Nikel Menggerus Tanah Surga: Eksploitasi Menebar Nestapa

Raja Ampat, pulau yang terkenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya, kini menjadi perbincangan hangat di berbagai media domestik bahkan mancanegara. Dijuluki “Amazon of the Seas”, Raja Ampat menyimpan harta karun ekosistem laut dengan sekitar 550 spesies karang, 1.500 spesies ikan, dan 700 jenis moluska, serta menyumbang hampir 75% terumbu karang dunia. Keelokan alamnya telah mendapatkan pengakuan global dengan masuk dalam daftar UNESCO Global Geopark pada tahun 2023. Namun, alam yang memukau tidak selamanya indah jika manusia tidak menjaganya. Faktanya, aktivitas pertambangan yang masif kini mengancam kelestarian lingkungan pulau ini.

Pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan berbagai organisasi menemukan sejumlah pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh empat perusahaan tambang di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel (GN), PT Kawi Sejahtera Mining (KSM), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP). Sebagai contoh, PT MRP melakukan aktivitas di kawasan hutan tanpa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH/IPPKH), yang merupakan pelanggaran hukum berat. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, setiap kegiatan di kawasan hutan tanpa izin adalah ilegal, bahkan dikategorikan sebagai perambahan hutan. Selain itu, PT ASP juga beroperasi di Pulau Manuran tanpa sistem manajemen lingkungan dan pengelolaan limbah yang memadai, melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ironisnya, perusahaan ini tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), tidak menerapkan sistem manajemen lingkungan berstandar internasional seperti ISO 14001, dan tidak memiliki dokumen UKL-UPL maupun AMDAL. Pelanggaran-pelanggaran serius ini berdampak langsung pada pencemaran air dan tanah yang menjadi tulang punggung ekosistem Raja Ampat.

Tidak hanya itu, KLH juga menemukan dugaan pelanggaran lain oleh PT Kawi Sejahtera Mining (KSM) di Pulau Kawei. Perusahaan ini terindikasi membuka tambang di luar izin lingkungan dan membabat habis hutan di luar kawasan PPKH seluas lima hektar. PT KSM melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, PP No. 22 Tahun 2021, dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang termasuk pelanggaran administratif dan pidana, serta memicu sedimentasi di pesisir pantai. Lebih mengkhawatirkan lagi, PT GN, yang beroperasi  di Pulau Gag seluas 6.030,53 hektar, terindikasi memiliki konsesi yang jauh melebihi ukuran pulau itu sendiri. Pulau Gag yang seharusnya bebas dari kegiatan ekstraktif dan berfungsi sebagai penopang ekosistem, kini terancam habis akibat pertambangan nikel. Ancaman ini tidak hanya menghabiskan daratan, tetapi juga meluas ke lautan. Mengingat menambang di pulau kecil dianggap tidak sesuai dengan peruntukannya dan dapat merusak daya dukung pulau secara permanen. Apalagi, pulau-pulau di Raja Ampat didominasi oleh pulau kecil dan berkapur (karst) yang sangat rentan terhadap erosi dan sedimentasi akibat kegiatan ekstraktif. Tanah yang tipis dan poros membuatnya mudah rusak jika ada gangguan sekecil apapun.

Dampak pertambangan juga terlihat jelas dari deforestasi signifikan di hutan lindung dan sedimentasi berat yang mencemari perairan sehingga mengancam keberlanjutan terumbu karang dan keanekaragaman hayati yang menjadi ciri khas Raja Ampat. Greenpeace, organisasi kampanye independen yang bergerak di bidang lingkungan global, telah mengungkap adanya dugaan ketidaksesuaian prosedur dalam sejumlah tahap perizinan yang dimiliki oleh PT GN, termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) serta dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Padahal, AMDAL seharusnya menjadi alat perlindungan lingkungan yang melibatkan partisipasi masyarakat untuk memastikan proyek berkelanjutan dan ramah lingkungan. Jika AMDAL disusun tanpa partisipasi publik, dokumen tersebut dapat dianggap cacat prosedur dan berpotensi dibatalkan secara hukum, sebagaimana diatur dalam Permen LHK No. 17 Tahun 2012 (sebelumnya) dan Permen LHK No. 4 Tahun 2021. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan potensi penyimpangan dalam proses perizinan yang seharusnya menjamin keberlanjutan.

Dengan masifnya aktivitas tambang tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang mendalam, dapat diperkirakan nikel di Raja Ampat akan habis dalam 30 tahun dan meninggalkan kerusakan yang tidak akan bisa pulih seutuhnya. Sedimentasi dari tambang membunuh plankton dan biota, merusak rantai makanan, dan berdampak luas pada sistem ekosistem laut yang saling terhubung—kerusakan di satu titik dapat berdampak sistemik dan meruntuhkan seluruh keseimbangan ekologi. Selain itu, rusaknya keindahan alam dan citra Raja Ampat sebagai geopark dunia akan menjadi kenyataan pahit jika pengerukan tanah terus-menerus dilakukan dan mengubah alam yang semula hijau menjadi merah. Dampak ini bukan hanya kerusakan fisik, tetapi juga penghancuran potensi pariwisata yang berkelanjutan.

Fakta-fakta ini menegaskan bahwa pertambangan di Raja Ampat tidak hanya mengancam keindahan alam dan keanekaragaman hayati yang tak ternilai, tetapi juga nilai-nilai budaya masyarakat lokal yang bergantung pada laut dan hutan untuk kehidupan sehari-hari. Masyarakat suku Miak, Biak, Misool, dan lainnya sangat bergantung pada alam sehingga gangguan terhadap lingkungan di sekitar mereka akan berdampak langsung pada kehidupan dan tradisinya. Dihentikan sementara bukan menjadi solusi nyata untuk kelestarian Raja Ampat. Sewaktu-waktu, aktivitas tambang dapat dilanjutkan kembali sehingga dapat memperparah kondisi yang ada. Melindungi Raja Ampat adalah sebuah keharusan, bukan sekadar pilihan. Sudah saatnya kita belajar dari kilas balik kegagalan masa lalu dalam pengelolaan sumber daya alam dan memastikan bahwa “Amazon of the Seas” yang sensitif dan tak tergantikan ini tetap lestari untuk generasi mendatang. Kita harus memastikan bahwa perencana dan pengembang proyek membuat keputusan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dengan melibatkan masyarakat dalam setiap prosesnya untuk transparansi dan partisipasi publik. Identifikasi dini terhadap dampak sosial juga harus menjadi prioritas agar konflik dengan masyarakat sekitar dapat dihindari. Jangan biarkan keindahan ini hanya menjadi dongeng masa lalu.

Tulisan oleh Sahib Aarde Elhaq

Data oleh I Dewa Gede Satria Basunjaya

Layout oleh Naiwa Septa C dan Naura Indriana S