy Lubis.

Pembenahan Pasca Reposisi

Jakarta sebagai pelopor ekonomi bangsa memiliki aset transit point yang menjadi suatu simpul mobilitas manusia dan materi tersohor di Indonesia. Sistematisasi Jakarta dapat mulai dilakukan dengan membenahi beberapa isu yang menjadi permasalahan pokok di Provinsi Jakarta. 

Permasalahan pertama yang dapat diperbaiki adalah mengenai bencana banjir, dengan melakukan pembangunan tanggul laut dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), baik secara alamiah maupun struktural. Permasalahan kedua adalah ketersediaan air bersih yang hanya mampu menjangkau 65% kebutuhan warga. Pemasangan jaringan pipa atau pipanisasi menjadi salah satu solusi untuk mengatasi krisis air bersih. Saat ini, jumlah jaringan pipa PAM yang ada masih belum memenuhi panjang minimal, yaitu sepanjang 11.916 km. Permasalahan ketiga adalah pengelolaan limbah, seperti kurangnya armada pengangkutan limbah serta tidak diberlakukannya pemilahan limbah. Permasalahan limbah ini dapat diatasi dengan Sistem Pengolahan Sampah Antara (FSPA) menggunakan teknologi mutakhir pemusnah sampah. Permasalahan keempat adalah kemacetan lalu lintas akibat penggunaan kendaraan pribadi. Layanan transportasi publik terus dikembangkan di Provinsi Jakarta, baik transportasi berupa bus maupun kereta (KRL, MRT, dan LRT). Permasalahan kelima adalah permukiman kumuh yang terhitung masih cukup banyak. Permukiman kumuh yang menjadi sumber keresahan mampu ditumpaskan dengan relokasi rusunawa.

Jakarta sebagai suatu provinsi yang selama ini kerap bertumpuk dengan kepentingan pemerintah pusat akan memiliki peluang untuk lebih leluasa dalam mengatur tata ruang yang ada di dalamnya. Bahkan, kondisi Jakarta dapat membaik dengan melakukan pembenahan pada isu yang menjadi pokok permasalahan.

Tulisan oleh Aizna Syachkalita
Data oleh Salwa Ula Khairunnisa
Ilustrasi oleh Rafi Hanan Kausar

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar