Program 3 Juta Rumah, Mimpi Besar dengan Berbagai Tantangan

Pernahkah Sobat Ero membayangkan rumah lebih dari sekadar bangunan semata? Rumah adalah ruang awal untuk membangun masa depan—tempat di mana pendidikan dimulai, keamanan tumbuh, dan harapan bisa merekah. Sayangnya, di Indonesia, mimpi itu belum bisa menjadi milik semua orang.

 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Indonesia masih menghadapi  backlog perumahan (selisih antara jumlah rumah yang dibutuhkan dengan yang tersedia) sebesar 9,9 juta unit. Lebih dari itu, terdapat sekitar 26,9 juta rumah tangga yang menempati rumah tidak layak huni. Melihat urgensi tersebut, pemerintah saat ini meluncurkan target ambisius, yaitu membangun tiga juta rumah setiap tahun. Program ini tak hanya ditujukan untuk mengurangi backlog, tetapi juga memberi akses hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah baik di kota, di desa, hingga di pesisir.

 Program ini tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 dan mulai dirancang implementasi sesungguhnya dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Pemerintah menyusun ulang skema pembiayaan, melakukan pembenahan sistem, serta menyiapkan kebutuhan anggaran untuk mendukung pelaksanaannya.

 Target pembangunan tiga juta rumah per tahun merupakan langkah besar dalam upaya memenuhi kebutuhan hunian di Indonesia. Skala program ini membutuhkan kesiapan di berbagai lini, dari segi teknis, administrasi, hingga pendanaan. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dan kompleksitas koordinasi antar-lembaga, bisakah ini menjadi jawaban bagi jutaan orang yang masih menanti rumah layak? Atau justru akan menjadi target yang kembali ditinggalkan?

Mengenal Program 3 Juta Rumah

 Untuk menjawab kebutuhan hunian yang terus meningkat, pemerintah menetapkan target ambisius membangun tiga juta unit rumah setiap tahun. Program ini menjadi bagian dari agenda strategis nasional 2025–2029 dan dirancang untuk mempercepat penyediaan hunian layak, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Target terbagi menjadi beberapa segmen, yaitu 1 juta rumah dibangun di kawasan perkotaan dan 2 juta di wilayah pedesaan serta kawasan pesisir.

 Sasaran utama dari program ini adalah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), termasuk kelompok seperti ASN golongan bawah, guru berpenghasilan rendah, serta anggota TNI-Polri berpangkat rendah. Di sisi lain, masyarakat di wilayah pedesaan dan pesisir juga menjadi prioritas agar pemerataan akses hunian dapat tercapai secara nasional.

 Pelaksana utama program ini adalah Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). Namun, pelaksanaannya tidak berdiri sendiri. Sejumlah instansi pemerintah, lembaga keuangan seperti BTN, pengembang lokal dan swasta, serta pemerintah daerah turut dilibatkan. Kolaborasi lintas sektor ini menjadi kunci untuk mendukung pelaksanaan di lapangan.

 Skema pembiayaan program ini dirancang agar hunian tetap terjangkau bagi kelompok sasaran. Dilansir dari mediakeuangan.kemenkeu.go.id, salah satu skema pembiayaan utama yang digunakan adalah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Melalui program ini, pemerintah memberikan subsidi bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi MBR dengan bunga tetap sekitar 5%, tenor 10–25 tahun, dan cicilan yang terjangkau, sekitar Rp600 ribu per bulan. Uang muka pun ringan, dengan kisaran Rp1,2 juta per unit rumah seharga Rp160–170 juta. FLPP dikelola oleh BP Tapera dan menggunakan skema blended finance, di mana pembiayaan berasal dari dana pemerintah dan perbankan serta lembaga pembiayaan. FLPP dirancang agar dapat diakses oleh pekerja formal maupun informal. Sekitar 76% penerima FLPP saat ini adalah buruh. Namun, penerima bantuan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain belum pernah memiliki rumah dan belum menerima subsidi perumahan pemerintah sebelumnya. Pada tahun anggaran 2025, kuota FLPP ditingkatkan menjadi 350.000 unit, naik dari target awal 220.000 unit, berkat dukungan koordinatif lintas lembaga. Untuk tahun 2026, FLPP ditargetkan melayani 500.000 unit rumah.

 Selain itu, tersedia Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang mendukung pembangunan atau renovasi rumah secara swakelola, khususnya di pedesaan. Pemerintah juga mempertimbangkan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk sektor perumahan serta menjajaki kerjasama pendanaan dengan sektor swasta dan lembaga internasional seperti Bank Dunia.

