DIY di Tengah Kabut Asap: Seberapa Parah Kondisi Udara Kita?

Saat ini, udara bersih kian sulit dihirup, terutama di tengah deru mesin dan asap kendaraan yang tak kunjung reda. Polusi udara terjadi ketika udara tercemar oleh zat atau partikel berbahaya. Salah satu indikator utamanya adalah PM2.5 Wilayah DIY, termasuk Sleman, kini menjadi salah satu titik perhatian dalam isu pencemaran udara, khususnya karena tingginya partikel halus PM2.5 yang dapat membahayakan kesehatan.

PM2.5 merupakan partikel halus berukuran ≤ 2,5 mikrometer yang
dapat masuk hingga ke paru-paru dan aliran darah manusia. Partikel ini dapat memicu berbagai penyakit serius, mulai dari gangguan pernapasan, stroke, hingga kanker paru. World Health Organization (WHO) sendiri menetapkan ambang batas aman rata-rata tahunan PM2.5 sebesar 5 μg/m3, dan batas harian sebesar 15 μg/m3. Sayangnya, angka itu kerap terlampaui di sejumlah wilayah DIY.

Data dari situs pemantau kualitas udara IQAir (2024) menunjukkan bahwa konsentrasi PM2.5 di Yogyakarta, termasuk Sleman, bisa mencapai 40-60 μg/m3 pada waktu-waktu tertentu, terutama saat pagi dan sore hari. Angka tersebut setidaknya 4 hingga 12 kali lipat dari batas aman yang ditetapkan oleh WHO. Bahkan, nilai AQI (Air Quality Index) di kota Yogyakarta sempat menyentuh angka 185 yang termasuk ke dalam kategori “Tidak Sehat”. Sementara itu, Sleman, yang disebut sebagai wilayah “paling bersih” di DIY, hanya mencatat AQI 82 yang termasuk ke dalam kategori “Sedang” namun tetap jauh dari kata ideal.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor kemacetan kendaraan, dominasi kendaraan bermotor, serta minimnya transportasi publik menjadi penyebab utama. Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, kendaraan pribadi seperti motor dan mobil berkontribusi besar terhadap emisi gas dan partikel pencemar. Selain itu, kebiasaan membakar sampah secara terbuka di lingkungan permukiman, debu dari proyek pembangunan, dan lahan terbuka tanpa vegetasi turut memperburuk situasi.

Dampak dari polusi ini nyata terasa di masyarakat. Berdasarkan
liputan yang dilaporkan dari Detik Jogja (2023), lonjakan kasus ISPA, batuk kronis, asma, dan iritasi mata semakin sering ditemukan di wilayah Sleman, Bantul, dan Yogyakarta. Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis menjadi yang paling terdampak. Tak hanya mengancam kesehatan, kualitas udara yang buruk juga merusak ekosistem, mempercepat pelapukan bangunan, dan mengganggu kenyamanan hidup masyarakat sehari-hari.

Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah daerah telah mengambil sejumlah langkah. DLH mulai memperluas pemantauan kualitas udara dengan sensor otomatis dan memperkuat edukasi publik untuk menghentikan praktik pembakaran sampah. Pemerintah kota juga mendorong transisi ke transportasi rendah emisi, seperti penggunaan Transjogja, kendaraan listrik, serta jalur khusus pejalan kaki dan pesepeda. Selain itu, berbagai program seperti penanaman pohon serta penyediaan bank sampah dan TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
digalakkan demi menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan
berkelanjutan.

Namun, semua kebijakan itu akan sulit berdampak jika tidak diikuti
kesadaran kolektif masyarakat. Sebab, udara bersih bukan hanya
tanggung jawab pemerintah, tapi hak bersama yang harus dijaga.
Selangkah demi selangkah, dari jalanan Sleman yang berasap menuju langit yang lebih baru.

Tulisan oleh Naura Syakirani
Data oleh Ravelina Felicia Praditama dan Alifia Hayunika
Layout oleh Rishky Fre’d Yudianto