Hikayat Tumpukan Kertas, Sang Pahlawan yang Menyerang Bumi

Di balik hiruk pikuk kampus yang biasanya riang, atmosfer mendadak berubah cemas ketika masa ujian telah hadir di depan mata. Bagi sebagian besar mahasiswa, kata ‘ujian’ bagaikan palu godam yang menghentikan sejenak tawa dan menggantinya dengan debar jantung tak menentu. Ketegangan ini semakin diperkaya dengan beragam warna ujian yang dihadapi, mulai dari tantangan untuk mengandalkan ingatan sepenuhnya dengan bentuk ujian close book hingga keleluasaan membuka catatan dalam bentuk ujian open book. 

Alih-alih menguji kemampuan mahasiswa menghafalkan teori dan rumus kompleks, konsep ujian open book lebih menekankan pada pemahaman materi, kemampuan analisis, serta bagaimana mahasiswa memanfaatkan sumber daya yang diperbolehkan. Namun, konsep ujian open book yang dianggap sebagai gerbang kemudahan bagi mahasiswa sesungguhnya memiliki banyak celah yang jarang diperbincangkan. 

Bagi mahasiswa fakultas teknik, sebagian besar mata kuliah mengandung rumus-rumus kompleks yang sulit dihafalkan. Namun, tak jarang juga terdapat mata kuliah yang didominasi oleh teori yang rumit. Kehadiran konsep ujian open book pun memudahkan mereka menampung berbagai macam rumus untuk menyelesaikan perhitungan serta teori berbelit-belit. Terlebih lagi, jika dosen tidak memberi batasan untuk sumber daya yang boleh dimanfaatkan, tak sedikit mahasiswa akan cenderung memilih untuk mencetak materi-materi dosen dibandingkan menulis langsung di buku catatan. 

Jasa percetakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kampus, tanpa terkecuali di Universitas Gadjah Mada. Tiap harinya, deru mesin fotokopi berpadu dengan desah lelah mahasiswa demi memenuhi kebutuhan akademik maupun nonakademik. Dibandingkan dengan hari-hari biasa, antrean mahasiswa di jasa percetakan sekitar kampus kian meningkat saat masa ujian telah tiba. “Pada hari normal, kami biasanya menghabiskan sekitar 2 rim per hari. Sedangkan, pada minggu-minggu ujian, pemakaian kertas dapat meningkat menjadi 3–4 rim per hari,” tutur seorang pekerja Fotocopy Aulia, tempat percetakan area Fakultas Teknik UGM. Kasus yang sama juga terjadi pada berbagai jasa percetakan lainnya yang berlokasi di area UGM.

Mencetak materi dosen sebagai persiapan ujian open book ternyata menjadi ‘duri dalam daging’ bagi dompet mahasiswa. Sebagian dari mereka secara bijak memilah dan memilih dengan hanya mencetak materi esensial untuk meringankan beban hafalan sekaligus menghemat pengeluaran. Namun, bagi mereka yang menganut prinsip pay to win, belasan hingga puluhan ribu rupiah rela dikeluarkan dari saku guna memenangkan pertempuran di ruangan ujian untuk satu mata kuliah saja. 

“Biasanya untuk ujian open book, saya mencetak PowerPoint berisi materi dari dosen serta pembahasan soal-soal tahun lalu sekitar 40 lembar. Bagi mata kuliah yang didominasi perhitungan, saya hanya mencetak bagian-bagian penting saja. Sementara, untuk mata kuliah yang didominasi oleh teori, saya mencetak keseluruhan PowerPoint,” ujar Kavin, seorang mahasiswa Teknik Infrastruktur Lingkungan, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL) UGM. 

Seolah-olah tak puas dengan hanya menguras dompet mahasiswa, konsep ujian open book turut menggerus waktu pengerjaan ujian di dalam ruangan. Durasi ujian yang seharusnya digunakan untuk menjawab pertanyaan dengan pengetahuan mendalam justru dihabiskan untuk berburu harta karun di antara tumpukan kertas yang mereka andalkan. Pada akhirnya, esensi dari pemahaman konsep yang sebenarnya diujikan kepada mahasiswa terabaikan. 

