Beranda Artikel Tol Jogja—Bawen Seksi I: Bagian Tol yang Melayang di atas Selokan Mataram

Tol Jogja—Bawen Seksi I: Bagian Tol yang Melayang di atas Selokan Mataram

oleh Redaksi

Tol Jogja—Bawen menjadi salah satu tol penghubung segitiga emas di Pulau Jawa. Perencanaan Tol ini sudah dimulai sejak tahun 2021. Setelah turunnya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) pada 22 Mei 2022, pengusahaan Tol Jogja-Bawen sudah mulai dilaksanakan oleh PT Jasa Marga Jogja Bawen. Dari enam seksi tol, seksi satu dan seksi enam (paket 1) akan ditangani oleh PT Adhi Karya (Persero) Tbk. dengan masa pengerjaan kurang lebih dua tahun. 

Seksi I Tol Jogja—Bawen membentang sepanjang 8,8 kilometer dimulai dari Yogyakarta sampai Simpang Susun Banyurejo. Hingga Maret 2023, progres pembangunan untuk seksi satu berada di angka 31,30% dan diharapkan dapat selesai pada triwulan I tahun 2024. Pada bulan yang sama, beberapa pekerjaan seperti pengerjaan timbunan, pemasangan bored pile, pembesian dan pengecoran kolom sekaligus abutment, pembesian dan pengecoran footing, serta pembebasan lahan sedang dilakukan. 

Pembebasan lahan Tol Jogja—Bawen Seksi I dilaksanakan di Kabupaten Sleman, tepatnya di Kapanewon Tempel, Mlati, dan Segeyan. Saat proses groundbreaking atau penggalian dasar pondasi berdasarkan desain dasar, progres pembebasan lahan sudah mencapai 95%. Namun, setelah perincian desain dengan detail engineering design (DED), diperlukan tambahan lahan sekitar 18 hektare sehingga persentase pembebasan lahan turun ke 64.65% pada Maret 2023. 

“Progres pembebasan lahan seksi 1 Yogyakarta—SS Banyurejo di Provinsi D.I. Yogyakarta mencapai 64,65% hingga Maret 2023. Untuk tindak lanjut pembebasan tanah desa dan Sultan Ground (SG), telah terbit Surat Tanggapan Permohonan Pelepasan Tanah Desa dari Keraton Yogyakarta pada tanggal 17 Desember 2022. Surat tersebut menyatakan bahwa tanah desa dan Sultan Ground dari Keraton Yogyakarta dapat digunakan untuk pembangunan Jalan Tol Jogja—Bawen tanpa harus dengan pelepasan. Tanah tersebut dapat digunakan dengan memberikan hak pakai melalui perjanjian para pihak,” ungkap Rizky selaku Staf Umum dan Protokoler atau Humas PT Jasa Marga Jogja Bawen. 

Pembangunan yang dilakukan di atas salah satu bangunan bersejarah di Yogyakarta menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi pelaksana Tol Jogja—Bawen. Tidak hanya tanah Sultan Ground dan tanah wakaf, Tol Jogja—Bawen juga dibangun di sekitar area Selokan Mataram. Selokan Mataram menjadi salah satu saksi perjuangan warga Yogyakarta menghadapi penjajahan Jepang. Sampai hari ini, Selokan Mataram masih mengalir dan menjadi saluran irigasi untuk banyak sawah di Yogyakarta. 

“Sedari awal, desain dasar Tol Jogja—Bawen mengharuskan jalan tol ini melewati Selokan Mataram. Sedangkan dalam menyusun DED, desain jalan tidak boleh terlalu menyimpang dari desain dasarnya. Di sisi lain, terdapat juga imbauan dari instansi terkait pembangunan jalan tol, seperti PUPR Kabupaten Sleman, Balai Wilayah Sungai, dan Balai Jalan agar pelaksana tidak merusak atau menutup selokan tersebut,” jelas Andi Y., selaku Asisten Manajer Divisi Proyek Jasa Marga Jogja Bawen. 

