Hawaii merupakan kepulauan eksotis yang terpisah dari daratan utama Amerika Serikat sekaligus menjadi tujuan wisata bagi para turis mancanegara. Dikutip dari Hawaii Tourism Authority, sebanyak 2.751.849 wisatawan telah berkunjung ke Hawaii pada pertengahan 2021 lalu. Beragam pantai dan tempat bersejarah menjadi tujuan para pelancong yang singgah di pulau ini. Pulau Maui merupakan salah satu pulau terbesar kedua di Kepulauan Hawaii. Di sana, tersaji spot terbaik untuk melihat panorama alam dengan keragaman hayati dan sejarah di dalamnya.
Baru-baru ini, kebakaran melanda pulau yang dijuluki sebagai The Valley Isle. Kota Lāhainā dan sebagian kecil Kota Kula menjadi pusat kebakaran yang menewaskan 114 orang pada 7 Agustus lalu. Dimulai dari percikan api yang membakar hutan wilayah konservasi, berujung menghanguskan sekitar 850 hektare lahan dan 2.100 bangunan di Kota Lāhainā. Bagaimana kronologi kejadian kebakaran hutan yang menimpa Pulau Maui? Simak penjelasan berikut ini!
Kronologi Kebakaran Hutan
Berawal dari munculnya ledakan pada tanggal 7 Agustus 2023 pukul 22:47 waktu setempat, ledakan tersebut terjadi di Pusat Konservasi Burung Kota Kula yang kemudian menimbulkan percikan api di dalam hutan. Percikan ini diduga merupakan suatu fenomena yang disebut sebagai arc flash—fenomena ketika arus listrik keluar dari jalurnya dan bergerak melalui udara dari satu konduktor ke konduktor lain, yaitu media tanah. Pelepasan energi panas dan cahaya secara tiba-tiba di kawasan hutan merupakan dampak dari kontak antara arus listrik dengan vegetasi yang ada.
Keesokan harinya, tanggal 8 Agustus 2023, kobaran api mulai terlihat di kawasan permukiman penduduk Kota Lāhainā. Kebakaran tersebut menyebabkan pemadaman listrik yang berdampak pada terhentinya sistem distribusi air. Kondisi Pulau Maui diperparah dengan adanya angin kencang yang menghambat mobilitas masyarakat untuk melakukan proses evakuasi. Sebanyak 400 sirene yang semestinya berbunyi saat terjadinya kebakaran tidak berfungsi sehingga mengakibatkan petugas hanya mampu mengandalkan ponsel dan media untuk memberikan peringatan.
Menurut Gubernur Hawaii Josh Green, kebakaran ini merupakan bencana terbesar dalam sejarah Hawaii. Akan tetapi, kebakaran yang telah merenggut ratusan nyawa ini masih berada dalam proses penyelidikan dan belum menunjukkan adanya indikasi mengenai penyebab kebakaran. Namun, kondisi geologis dan lingkungan dari Hawaii menunjukkan bahwa faktor alam menjadi sumber penyebaran utama dari kebakaran tragis ini.
Penyebab Kebakaran Pulau Maui
Kondisi Pulau Maui yang kering menjadi penyebab utama dari bencana yang terjadi. Pada tahun ini, Pulau Maui menghadapi kondisi kekeringan yang ekstrem. Udara kering dan panas menjadikan tanah serta tanaman mengering, menciptakan kondisi yang sangat rentan terhadap api. Pada Mei 2023, tidak ada wilayah yang mengalami kekeringan di Maui. Namun, pada minggu berikutnya, lebih dari setengah wilayah sudah menghadapi kondisi kekeringan yang tidak normal. Pada bulan Juni, sekitar 14% negara bagian mengalami kekeringan sedang hingga parah, sedangkan 83% Hawaii dikategorikan mengalami kekeringan parah. Sekitar 90% dari Hawaii menerima curah hujan lebih sedikit dari satu abad yang lalu, sejak periode 2008 yang sangat kering.