Usai bertempur di dalam ruangan ujian, mahasiswa dengan bangga membawa pulang gunungan kertas berisi materi yang tak lagi relevan. Hasil panen yang cepat atau lambat akan berkontribusi dalam peningkatan limbah tak terkelola di tempat pembuangan akhir. Isu ini seolah menjadi saksi bisu bahwa gerbang kemudahan ini (sayangnya) turut membuka jalan untuk permasalahan sampah yang tak kalah pelik. “Untuk sementara, kertasnya masih saya simpan di tempat tinggal. Saya sendiri bingung harus diapakan sisa materi ujiannya,” tutur Zulfa, mahasiswa tahun pertama Teknik Infrastruktur Lingkungan,  DTSL UGM. Ungkapan ini seolah menjadi simfoni kebingungan yang dilantunkan mahasiswa ketika ditanya terkait nasib tumpukan kertas tersebut.

Seakan tak ada habisnya, permasalahan sampah menjadi topik yang tak lekang diperbincangkan. Pada tahun 2024, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berkontribusi sebanyak 702.140 ton sampah per tahun dari total 32.627.395 ton tumpukan sampah nasional. Berdasarkan data komposisi sampah di DIY, sampah kertas atau karton menduduki peringkat tiga, menyumbangkan sebesar 13,27% dari total keseluruhan. Jika ditinjau secara spesifik di area kampus UGM, yaitu Kabupaten Sleman, sampah kertas menyumbang 17,08% dari hampir 440 ribu ton sampah. Tidak menutup kemungkinan, angka-angka ini kian bertambah tiap tahunnya jika praktik ujian open book–sebagai salah satu penyebabnya–tidak dievaluasi. 

Dalam hierarki ironi persampahan di DIY, sampah kertas memang masih terlihat seperti debu jika dibandingkan dengan sampah sisa makanan dan plastik yang masing-masing menyumbangkan 52,55% dan 27,49% dari total komposisi sampah. Namun, perlu kita sadari bahwa debu pun dapat menyebabkan badai jika tidak ditangani. Lonjakan kebutuhan kertas pada masa ujian–meskipun bersifat sementara–dapat menimbulkan masalah yang serius. “Walaupun kebutuhan ini hanya akan melonjak pada periode tertentu, bayangkan jika dalam satu waktu, ratusan mahasiswa membutuhkannya, maka dampaknya akan langsung terasa,” tutur Jihan, mahasiswa Teknik Sipil, DTSL UGM. 

Ironi ujian open book tidak hanya menyelimuti mahasiswa, tetapi juga para dosen–pendidik yang menggagas kebijakan ujian open book. Mereka turut dihadapkan dengan dilema akan konsep ujian yang ideal untuk mahasiswa. 

“Dalam konteks ujian open book, biasanya dosen memberikan dua jenis kebijakan: membuka buku catatan dan hasil print atau membuka gawai seperti laptop atau tab. Namun, hingga saat ini dari pihak dosen belum menemukan cara untuk memastikan mahasiswa tidak melakukan kecurangan saat diberi kesempatan membuka gawai. Berangkat dari kekhawatiran ini, konsep ujian open book masih dibatasi dengan penggunaan buku catatan atau hasil print materi saja yang memang ternyata menghasilkan banyak kertas,” ujar Dosen DTSL UGM, Ni Nyoman Nepi Marleni, S.T., M.Sc., Ph.D.

Berangkat dari keresahan berbagai pihak akan konsep ujian open book, dibutuhkan solusi yang mampu menutup celah pada gerbang kemudahan mahasiswa ini. Konsep ujian open book perlu dievaluasi kembali oleh dosen sebelum diterapkan pada ujiannya, apakah memang dibutuhkan berlembar-lembar materi–yang belum pasti mencakup keseluruhan jawaban–atau dapat dialihkan dengan penggunaan cheatsheet yang berisi tulisan tangan sendiri? 