Akhirnya, diambil keputusan agar jalan Tol Jogja—Bawen Seksi I yang berada di DIY dibangun secara melayang atau elevated. Tidak seperti jalan tol elevated biasanya yang melayang di atas jalan lain, Tol Jogja—Bawen Seksi I didesain melayang di atas Selokan Mataram. Pilar jalan nantinya dibangun di luar jalan inspeksi Selokan Mataram. Setelah keluar dari wilayah DIY, sudah tidak ada lagi bangunan bersejarah seperti Selokan Mataram sehingga pembangunan jalan tol kembali menggunakan tipe jalan at grade.

Proses Perancangan dan Pembangunan Tol JogjaBawen Seksi I

Teknologi dan alat konstruksi Tol Jogja-Bawen masih menggunakan teknologi seperti pada umumnya. Sedangkan untuk semua proses desain, semua pelaku pekerjaan konstruksi Tol Jogja-bawen diwajibkan menggunakan Building Information Modeling (BIM). Software yang dipakai juga beragam, misalnya Autodesk, Civil 3D, dan InfraWorks. Selanjutnya, DED yang sudah jadi akan dimodelkan menjadi 3D dengan BIM. Dalam permodelan tersebut, didapat informasi mendetail meliputi kondisi tanah eksisting dan topografi yang memungkinkan pelaksana untuk mendeteksi potensi likuifaksi di daerah konstruksi. 

Keberlangsungan struktur perlintasan warga dan jalur drainase juga sudah dirancang saat proses desain. Sebelum merancang jalur perlintasan, pelaksana melakukan survei untuk semua perlintasan eksisting warga, baik Jalan Kabupaten, Provinsi, maupun Jalan Nasional yang dilewati Tol Jogja-Bawen Seksi I. Agar tidak terputus, jalur perlintasan warga dihubungkan dengan box underpass dan saluran drainase dihubungkan dengan box culvert. Sistem drainase tol kemudian dikumpulkan di satu tempat dan dikeluarkan di tempat eksisting seperti sungai atau jaringan drainase lainnya.

Ada dua tipe konstruksi yang dilakukan di Tol Jogja—Bawen Seksi I, yaitu elevated dan at grade. Pada bagian toll at grade, pekerjaan dimulai dari timbunan jalan. Timbunan dilakukan dengan pendatangan tanah dari quarry (tambang) ke lokasi proyek untuk menaikkan elevasi tanah. Tanah yang didatangkan lalu dihamparkan di lahan yang sudah dibebaskan dan dipadatkan sesuai dengan kepadatan dan kadar air yang ditentukan. Pekerjaan dilanjutkan dengan mempersiapkan bagian dasar sebelum memulai pekerjaan perkerasan jalan. Bagian tol jenis at grade menggunakan perkerasan kaku atau rigid pavement berupa beton. Jenis perkerasan ini dilakukan dengan alat bernama concrete paver yang dapat mengatur elevasi kanan dan kiri jalan secara bersamaan ketika pengecoran perkerasan dilaksanakan. 

Untuk bagian elevated, pekerjaan konstruksi sudah memasuki tahap pengerjaan pondasi dalam atau bored pile, footing, pilar, dan persiapan untuk mengerjakan pier head. Sedangkan untuk bagian at grade, sedang dilakukan pekerjaan timbunan dan perbaikan tanah dengan stone column untuk mencegah likuifaksi. Potensi likuifaksi disebabkan oleh karakteristik tanah lokasi yang sebagian besar adalah tanah berpasir. Selain tanah berpasir, tanah di lokasi juga ada yang berbatu dan berlumpur. Potensi likuifaksi sudah diketahui sedari awal sehingga dampaknya dapat dicegah dengan perbaikan tanah menggunakan metode stone column dan pemilihan bored pile sebagai pondasi tol elevated

