
Di tengah hiruk pikuk perkotaan, di balik riuh gemuruh mesin-mesin konstruksi, dan di balik struktur pencakar langit yang megah menjulang, terdapat suatu dinamika sosial yang rumit dan suatu problema etika serta moral bak fondasi yang tak nampak adanya, tetapi merupakan suatu hal fundamental dalam pelaksanaannya. Sebagai makhluk sosial yang tidak jauh dari interaksi-interaksi dan problema moral, tentunya manusia sudah tidak asing lagi dalam menentukan solusi untuk suatu permasalahan sosial. Hal ini berlaku juga dalam konteks konstruksi, masalah yang muncul tidak hanya terkait aspek teknis semata, melainkan juga masalah-masalah moral yang memerlukan suatu etika rekayasawan untuk menyelesaikannya. Proses konstruksi dan penyelesaian masalah sosial di dalamnya dapat dinilai baik ataupun buruk melalui suatu parameter, yaitu enclosure modern. Apabila proses tersebut semakin dekat dengan enclosure modern, maka dianggap semakin buruk.
“Enclosures” pada frase enclosure modern merujuk pada sebuah momen penting dalam sejarah sosial dan ekonomi Inggris: penghapusan terakhir atas hak-hak adat yang berkaitan dengan penggunaan lahan bersama, atau “commons”, pada abad ke-18. Tanah-tanah ini kemudian diambil alih secara eksklusif dalam proses yang disebut enclosure (pembatasan hak akses atas lahan bersama oleh pihak tertentu), yaitu sebagian besar orang kehilangan seluruh sumber penghidupan mereka; karena pada saat itu, penggunaan lahan bersama sangat penting bagi komunitas petani. Pada era modern ini, pelaksanaan konstruksi diibaratkan seperti enclosure modern, di mana konstruksi memerlukan lahan luas yang sebelumnya merupakan milik masyarakat; entah itu pemukiman, pertanian, ataupun ruang hidup bersama. Meskipun proses perubahan fungsi lahan ini seringkali melalui jalur yang legal, tidak jarang para pihak yang terlibat mengabaikan hak-hak dan kebutuhan masyarakat serta dampaknya ke lingkungan sekitar. Pada dasarnya, enclosure memiliki dampak positif dan negatif. Di satu sisi, pengambilan sumber daya secara terpusat oleh pemerintah memungkinkan untuk pembangunan infrastruktur skala besar yang biasanya sulit dilakukan secara kolektif, konsep enclosure modern seringkali dianggap sebagai suatu cara cepat untuk melakukan modernisasi pada infrastruktur dan pembangunan nasional. Akan tetapi, enclosure modern memiliki pengaruh-pengaruh negatif seperti hilangnya akses masyarakat terhadap ruang hidup dan sumber daya yang dahulu dikelola bersama bahkan timbulnya potensi terjadinya konflik sosial, protes, hingga munculnya kekerasan dari pihak tertentu. Dengan kata lain, parameter enclosure modern dapat dijadikan suatu indikator bahwasanya proyek konstruksi tersebut berhasil dari segi praktis, teknis, dan ekonomis, akan tetapi bermasalah secara sosial dan ekologis.
Beberapa proyek yang penerapannya sangat dekat dengan enclosure modern adalah:
- Proyek Bendungan Bener di Desa Wadas
Konflik kepentingan tidak terhindarkan pada pembangunan bendungan yang diproyeksikan dapat menampung dan mengairi lahan irigasi seluas 15.519 hektare ini. Bendungan ini diharapkan mampu meningkatkan jumlah panen di daerah lahan irigasi. Akan tetapi, di dalam pelaksanaan pembangunannya pemerintah membuat suatu rencana operasi penambangan batu andesit di Desa Wadas, di mana pada saat itu masyarakat setempat menolak rencana tersebut. Penolakan dari masyarakat ini tidak serta merta tanpa alasan, menurut masyarakat, area Desa Wadas sebelumnya bukanlah kawasan pertambangan, kekhawatiran masyarakat akan terjadinya longsor pada kawasan pertambangan, dan masyarakat menduga pemerintah melanggar UU No. 2 Tahun 2012 terkait Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Umum. Akan tetapi, pemerintah tetap berusaha untuk mempertahankan operasi dari penambangan ini. Di dalam konflik kepentingan yang terjadi ini, ditemukan terjadinya kekerasan yang dialami oleh warga Desa Wadas dan mengakibatkan konflik berkelanjutan.
