
Klakson truk membelah kesunyian pagi di sejumlah ruas jalan Indonesia, ada pesan yang lebih dalam dari sekadar peringatan bagi pengendara lain. Kamis, 19 Juni 2025 lalu, ratusan sopir truk turun ke jalan. Demo serentak di berbagai daerah menjadi simbol nyata dari keresahan yang selama ini mungkin hanya bergema di ruang-ruang obrolan warung makan Indomie.
Pemerintah mulai menginisiasi kebijakan baru bernama Zero ODOL, sebuah langkah besar untuk melawan truk-truk dengan Over Dimension dan Over Loading yang selama ini menjadi penguasa jalanan. Namun, seiring dengan gencarnya sosialisasi, justru muncul benturan baru antara idealisme kebijakan dan realitas sosial-ekonomi di lapangan.
Karena, kalau semua orang setuju akan adanya regulasi Zero ODOL, takkan ada demo sebesar itu, bukan?
Secara konsep, Zero ODOL terdengar seperti jawaban dari banyaknya persoalan klasik pada infrastruktur jalan Indonesia: lubang besar di mana-mana, aspal hitam bergelombang, hingga umur jalan yang jauh lebih pendek dari rencana awalnya. Pemerintah Indonesia, lewat Kementerian Perhubungan dan Korlantas Polri, mulai menjalankan regulasi ini secara nasional sejak Juni 2025, lengkap dengan tiga tahap: sosialisasi, peringatan, hingga penegakan hukum. Angka-angka teknis pun mendukung adanya regulasi Zero ODOL. Menurut Kementerian PUPR, truk ODOL menyumbang kerugian negara sebesar Rp43,45 triliun per tahun. Tak hanya itu, 17% kecelakaan lalu lintas juga diatribusikan pada truk-truk pelanggar kapasitas ini.
Dari sudut pandang teknik sipil, regulasi ini memang langkah logis. Jalan raya kita dibangun dengan standar beban tertentu yang dikenal dengan istilah Muatan Sumbu Terberat (MST). Saat kendaraan melampaui batas MST, struktur jalan mengalami kelelahan dini dan retakan mulai muncul hingga akhirnya aspal menyerah sebelum waktunya. Secara teori, Zero ODOL adalah wujud nyata dari prinsip dasar perencanaan struktur, yaitu membangun sesuai beban rencana. Karena dalam Ilmu Teknik Sipil, salah satu dosa besar adalah mengabaikan kapasitas struktur.
Seperti halnya desain yang tak memperhitungkan beban aktual, kebijakan ini pun mulai terlihat rapuh ketika bertemu dengan beban dan dilema sosial-ekonomi masyarakat di lapangan.
Meskipun kebijakan Zero ODOL memberikan keuntungan yang signifikan dalam hal keberlanjutan infrastruktur jalan, dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan cukup besar, terutama bagi para sopir truk yang merupakan elemen penting dalam sistem distribusi logistik Indonesia. Para sopir truk ini, yang sehari-hari bergantung pada pekerjaan mereka untuk mencari nafkah, merasa bahwa kebijakan ini akan merugikan mereka. Salah satu alasan utamanya adalah masalah efisiensi dan biaya operasional.
Kebijakan Zero ODOL mengharuskan mereka untuk mengangkut barang dalam jumlah yang lebih sedikit per perjalanan karena muatan yang lebih besar dari kapasitas yang ditetapkan akan dikenakan sanksi. Akibatnya, sopir truk terpaksa melakukan lebih banyak perjalanan untuk mengangkut jumlah barang yang sama seperti sebelumnya. Ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan menjadi lebih lama dan biaya operasional pun meningkat. Hal ini menjadi masalah besar, mengingat biaya-biaya yang tidak dapat dihindari—bahan bakar, perawatan kendaraan, serta gaji sopir dan karyawan—tetap sama atau bahkan meningkat. Meskipun volume barang yang diangkut berkurang, biaya operasional yang harus ditanggung oleh sopir truk justru semakin berat.
Masalah ini menciptakan ketidakadilan bagi para sopir. Mereka yang sebelumnya mengandalkan volume angkut yang tinggi untuk mendapatkan penghasilan yang layak, kini harus berjuang untuk memperoleh pendapatan yang cukup. Ketika volume angkut berkurang, pendapatan mereka pun berkurang drastis. Dalam hal ini, kebijakan Zero ODOL tidak memperhitungkan realitas sosial-ekonomi yang dihadapi oleh para sopir truk. Banyak dari mereka yang harus menghadapi biaya hidup yang semakin tinggi, namun tidak ada penyesuaian tarif yang sepadan dengan kondisi tersebut.