Maui berada di bawah peringatan siaga merah sebelum kebakaran terjadi karena suhu yang tinggi, kelembapan rendah, dan angin kencang. Angin kencang dari badai Dora yang melintas di dekat pantai Hawaii semakin memperburuk penyebaran api. Badai Dora dapat mempertahankan intensitas kekuatannya dari sebelah timur hingga mencapai bagian cekungan Pasifik Barat. Badai ini mempengaruhi sistem tekanan udara dengan meningkatkan nilai perbedaan tekanan udara sehingga menghasilkan hembusan angin yang sangat kuat—melebihi 60 miles per hour (mph)—dan membuat penyebaran api semakin meluas. Meluasnya kebakaran hutan ini didorong oleh fakta bahwa Hawaii memiliki bahan bakar dalam wujud tumbuhan, percikan api, dan kondisi cuaca khusus—seperti angin yang menggerakkan api.
Temperatur udara saat kebakaran terjadi mencapai 90° Fahrenheit. Suhu yang ekstrem dan kekeringan yang terjadi berkontribusi besar terhadap keberlangsungan fenomena kebakaran. Kondisi alam yang tidak stabil ini merupakan dampak dari perubahan iklim secara global. Perubahan iklim meningkatkan risiko kebakaran hutan di seluruh dunia dengan menaikkan suhu, memperpanjang gelombang panas, dan membuat vegetasi menjadi lebih kering. Hal tersebut berkontribusi pada penyebaran api yang lebih mudah.
Pada tahun 2016 lalu, Maui juga pernah mengalami beberapa kali kebakaran hebat dalam jangka waktu satu tahun. Pada 2015, El Nino yang menerjang Maui mampu menimbulkan anomali cuaca seperti kekeringan dan membawa badai hebat. Vegetasi yang mudah terbakar saat itu tumbuh secara massal—menjadi media penyebaran kobaran api—ditambah dengan cuaca yang kering. Akibat dari kebakaran ini, air di sekitaran Maui menjadi tercemar oleh tanah yang berlumpur, batang pohon, dan bahan kimia hasil proses pembakaran. Hal ini menyebabkan sungai-sungai hingga laut mengalami pendangkalan karena adanya proses sedimentasi.
Namun, kondisi alam bukan menjadi faktor tunggal penyebab kebakaran. Menurut laporan yang dipublikasikan oleh Organisasi Manajemen Kebakaran Hutan Hawaii, setiap tahunnya sekitar 0,5% dari total luasan daratan di Hawaii pernah mengalami kebakaran hutan. Mirisnya, 75% dari kebakaran tersebut disebabkan oleh ulah manusia. Hal ini menimbulkan variabel baru terkait alasan dibalik kebakaran hutan Pulau Maui. Hawaii termasuk kawasan yang tidak jarang mengalami kekeringan, terlebih ketika musim kemarau tiba. Pada Agustus 2022 lalu, angka kekeringan Hawaii jauh lebih tinggi dan disebut sebagai kekeringan terburuk dalam empat puluh tahun terakhir.
Bagaimana Dampak yang Terjadi di Lingkungan Sekitar Setelah Kebakaran?
Kebakaran dalam skala besar tentu memberikan dampak yang besar dan signifikan terhadap seluruh elemen makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Sekitar 850 hektare lahan di Lāhainā habis terbakar dan diperkirakan biaya yang harus dikeluarkan sejumlah 5,5 miliar USD untuk melakukan rekonstruksi kota pascabencana.
Dampak yang terjadi akibat kebakaran akan sangat berpengaruh pada kualitas air bersih. Ketika terjadi kebakaran di tengah kota padat penduduk, terdapat beragam produk berbahaya ikut terbakar seperti alat-alat elektronik, bahan kimia, plastik, olahan minyak bumi, dan limbah B3. Hasil pembakaran produk-produk ini apabila terbawa oleh aliran air hujan sampai ke badan sungai dapat menurunkan kualitas air di sungai tersebut. Reduksi dari tekanan air menyebabkan aliran air sungai menjadi terkontaminasi oleh debu, asap, dan uap. Selain itu, kebakaran dapat mengganggu sistem distribusi air akibat terputusnya sumber tenaga listrik dan kerusakan infrastruktur air berupa pipa, reservoir, ataupun bangunan keairan.
