Melangkah dari Masa Lalu: Awal Mula Pemilu di Indonesia
Pemilihan umum pertama di Indonesia tidak dimulai dengan mudah. Setelah mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia telah melalui serangkaian tantangan dan konflik pemberontakan daerah hingga berjuang melawan penjajah yang menguji fondasi demokrasi. Namun, akhirnya pada tahun 1955, Indonesia dapat menggelar pemilu pertama setelah merdeka. Pemilu ini sedikit berbeda dari pemilu sekarang, pasalnya dalam pemilu tersebut masyarakat hanya memilih anggota DPR dan konstituante saja. Partai-partai besar seperti PNI, Masyumi, PKI, NU, dan PSII berlomba-lomba untuk memperebutkan total 257 kursi DPR dan 514 kursi konstituante.
Pemilu pada tahun 1955—bukanlah tanpa alasan—menjadi tonggak penting bagi demokrasi Indonesia. Pasalnya sebanyak 43 juta atau 91,54% dari masyarakat Indonesia telah memberikan suaranya. Hal tersebut menjadi pertanda baik untuk memberitahukan kepada dunia bahwa Indonesia telah mandiri dan siap menjadi sebuah negara yang mengedepankan asas demokratis.
Demokrasi Terpimpin: Akibat dari Politik Liberal yang Kacau
Pada masa sebelum era demokrasi terpimpin dilaksanakan, sebenarnya telah banyak terjadi gesekan antara lembaga eksekutif (presiden) dan legislatif (DPR dan konstituante) terhadap masalah kebijakan yang ingin dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam rentang waktu selama sembilan tahun—dari 1950 hingga 1959—saja sudah terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali. Kejadian ini menyebabkan munculnya kondisi politik yang tidak pasti. Sebagian besar kabinet diganti karena adanya mosi tidak percaya oleh DPR dan konstituante yang mengancam kepentingan beberapa fraksi partai. Hal ini diakibatkan karena kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950 serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik. Oleh karena itu, akhirnya presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk mengganti lembaga legislatif—dari dipilih oleh rakyat menjadi dipilih oleh presiden. Dengan adanya dekrit ini, sistem pemerintahan liberal resmi berakhir. Kemudian diganti dengan sistem terpimpin—dengan presiden memiliki kekuasaan dan kewenangan tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
Era Otoritarianisme: Pemilu di Tengah Kendali Kuat
Kestabilan politik pada era orde lama tidak bertahan lama. Pada tahun 1965, setelah pemerintahan orde lama diterpa gerakan yang ingin mengganti paham pancasila menjadi paham komunis. Pemerintah orde lama tumbang dan diganti oleh pemerintahan orde baru melalui surat Supersemar yang begitu kontroversial hingga saat ini. Pada masa ini, Indonesia telah berganti era menjadi lebih otoriter yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Demokrasi hampir punah, masyarakat dan partai politik yang berani mengkritik pemerintah akan diancam, ditekan, dan dipreteli. Pemilu selanjutnya tidak lagi mencerminkan nilai demokrasi yang sejati, melainkan hanya merupakan instrumen legitimasi bagi pemerintah yang berkuasa untuk mengatakan kepada dunia bahwa indonesia masih menganut asas “demokrasi”. Meskipun di atas kertas terdapat pemilu, tetapi dalam praktiknya rakyat diawasi dan ditekan untuk memilih sehingga pilihan rakyat tidak bebas dan adil. Pada era ini, ini merupakan titik terendah dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Masa Reformasi: Demokrasi Pulih Kembali
Perubahan signifikan terjadi pada tahun 1998 dengan jatuhnya rezim Soeharto dan lahirnya era reformasi. Indonesia memasuki periode baru dalam sejarah politiknya. Demokrasi pun kembali dihidupkan. Masyarakat terbebas dan tidak terbelenggu untuk menyuarakan pendapat. Proses pemilu juga menjadi lebih transparan dan terbuka. Pemilu tahun 1999 menjadi tonggak penting dalam memulai kembali proses demokrasi yang sempat hilang. Para pemilih kembali diberikan kebebasan untuk memilih wakil-wakil mereka dengan suara yang bebas dan adil.