Para sopir truk merasa bahwa kebijakan ini tidak realistis dengan kondisi pasar dan biaya hidup mereka yang semakin menekan. Salah satu keluhan terbesar mereka adalah kebijakan Zero ODOL tidak disertai dengan penyesuaian tarif ongkos kirim yang sebanding. Tarif ongkos kirim yang sudah lama tertekan, belum diimbangi dengan kenaikan harga bahan bakar dan biaya lainnya yang semakin tinggi. Dalam situasi seperti ini, pengurangan volume angkut tanpa penyesuaian tarif hanya akan memperburuk keadaan ekonomi para sopir truk. Jika tidak ada perubahan yang mengakomodasi kebutuhan mereka, mereka merasa semakin terpojok.
Banyak sopir merasa bahwa kebijakan Zero ODOL justru lebih banyak merugikan mereka daripada memberikan keuntungan. Mereka merasa terpojok karena tidak ada solusi konkret yang ditawarkan untuk menyesuaikan biaya operasional yang mereka hadapi. Tanpa adanya penyesuaian tarif atau kompensasi lain yang memadai, kebijakan ini dipandang sebagai langkah yang lebih menguntungkan pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam distribusi barang, sementara mereka yang berada di lapangan justru merasakan dampak yang lebih berat. Aksi demonstrasi yang melibatkan ribuan sopir truk ini bukan hanya bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada mereka, tetapi juga sebuah tanda bahwa kebijakan Zero ODOL perlu dievaluasi secara lebih menyeluruh untuk mencari solusi yang lebih adil bagi semua pihak yang terlibat.
Ketimpangan yang lebih mendalam muncul ketika kita melihat masalah desain jalan dan kebutuhan distribusi logistik nasional. Infrastruktur jalan di Indonesia, terutama di luar pulau Jawa, masih banyak yang tidak dirancang untuk menopang beban logistik yang semakin meningkat. Keberagaman jenis barang yang diangkut dan pertumbuhan pesat sektor perdagangan, baik domestik maupun internasional, membuat volume barang yang harus diangkut semakin besar. Namun, jalanan yang ada sering kali tidak dirancang dengan kapasitas yang memadai untuk menangani beban angkutan barang yang besar. Banyak ruas jalan yang dibangun dengan standar beban yang tidak dapat mengakomodasi kendaraan berat atau truk besar yang sering melintas dengan muatan melebihi kapasitas yang ditetapkan.
Walaupun kebijakan Zero ODOL bertujuan untuk melindungi infrastruktur jalan dari kerusakan yang disebabkan oleh truk dengan muatan berlebih, kenyataannya kerusakan jalan tidak hanya disebabkan oleh kelebihan muatan semata. Faktor penyebab lainnya adalah desain jalan yang tidak sesuai dengan kebutuhan logistik yang semakin berkembang. Beberapa ruas jalan dirancang dengan batas beban tertentu, yang ketika di lampaui, akan menyebabkan kerusakan jalan yang cepat, seperti retak dan bergelombang. Padahal, kondisi jalan yang rusak ini memengaruhi kelancaran distribusi barang serta menambah biaya pemeliharaan jalan yang ditanggung oleh negara.
Salah satu contoh nyata adalah jalanan di wilayah pelosok yang seharusnya mampu menopang kebutuhan distribusi barang, tetapi justru terbengkalai karena tidak dirancang untuk kendaraan besar. Bahkan, beberapa jalan utama yang menghubungkan kota-kota besar pun banyak yang tidak cukup kokoh untuk menopang beban angkutan barang yang semakin berat. Hal ini memperlihatkan ketimpangan antara desain jalan yang ada dengan kebutuhan distribusi logistik nasional yang terus berkembang. Jika infrastruktur jalan tidak diperbaiki atau ditingkatkan kapasitasnya, kebijakan Zero ODOL hanya akan menjadi solusi parsial yang tidak dapat menyelesaikan masalah yang lebih besar.
Pada gilirannya, bukan hanya truk dengan muatan berlebih yang menjadi masalah, tetapi juga desain dan kapasitas jalan yang tidak sesuai dengan kebutuhan logistik yang terus berkembang. Jalan yang tidak cukup kuat untuk menopang kebutuhan distribusi barang yang semakin besar, berpotensi merusak kebijakan Zero ODOL. Oleh karena itu, kebijakan Zero ODOL tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya perubahan struktural pada infrastruktur jalan yang ada.
Dalam refleksinya, kebijakan ini menggugah kita untuk berpikir lebih mendalam tentang bagaimana regulasi teknis dapat berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi dan bagaimana menemukan solusi yang tepat agar kebijakan tersebut berjalan efektif di lapangan. Penerapan kebijakan Zero ODOL tidak bisa dilihat sebagai langkah tunggal yang menyelesaikan masalah, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari kebijakan yang lebih luas yang melibatkan banyak sektor, termasuk sektor sosial-ekonomi. Dengan demikian, penerapan Zero ODOL harus dilihat sebagai proses berkelanjutan yang melibatkan berbagai stakeholder untuk menciptakan keseimbangan antara kemajuan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat.
Tulisan oleh Michelle Moody H. dan Keesha Rygel
Data oleh Archiera Azalia W.
Ilustrasi oleh Athalla Naufal Lazuardi dan Nafisa Nibras Dzakia