Tak berhenti di situ, pertimbangan konsep ujian open book perlu dipikirkan secara menyeluruh hingga ke konsekuensi akhirnya yaitu limbah kertas yang dihasilkan, apakah sudah ada fasilitas, program, atau sistem penanganan yang tepat di area kampus untuk mengatasi fluktuasi limbah kertas di masa ujian? 

Fakultas Teknik UGM kini memiliki TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle) Grahakara Grafika bagai permata hijau. TPS3R yang hadir pada tahun 2023 ini awalnya hanya direncanakan sebagai tempat transit sampah-sampah yang sudah terpilah dari seluruh departemen di fakultas teknik sebelum diserahkan ke pihak ketiga. Lalu, berangkat dari komitmen Fakultas Teknik UGM dalam mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan, TPS3R Grahakara Grafika akhirnya berperan sebagai tempat pengolahan sampah yang terpadu. TPS3R ini diharapkan dapat menjadi pusat pemilahan sampah yang optimal, sarana edukasi bagi mahasiswa dan masyarakat, serta showcase hasil penelitian dan pengembangan alat pengolahan sampah oleh dosen Fakultas Teknik UGM.”

Melalui proses pemilahan sampah yang tepat, limbah kertas yang kering masih memiliki nilai guna yang baik serta nilai jual yang tinggi karena masih dapat didaur ulang menjadi produk-produk baru yang bermanfaat seperti bubur kertas, kerajinan, ataupun menjadi kemasan produk. Dengan hadirnya TPS3R Grahakara Grafika, mahasiswa Fakultas Teknik UGM dapat menyerahkan ‘hasil panen’ mereka selepas ujian ke tempat pengolahan ini agar tidak bertumpuk dan menjadi pajangan di kamar, tetapi menjadi pundi-pundi bagi para tenaga kerja di TPS3R ataupun pihak ketiga yang mengelolanya. 

Di luar dari fasilitas yang telah hadir, mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademik UGM tetap memiliki peran penting dalam mencegah penumpukan sampah yang lebih proaktif. Prinsip 7R—Rethink (pikir ulang), Refuse (tolak), Reduce (kurangi), Reuse (gunakan kembali), Repair (perbaiki), Recycle (daur ulang), dan Rot (komposkan)—harus menjadi landasan dalam setiap tindakan. Sebelum bertindak, mahasiswa harus memikirkan kembali kebutuhan mereka, menolak penggunaan kertas yang tidak mendesak, mengurangi jumlah materi yang dicetak, dan menggunakan kembali kertas tersebut untuk ujian mata kuliah selanjutnya yang masih berkesinambungan. Jika memungkinkan, mahasiswa sebaiknya memperbaiki materi digital yang rusak, mendaur ulang kertas bekas menjadi barang berguna, atau mengomposkan kertas bekas tersebut. Meskipun awalnya akan terasa berat, penerapan 7R mampu mengurangi beban kerja TPS3R serta merajut jejaring keberlanjutan di setiap sudut kampus.

Di balik kemudahan yang diberikannya, konsep ujian open book menghadirkan dilema pendidikan, ekonomi, dan lingkungan yang tak terduga. Di tengah kebingungan para pendidik menentukan format ujian yang ideal, terlihat jelas bahwa kemudahan sering kali bersembunyi dibalik topeng kompleksitas. Setiap lembar kertas yang dicetak dan dibuang sembarangan adalah langkah mundur yang tak terpulihkan dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Maka dari itu, diperlukan implementasi solusi inovatif untuk memastikan bahwa ujian–sebagai media evaluasi akademis–tidak hanya menguji pengetahuan mahasiswa, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab mereka terhadap kelestarian lingkungan dan integritas intelektual.

Tulisan oleh Andi Al Amanda Ismarani D.

Data oleh Cempaka, Aisyah, Saqila

Layout oleh Putri Kinasih Yuka