Bukan hanya kualitas air yang terganggu, pembakaran secara besar-besaran dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan potensi kebakaran berulang. Jika terjadi kebakaran dengan intensitas tinggi, vegetasi alami yang berada di atas permukaan tanah akan hangus terbakar dan digantikan dengan vegetasi baru untuk membentuk hutan sekunder. Namun, vegetasi yang akan tumbuh di lahan baru adalah berupa alang-alang atau rumput—yang dikategorikan dalam spesies invasif. Menurut Modul Analisis Risiko Spesies Asing Invasif (Post Border) terbitan FORIS Indonesia bersama KLHK, spesies invasif sendiri merupakan spesies—baik spesies asli maupun bukan—yang secara luas memengaruhi habitatnya dan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, atau bahkan membahayakan manusia.
Pada kasus kebakaran Pulau Maui, vegetasi yang tumbuh seperti rumput benggala (Panicum maximum) dapat tumbuh dengan cepat selama musim hujan dan sangat mudah terbakar ketika mengering. Seorang pakar di bidang Ilmu Kebakaran Hutan Liar untuk Survei Geologi Amerika Serikat, Paul Steblein, menyebutkan bahwa terdapat beberapa vegetasi yang dapat beradaptasi dengan api yang membuat kebakaran lebih mudah terjadi. Hal ini menyebabkan kebakaran hutan Maui sebagai siklus yang tak pernah berhenti layaknya siklus hidrologi.
Tak berhenti sampai disitu, vegetasi invasif memberikan dampak lanjutan berupa erosi tanah. Vegetasi baru yang menutupi lahan tidak cukup kuat untuk menjaga stabilitas tanah oleh akar tumbuhan itu sendiri. Hal ini mengakibatkan tanah menjadi mudah untuk tergerus dan diperburuk dengan iklim yang sangat kering. Selain dari keterlibatan vegetasi, erosi juga dipercepat dengan adanya perubahan lanskap dan perubahan dari struktur tanah karena kebakaran itu sendiri.
Erosi yang terjadi dalam waktu singkat dan jumlah yang besar membuat proses sedimentasi tak dapat dihindari. Tanah dan lumpur abu yang tergerus masuk ke dalam aliran air dapat mengendap dan merusak ekosistem serta kualitas air. Endapan tersebut jika berada di lautan bebas dapat mengancam keberadaan makhluk laut, khususnya terumbu karang. Terumbu karang tumbuh dengan baik pada substrat pasir kasar dan harus terhindar dari sedimentasi yang tinggi. Laju sedimentasi yang tinggi mampu mematikan polip karang yang nantinya akan menjadi terumbu karang.
Di tengah seluruh dampak yang terjadi, melindungi kualitas air sebelum semakin tercemar oleh polutan hasil pembakaran merupakan hal yang sangat krusial. Masyarakat diimbau untuk tidak menggunakan air keran terlebih dahulu untuk mewaspadai risiko kontaminasi. Menurut seorang ahli Hidrologi Stanford, Newsha Ajami, dampak yang dihasilkan dari kebakaran bukan hanya terjadi pada lokasi terjadinya kebakaran itu saja. Abu dan asap hasil kebakaran dapat bergerak bebas melalui atmosfer ke tempat yang lebih jauh. Perlu adanya petunjuk dan pemantauan lebih lanjut terhadap aliran air yang berada dalam jangkauan sekitar pusat kebakaran.
Tahap pengendalian kualitas air pascakebakaran dapat dilakukan dengan membersihkan puing-puing hasil pembakaran sebelum tersapu oleh aliran air hujan untuk mencegah sedimentasi. Kemudian dilanjutkan dengan memasang penghalang sedimen seperti filter di jalur aliran sungai. Selain itu, sistem yang menerapkan siklus alam seperti wetlands dan riparian areas dapat membantu mengurangi penyebaran polusi air.
Alam sebagai tempat tinggal berbagai makhluk hidup sudah semestinya dijaga. Seluruh komponen di dalamnya tersedia untuk dimanfaatkan dan dilestarikan. Pemakaian yang tidak bijaksana hanya akan menimbulkan bencana yang merugikan manusia itu sendiri. Alam sebagai penyedia sumber daya memiliki kemampuan regenerasi ketika ekosistem sekitarnya mengalami kerusakan. Namun, kemampuan tersebut tidak dapat berlangsung secara optimal jika keseimbangan alam terus dirusak oleh keserakahan manusia.
Tulisan oleh Dwi Gustiara
Data oleh Rakha Pradipa Auliya
Ilustrasi oleh Moh.Syafaat Arzal