Kamar tidur yang berukuran 4×3 m dipenuhi oleh action figure kesukaan si pemilik kamar. Dari sela-sela jendela muncul sinar matahari yang menyeruak mengisi setiap jengkal kamar. Angkasa namanya. Bocah pemilik kamar yang kini tengah terlelap dalam mimpinya sedang menyelamatkan dunia dari serangan monster ular yang anehnya berkepala tikus, serta mengenakan seragam kantor lengkap tak lupa dengan dasi.
Dari luar terdengar bunyi langkah kaki mengarah ke dalam kamar Angkasa.
Krieeet… (derit pintu)
Sang pemilik suara mengarah ke jendela kamar lalu membukanya. Udara dingin memenuhi ruang kamar membuat Angkasa buru-buru menarik selimut. Wanita yang kini tengah berdiri menghadap Angkasa meraih selimut anaknya, berusaha membangunkan bocah tersebut.
“Bangun, Dik. Sudah pagi!” ucap wanita tersebut.
“Ehmmm…”
“Ihh banguunn… itu Ayah udah nungguin di luar,”
“Mau ke mana sih? ini kan hari Minggu, enggak sekolah. Enggak perlu bangun pagi,” jawab Angkasa.
“Lo, kamu lupa mau ikut Ayah sepedaan? Siapa yang kemarin minta dibangunin pagi-pagi?” sahut Ibu.
“Hmmmmm iyaa iyaa… lima menit lagi,”
“Ayoo buruann,” desak Ibu.
Dengan malas Angkasa turun dari kasur melangkah ke kamar mandi bersiap untuk ikut Ayah naik sepeda sesuai janjinya kemarin malam.
“Ayo, Dik,” suara Ayah.
“Hoaamm, ngantuk banget Yahh. Padahal mimpinya seru banget lagi mergokin ular kepala tikus nyelundupin uang di got,” ujar Angkasa.
“Hahaha, ada-ada saja. Ayo berangkat,” ajak Ayah.
Pemandangan pagi itu luar biasa seperti kanvas yang baru saja dilukis dengan apik oleh Sang Pelukis. Langit biru jernih dan pepohonan di kiri-kanan menambah nuansa tenteram pedesaan. Angkasa dan Ayah melewati pinggiran danau sesekali menyapa orang-orang yang melintas.
“Eh, Pak Dodo. Udah siap berangkat kerja pagi-pagi gini?” sapa Ayah.
“Iya, nih, harus semangat kerja biar bisa makan,” sahut Pak Dodo.
“Soalnya saya enggak dapat makan gratis kaya Angkasa, udah enggak sekolah, enggak mengandung lagi. Hehe, jadi harus bisa nyari makan sendiri,” sambung Pak Dodo.
“Hahaha… iya, Pak. Hati-hati. Jangan terlalu rajin kerjanya,” ucap Ayah sambil kembali menginjak pedal.
Mereka akhirnya berhenti di toserba untuk membeli minuman. Sekumpulan ibu-ibu terlihat sedang membeli bumbu dan bahan masakan.
“Eh, udah lihat berita itu belum?” tanya Wanita 1.
“Iya, saya juga lihat serem banget ya. Masa anak BEM bisa berlaku kayak gitu,” jawab Wanita 2.
“Ada yang bilang si pelaku memang sering gangguin adik tingkatnya, tapi teman satu organisasinya enggak berani negur,” sahut Wanita 3.
“Wah, memang ya kalau sudah punya kuasa suka semena-mena begitu, sampai melecehkan lagi. Apa enggak kasihan sama korbannya,” jawab Wanita 1.
“Pelaku yang seperti itu enggak bisa dibiarkan, saya jadi takut kalau anak gadis saya keluar sama teman-temannya,” sahut Wanita 3.
“Benar, harusnya ditangkap terus dipenjarakan saja,” kata Wanita 2.
“Tapi itu belum pasti Bu-Ibu, wong masih diusut sama pihak kampus,” sahut penjaga toko.
“Halahh, Mas Joko tahu apa. Orang kayak gitu udah pasti dilindungi sama kawan-kawannya, terus nanti ada pencemaran nama baiklah, apalah. Padahal korbannya sudah sampai mau bunuh diri,” kata Wanita 1.
“Ya, kan, itu baru informasi di medsos to, belum bisa dibilang bener informasinya,” lanjut Mas Joko.
“Haduhh, Mas Jokoo Mas Jokoo. Itu sudah sampai viral begitu kasusnya, enggak bener gimana?!” ucap Wanita 2.