 Dari sisi teknis, di kawasan perkotaan, pemerintah cenderung mengembangkan hunian vertikal seperti rumah susun, mengingat keterbatasan dan tingginya harga lahan. Sementara itu, untuk kawasan pedesaan dan pesisir lebih difokuskan pembangunan rumah tapak dan renovasi rumah tidak layak huni.

Per 5 Agustus 2025, total realisasi Program 3 Juta Rumah tercatat mencapai 190.335 unit, terdiri dari 40.967 unit yang telah melalui proses pembangunan hingga akad, serta 149.368 unit dari penyaluran KPR subsidi. Sektor perumahan kini diposisikan sebagai salah satu pendorong utama aktivitas ekonomi. Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa program ini akan terus diakselerasi melalui peningkatan kuota FLPP, percepatan BSPS, pemanfaatan skema KUR Perumahan, serta kebijakan insentif seperti PPN Ditanggung Pemerintah. Sektor konstruksi yang menjadi tulang punggung program ini juga menunjukkan kontribusi positif dengan pertumbuhan sebesar 4,98%, memperkuat keyakinan bahwa percepatan pembangunan rumah rakyat memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan dan perekonomian nasional.

 Pada tahun anggaran 2026, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mengajukan pagu anggaran sebesar Rp49,85 triliun untuk mendukung pelaksanaan Program 3 Juta Rumah. Dari jumlah tersebut, sebagian besar, sekitar Rp45,55 triliun atau 91,37%, diarahkan untuk pelaksanaan BSPS yang ditargetkan menjangkau sekitar dua juta unit rumah rakyat. Dialokasikan pula anggaran sebesar Rp1,67 triliun untuk pembangunan 3.047 unit rumah susun (rusun) dan Rp287,8 miliar untuk membangun 1.166 unit rumah khusus (rusus) yang umumnya diperuntukkan bagi masyarakat terdampak bencana atau yang tinggal di kawasan khusus. Di sisi infrastruktur dasar, dana sebesar Rp660 miliar disiapkan untuk pengembangan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU), termasuk Rp290,8 miliar khusus untuk PSU rumah umum.

Seluruh usulan tersebut disiapkan dalam rangka mendukung Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, yang menjadi tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2025–2029. Dengan RAPBN yang akan segera diumumkan, 2026 diposisikan sebagai titik awal penting untuk mewujudkan target tiga juta rumah per tahun secara bertahap dan terstruktur.

Berkaca ke Masa Lalu

Sebelum Program 3 Juta Rumah dicanangkan, berbagai inisiatif besar telah dijalankan oleh pemerintah, di antaranya Program Sejuta Rumah, Tapera, dan pembangunan rumah susun untuk ASN dan TNI/Polri. Program-program tersebut pada dasarnya ditujukan untuk menjawab kebutuhan hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Namun, dalam implementasinya, capaian yang dihasilkan belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi.

Antara tahun 2019 hingga 2024, total rumah yang berhasil dibangun dari seluruh program hanya mencapai sekitar 2,17 juta unit, meskipun alokasi anggaran dari APBN tercatat mencapai Rp119 triliun selama periode tersebut (Antaranews, 2024). Angka ini jauh dari target yang ditetapkan.

Salah satu persoalan utama yang mengemuka adalah adanya ketidaksesuaian antara rumah yang disediakan dan kebutuhan riil masyarakat. Banyak rumah bersubsidi dibangun di lokasi yang jauh dari pusat kota dan minim akses terhadap transportasi umum, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Hal ini membuat rumah-rumah tersebut kurang diminati, meskipun secara formal telah memenuhi target pembangunan. Di sisi lain, permintaan yang tinggi terhadap hunian di kawasan strategis tidak mampu dipenuhi karena keterbatasan lahan dan biaya (tirto.id, 2023).

Dilansir dari Kompas.com, masalah lainnya adalah keterbatasan daya beli MBR. Banyak pekerja sektor informal atau berpenghasilan tidak tetap kesulitan mengakses KPR karena terkendala persyaratan administratif. Meskipun skema subsidi seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tersedia, cicilan dan uang muka masih dianggap memberatkan bagi sebagian besar target penerima. Bahkan, kelompok MBR tetap menjadi kontributor utama dalam angka backlog kepemilikan rumah di Indonesia.

Pembiayaan pun menjadi tantangan klasik. Dana subsidi cepat habis, sementara skema baru seperti Tapera—yang diharapkan menjadi sumber pembiayaan jangka panjang berbasis tabungan—menghadapi banyak hambatan dalam pelaksanaannya, termasuk penolakan publik dan keraguan terhadap mekanisme implementasinya.