Masa Kini: Serba-Serbi Pemilu 2024
Perjalanan demokrasi di Indonesia tidak berhenti di sana. Seiring dengan perkembangan teknologi, pemilu di Indonesia telah memasuki era baru, yaitu era digital. Pemanfaatan media sosial dan teknologi informasi telah memberikan dampak yang signifikan dalam proses pemilihan umum, mulai dari kampanye politik hingga pelaporan hasil suara. Pemanfaatan media sosial ini dioptimalkan oleh masing-masing paslon untuk mengatur strateginya dalam menggaet generasi muda.
Demokrasi asik yang dibawakan oleh Paslon 01 Anies-Muhaimin dan Paslon 03 Ganjar-Mahfud membawa kesan yang menarik bagi generasi milenial dan Gen Z. Beberapa kegiatan dari masing-masing paslon seperti Desak Anies, Slepet Imin, dan Tabrak Prof memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin mendapatkan suara generasi muda dan mencoba lebih dekat kepada rakyat. Strategi lain yang dilakukan kedua pasangan calon adalah mereka melakukan siaran langsung pada platform Tiktok untuk memberi kesempatan pada generasi muda untuk berinteraksi dengan mereka. Lain halnya dengan Paslon 02 Prabowo-Gibran, strategi mereka adalah melakukan branding “gemoy”melalui video cuplikan untuk menggaet pemilih muda dan mempromosikan program kerja mereka. Era ini bisa menjadi era baru dalam berkampanye karena masing-masing paslon dituntut untuk beradaptasi dengan kultur gen z dan tidak menegangkan seperti era demokrasi pada tahun-tahun sebelumnya, untuk memperebutkan suara pemilih muda yang tidak menyukai kampanye yang terlalu serius dan tegang.
Hasil dan Fakta Seputar Quick Count
Berdasarkan hasil quick count berbagai macam sumber kredibel dapat dilihat bahwa paslon 02 jauh mengungguli paslon lainnya, bahkan suaranya melebihi 50%—yang merupakan salah satu syarat terpilihnya presiden dan wakil presiden. Hal ini cukup mengejutkan banyak pihak. Pasalnya pendukung paslon 01 di media sosial seperti X dan Tiktok cukup memiliki basis massa yang besar dalam meramaikan media sosial ini sendiri selama masa kampanye dan debat capres-cawapres. Akan tetapi, faktanya dalam hasil quick count suara paslon 01 bahkan tidak mencapai 30%. Ini membuktikan bahwa sebenarnya ada silent majority yang cukup besar di media sosial dan luar media sosial yang tidak terjangkau oleh paslon lain untuk mengambil hati dari pendukung “akar rumput” paslon 02.
Bagaimanapun juga penting untuk kita semua untuk tidak terburu-buru dalam menanggapi hasil quick count sementara Pilpres 2024 ini karena keputusan akhir akan ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum setelah proses perhitungan resmi selesai. Bersabar dan mengawal proses perhitungan suara resmi adalah kunci untuk menjaga integritas dan stabilitas dinamika dalam berdemokrasi.
Apabila pasangan presiden dan wakil presiden telah terpilih, bagi pihak yang menang teruslah merangkul dan bekerja sama untuk menciptakan indonesia yang lebih baik. Bagi pihak yang mendapati kekalahan, teruslah bersabar dan tetap kawal demokrasi dan pemerintahan dengan menjadi oposisi yang kuat agar tidak menyimpang dari nilai-nilai demokrasi.
Masa Depan: Menuju Demokrasi yang Lebih Matang
Dengan mengingat sejarah panjang dan beragamnya perjalanan demokrasi di Indonesia, tantangan-tantangan di masa depan akan tetap ada. Namun, melalui kesadaran akan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dan upaya bersama dalam menjaga integritas pemilihan umum, Indonesia dapat terus melangkah maju menuju demokrasi yang lebih matang dan berkelanjutan.
Sejarah pemilu di Indonesia adalah cerminan dari perjalanan dinamis sebuah bangsa yang terus berjuang untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua warganya. Dengan terus menjaga semangat demokrasi dan menghadapi tantangan dengan bijaksana, Indonesia dapat terus menjaga semangat demokrasi dan menghadapi tantangan dengan bijaksana.
Tulisan oleh Dhiya Ul Hilal
Data oleh Faris Mishbahul Ma’ruf
Ilustrasi oleh Muhammad Khuzamy