Proses pengerjaan tol dengan tipe elevated tentunya akan memakan biaya yang lebih besar dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan tipe at grade. Hal ini disebabkan karena proses pengerjaannya yang lebih lama dan pembangunan struktur yang berisiko tinggi sehingga harus lebih berhati-hati. Misalnya saja, pengerjaan pondasi bored pile yang melalui proses cor bawah tanah memiliki banyak potensi tidak terlihat sehingga harus berhati-hati baik saat melakukan pengeboran ataupun pengecoran. Selanjutnya, akan dilakukan pengerjaan footing untuk menyatukan satu bored pile dengan bored pile lainnya dengan pembesian dan pengecoran. 

Ketika pilar dan pier head sudah jadi, akan dilakukan pekerjaan dengan risiko tinggi, yaitu pengangkatan girder. Pengangkatan girder yang memiliki bobot hingga 100 ton ini juga harus direncanakan dengan matang untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Proses pemasangan girder dimulai dari  erection girder, yaitu memasang dan membongkar kembali alat pemasangannya. Semua proses tadi menggunakan beton sebagai penyusunnya sehingga sangat penting untuk memastikan kuat tekan beton memenuhi standar yang diperlukan. Kuat tekan beton untuk masing-masing bagian tol adalah 30 MPa untuk bagian footing hingga pilar, 40 MPa untuk pier head, dan 58 MPa untuk girder

Pengerjaan disusul dengan pemasangan plat lantai (deck slap). Tidak seperti jenis at grade, pengecoran plat lantai di jalan elevated tidak bisa menggunakan concrete paver sehingga harus di cor dengan peralatan manual dan tenaga manusia. Hasil pengecoran ini tidak mulus dan tidak memiliki elevasi yang baik jika dibandingkan dengan menggunakan concrete paver. Oleh karena itu, perkerasan jalan tol elevated menggunakan jenis perkerasan flexible pavement (perkerasan lentur) atau yang dikenal sebagai lapisan aspal. Cara ini memungkinkan pelaksana untuk meratakan sekaligus mengatur elevasi kanan dan kiri jalan yang belum rata agar pengendara merasa nyaman. 

Kenyamanan pengendara di jalan tol nantinya diukur dengan Indeks Kenyamanan Pengendara atau International Roughness Index (IRI) saat proses uji laik fungsi. Semakin kecil nilai IRI, semakin halus pula permukaan jalan dan pengguna jalan juga semakin nyaman saat berkendara. Tol Jogja—Bawen menargetkan untuk mendapatkan koefisien IRI kecil, yaitu antara 0-3 agar jalan yang dihasilkan halus dan rata. 

Jalan yang rata sangat diperlukan untuk meningkatkan kecepatan berkendara pengguna jalan. Tol Jogja—Bawen sendiri didesain dengan kecepatan rancang 80 km/jam dengan target kendaraan yang melintas sebesar 18.000 Lintas Harian Rencana (LHR). Selain itu, Tol Jogja—Bawen juga dibangun dengan periode pakai selama 50 tahun. Sebelum menyentuh 50 tahun, nantinya akan dilakukan perbaikan jalan dan jembatan untuk mencegah kerusakan tol yang lebih parah di kemudian hari.

Tol Jogja—Bawen adalah salah satu proyek strategis nasional untuk mendukung program pemerintah dalam pengembangan infrastruktur. Jika sudah beroperasi penuh, perjalanan dari Semarang menuju Yogyakarta atau sebaliknya akan menjadi lebih cepat, dari sebelumnya memakan waktu 3 jam menjadi hanya 1,5 jam. Pembangunan jalan tol ini diharapkan dapat melancarkan distribusi barang dan jasa, pengembangan industri dan pariwisata, serta meningkatkan konektivitas khususnya di sisi selatan Pulau Jawa.

Data oleh Saiful Wasiim Maisaan
Tulisan oleh Nur Zakia Ahmat
Gambar oleh Bintang Gunindra Aryandaru

Artikel Terkait