Selain itu, birokrasi dan proses perizinan di tingkat daerah kerap mempersulit pelaksanaan proyek, terutama bagi pengembang kecil. Prosesnya panjang, tidak terstandar, dan menambah beban biaya pembangunan.

Masalah lain yang belum teratasi adalah validasi data sasaran penerima. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa data MBR masih tersebar di banyak sistem dan belum sepenuhnya terintegrasi. KPK merekomendasikan agar pemerintah menyelaraskan data penerima bantuan dengan NIK, NPWP, dan DTKS untuk memastikan subsidi tepat sasaran.

Sebagian besar dari persoalan ini bukan hal baru. Tantangan seperti keterbatasan pembiayaan, ketidaksesuaian lokasi, daya beli rendah, dan lemahnya koordinasi merupakan masalah struktural yang belum terselesaikan sejak program-program sebelumnya. Pengalaman ini menjadi cermin penting bagi pelaksanaan Program 3 Juta Rumah saat ini.

Strategi Program 3 Juta Rumah Saat Ini

Berangkat dari pengalaman program-program sebelumnya, pendekatan Program 3 Juta Rumah dirancang dengan penyesuaian yang lebih terukur. Desain program kini mengedepankan fleksibilitas pembangunan—menggabungkan hunian vertikal di perkotaan dan rumah tapak di pedesaan serta pesisir. Skema pendanaan juga diperluas melalui kombinasi antara dana APBN, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan, hingga dukungan pembiayaan dari lembaga internasional. Di saat yang sama, keterlibatan sektor swasta diperkuat, terutama dalam penyediaan lahan, konstruksi massal, dan inovasi produk pembiayaan.

Mulai 2025, pemerintah melaksanakan sejumlah inovasi untuk memperlancar Program Pembangunan Tiga Juta Rumah. Langkah ini mencakup pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta pembebasan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), disertai percepatan proses penerbitan PBG. Selain itu, diperkenalkan skema pembiayaan mikro untuk mempermudah akses dana bagi pembangunan atau renovasi skala kecil. Di sektor perbankan, diterapkan Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang memberi kelonggaran pada Giro Wajib Minimum (GWM), sehingga bank memiliki ruang lebih besar untuk menyalurkan pembiayaan perumahan rakyat.

Beberapa langkah konkret sudah terlihat dalam bentuk proyek percontohan. Pemerintah, melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), mulai memfokuskan pengembangan kawasan perumahan terintegrasi, dengan akses ke fasilitas dasar, transportasi, dan lapangan kerja. Hunian vertikal dikembangkan di kota-kota besar, sementara pendekatan swakelola dan BSPS dioptimalkan di desa-desa dan wilayah pesisir. Selain itu, penataan sistem data nasional, dashboard pelaporan real time, dan penyempurnaan kriteria penerima bantuan menjadi bagian dari upaya menjadikan program ini lebih tepat sasaran dan terukur dalam pelaksanaan.

Di sisi lain, program ini membuka peluang besar bagi sektor teknik sipil dan konstruksi. Volume proyek dalam skala nasional mendorong permintaan terhadap tenaga kerja dan ahli, material bangunan lokal, dan penyedia jasa konstruksi kecil. Regulasi seperti Perpres No. 17 Tahun 2023 yang memprioritaskan proyek bernilai di bawah Rp15 miliar untuk pelaku usaha kecil, memberi ruang luas bagi kontraktor lokal untuk terlibat. 

Program 3 Juta Rumah menjadi salah satu agenda besar dalam kerangka pembangunan nasional 2025–2029. Dengan skala yang ambisius, pendekatan lintas sektor, dan perbaikan tata kelola, program ini tidak sekadar menyasar angka, tetapi juga menargetkan perubahan mendasar dalam cara pemerintah menyediakan hunian yang terjangkau dan layak. 

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman sebelumnya, tantangan-tantangan lama tidak serta merta hilang. Pembiayaan, daya beli, validasi data, dan koordinasi lintas lembaga tetap menjadi faktor krusial yang akan menentukan arah keberhasilan program. Program ini membuka peluang besar untuk memperbaiki permasalahan perumahan di Indonesia atau justru hanya mengulang target-target besar yang kembali tak tercapai. Jadi, Sobat Ero, mungkinkah kali ini akan berbeda?

— Fin

Tulisan oleh Hammam Ash Shiddiqy

Data oleh Nur Farhan Yafi Setiadi

Ilustrasi oleh Rizki Nurhidayat