Apa yang terlintas di pikiran kita ketika kita mendengar kata “Hearing Departemen”? Apakah sebuah wadah aspirasi mahasiswa? Ataukah sebuah acara formalitas KMTSL belaka?
Hearing Departemen seharusnya menjadi wadah satu-satunya bagi mahasiswa dalam menyampaikan aspirasinya kepada manajemen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL). Bahkan, menurut Ketua Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan (KMTSL) 2023/2024, Hearing Departemen merupakan sebuah agenda yang mewadahi mahasiswa untuk berdiskusi “dua arah” dengan manajemen DTSL.
Akan tetapi, pelaksanaan Hearing Departemen masih jauh dari definisi yang kita harapkan. Ekspektasi kita seolah runtuh sesaat kita masuk ke dalam ruangan yang diselimuti kesunyian. Bungkamnya suara mahasiswa terdengar ketika master of ceremony (MC) mengetuk microphone untuk memulai jalannya acara. Format acara pun sukses memberikan panggung bagi para pihak tertentu untuk mendominasi jalannya diskusi. Singkatnya waktu pelaksanaan seolah membenarkan label acara ini sebagai ajang validasi segala keputusan dan kebijakan yang sudah ada. Lalu pentingkah adanya Hearing Departemen ini?
Apabila kita mengesampingkan KPI (key performance indicator) KMTSL, Hearing Departemen patut dijadikan sorotan utama bagi mahasiswa, tanpa terkecuali. Hearing Departemen seharusnya dijadikan salah satu patokan dari wujud demokrasi mahasiswa di lingkungan DTSL. KMTSL sebagai mediator antara mahasiswa dengan departemen memiliki kewajiban untuk melaksanakannya secara maksimal, mulai dari penampungan aspirasi hingga pelaksanaan acaranya. Akan tetapi, terpangkasnya 101 suara aspirasi menjadi 10 suara patut dipertanyakan. Apakah benar 10 suara aspirasi yang terpilih benar-benar merepresentasikan 101 suara—yang seharusnya menjadi hak seluruh pemberi suara aspirasi? Sudahkah penyeleksian suara aspirasi tersebut transparan? Ataukah ada campur tangan pihak tertentu dalam menentukan suara mana yang dapat dan tidak dapat diangkat?
Sebagai seorang mahasiswa, sudah selayaknya kita berjuang mempertanyakan hak kita sama lantangnya dengan memperjuangkan kewajiban kita. Membayar uang kuliah tunggal (UKT) hingga berjuang menyelesaikan tugas besar dan laporan praktikum adalah kewajiban yang patut kita penuhi. Akan tetapi, pernahkah kita mempertanyakan hak apa yang seharusnya kita dapatkan dalam mengenyam pendidikan di DTSL? Ataukah peran kita hanya sebagai pengamat pasif yang apatis akan problematika yang terjadi di departemen tercinta kita ini?
Tulisan ini diangkat sebagai wujud keresahan. Keresahan akan mahasiswa yang apatis dan tidak berani menyampaikan aspirasinya secara aktif, keresahan akan keluarga mahasiswa yang kurang memprioritaskan kepentingan mahasiswanya, serta keresahan akan departemen yang sekadar memvalidasi kebijakan dan keputusan yang sudah ada. Masihkah Hearing Departemen ini layak kita sebut sebagai wadah aspirasi? Sudah sempurnakah DTSL di mata mahasiswa? Biarkan 91 suara aspirasi yang terbuang sia-sia itu bicara.
Tulisan oleh Sebastian
Ilustrasi oleh Ambrosius