2. Waduk Jatigede
Waduk yang terletak pada Kampung Jatigede Kulon, Desa Cijeunjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang ini memiliki manfaat sebagai irigasi seluas 90 hektare di sekitar Kabupaten Subang, Indramayu, dan sebagian Majalengka, pengendali banjir seluas 14.000 hektare, dan sebagai penyedia air serta pembangkit listrik. Namun, di balik segala manfaatnya itu, proyek pembangunan waduk ini mengalami beberapa sengketa yang berakar dari penggunaan lahan yang cukup besar, terlebih lagi lahan yang digunakan juga merupakan lahan pertanian produktif. Pengalihan penggunaan lahan ini berdampak sangat signifikan pada masyarakat karena 33% dari warga setempat bekerja pada sektor pertanian. Selain itu, terdapat masalah dalam buruknya pelaksanaan, antara lain seperti tidak adanya sosialisasi rencana proyek, tidak adanya sosialisasi aset pada masyarakat, tidak transparannya pendataan aset, dan tidak akuratnya data. Ditambah adanya ketimpangan kekuasaan dari pemerintah dengan penggunaan kekuatan militer di dalam pelaksanaannya. Terdapat juga konflik yang berkelanjutan, seperti konflik pada masa pembayaran pembebasan lahan meningkat, yang mana disebabkan oleh lemahnya sosialisasi dan inventarisasi aset pada era Orde Baru, penundaan pembebasan lahan dari 1986 hingga 2004, dan proses relokasi yang buruk sehingga membuat warga kembali ke lokasi semula. Hal ini menunjukkan bahwa konflik yang terjadi bukan hanya material, melainkan juga prosesual. Masyarakat yang terdampak juga mencoba untuk melakukan advokasi ke ranah hukum. Namun masyarakat tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Ketamakan pemerintah juga berdampak pada lingkungan, wilayah yang dulunya merupakan daerah yang subur dan kaya akan keanekaragaman hayati kini hilang akibat penggenangan.
Akan tetapi, ada juga contoh dimana pembangunan infrastruktur dilakukan jauh dari konsep enclosure modern, seperti:
- Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) bertujuan untuk meningkatkan akses air minum dan sanitasi yang layak bagi masyarakat, hal ini sesuai dengan SDGs nomor 6, yaitu Akses Air Bersih dan Sanitasi. Pada pembangunan infrastruktur ini, sumber daya air tetap menjadi milik bersama dan tidak diambil alih oleh negara, masyarakat juga ikut andil dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemeliharaan. Aspek-aspek yang menjunjung inklusivitas dan transparansi kepada masyarakat ini dinilai
Sebagai seorang rekayasawan, persoalan teknis dan ekonomis bukanlah segalanya, dan bahwasanya dinamika sosial, etika, dan nilai-nilai moral juga harus dijadikan suatu pertimbangan di dalam suatu proyek pembangunan. Dari ketiga proyek pembangunan infrastruktur yang telah disebutkan, konsep enclosure modern merupakan suatu parameter yang esensial. Partisipasi masyarakat, inklusivitas, dan transparasi penting untuk diterapkan guna menghindari konflik sosial. Maka dari itu, keberhasilan dari suatu proyek seharusnya tidak hanya diukur dari hasil fisik dan nilai ekonomis saja, tetapi juga dari parameter-parameter sosial lain yang tetap menjunjung etika dan moral serta menghindar dari praktik enclosure yang merugikan masyarakat.
Tulisan oleh Raffael Alain Hanindra
Data oleh Nayaka Pisundra
Ilustrasi oleh Dixna Hizkia