Angkasa hanya mendengar percakapan kumpulan ibu-ibu itu dari jauh. Dia mengetahui sekilas tentang informasi yang beredar. Anggota BEM yang melakukan tindakan pelecehan pada adik tingkatnya dan kasusnya menjadi viral di media sosial. Kebenaran berita tersebut masih belum diketahui karena bukti kasus masih berupa tangkapan layar pesan dari korban.
“Ayo pulang. Keburu panas,” ucap Ayah memecah lamunan Angkasa.
Mereka pulang beriringan sambil mengayuh sepeda ditemani angin yang berhembus mengeringkan keringat yang membanjiri seluruh badan.
Angkasa masih berkutat dengan pikirannya tentang pembicaraan ibu-ibu yang Ia temui tadi. Angkasa berpikir bagaimana informasi sangat mudah diakses oleh setiap pengguna media sosial. Bahkan, informasi dapat menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat.
Kayuhan sepeda mulai melambat ketika Angkasa tersadar bahwa Ia telah sampai di depan rumah. Ayah lebih dulu memarkirkan sepeda di halaman dan diikuti oleh anak kesayangannya itu. Mereka berjalan menuju teras dan meraih botol minuman yang diletakkan oleh Ibu. Air dingin masuk menyegarkan kerongkongan.
“Kelihatannya kamu sibuk sekali dengan pikiranmu,” sahut Ayah memecah keheningan.
Sejak perjalanan pulang, Ayah terus memperhatikan anak laki-lakinya. Terlihat dari raut wajahnya yang sedang berpikir keras.
“Hmm Angkasa hanya kebingungan, Yah. Kenapa ya, orang yang berkuasa selalu semena-mena pada orang lain? Sesalnya lagi kejahatan mereka selalu dilindungi,” ujar Angkasa.
“Siapa yang bilang?” tanya Ayah.
“Tadi Ibu-Ibu di toko Mas Joko ngomong gitu dan berita tontonan Ayah juga bilang hal yang sama. Penguasa negara sering berbuat culas, ambil uang rakyat, tapi pasti ada saja backingannya untuk melindungi perbuatan keji mereka. Persis seperti tikus berbadan ular yang masuk dalam mimpiku tadi pagi,” jawab Angkasa.
Ayah tersenyum tipis, bangga melihat anaknya mampu berpikir dengan kritis.
“Penguasa memang artinya memiliki kuasa. Sudah tentu memiliki kekuatan untuk melakukan apapun. Namun, salah jika kekuasaannya dipakai untuk menindas rakyat di dalam kekuasaannya. Rugi dong kita? Apa yang kamu dengar di toko Mas Joko tadi belum tentu benar. Banyak berita bohong di media sosial yang viral, tetapi belum jelas kebenarannya. Jadi, kita harus pandai dalam memilih sumber informasi,” papar Ayah.
“Memangnya berita bohong itu ada, ya, Yah? Bukannya penulis berita harus jujur dalam menulis?” tanya Angkasa.
“Terkadang, situasi dan kondisi membuat orang-orang tutup mata. Membuat berita yang tidak sesuai kenyataan asalkan mendapat sorotan dan viral menjadi poin hingga hari ini. Karena itu, tulisan berbau provokatif dan perundungan lebih tenar walaupun mengandung kebohongan. Seperti kasus enam tahun lalu, aktivis yang babak belur katanya dikeroyok sampai membohongi ketua umum Ger—“
“BAKSO BAKSOO!”
Penjual bakso yang lewat sontak membuat keduanya saling bertatapan. Hanya penjual bakso keliling rupanya.
“Polisi menangkap seorang mahasiswa atas penyebaran berita bohong di media sosial soal pelecehan yang dilakukan pengurus BEM terhadap mahasiswa baru,” terlintas suara penyiar berita dengan nama saluran petunjuk arah mata angin.
“Tuh… iya, kan. Apa Ayah bilang,” kata Ayah.
“Eh, malah ngobrol di teras. Masuk sini, makan dulu. Ibu udah buatin sop iga enak banget. Ayo sini,” ujar Ibu dari arah dapur.
“Ayo masuk,” ajak Ayah.
Angkasa dan Ayah masuk ke rumah menuju dapur. Suasana pagi itu sangat menyenangkan, pikir Angkasa. Seluruh kejadian pagi itu membuatnya sadar bahwa berita bohong benar adanya dan memilih sumber informasi yang tepat menjadi hal yang penting di masa sekarang.
Tulisan oleh Dwi Gustiara
Ilustrasi oleh Bintang Gunindra Aryandaru