Beranda OpiniKontribusi Mahasiswa Era Sosmed 5 Jari: Ditipu Kebijakan Pangan

Mahasiswa Era Sosmed 5 Jari: Ditipu Kebijakan Pangan

oleh Redaksi

Climate change oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diartikan sebagai bentuk perubahan pada pola cuaca maupun iklim dalam jangka panjang yang dapat mempengaruhi kehidupan di bumi. Awal mulanya, climate change terjadi semenjak era reformasi industri dan dijalankan sampai sekarang dengan sistem produksi yang makin berkembang dan kompleks. Selain itu, adanya sisa-sisa produksi dari kegiatan industri, seperti emisi gas rumah kaca, karbon dioksida, dan zat berbahaya lainnya, dijadikan sebagai penyebab utama sekaligus masalah yang besar dalam terjadinya perubahan iklim.

Kemudian, permasalahan iklim ini juga sudah dijadikan sebagai isu Hak Asasi Manusia (HAM) oleh PBB dalam sidang dewan keamanannya pada tahun 2008. Hal ini didasari karena perubahan iklim secara tidak langsung dapat melanggar ‘hak untuk makan’ bagi makhluk hidup di Bumi, baik itu manusia, hewan, maupun tumbuhan. Ketahanan pangan adalah isu yang dapat dijadikan sebagai bukti penguatnya, yaitu ketika waktu terus berjalan dan climate change yang terjadi bergerak beriringan membuat ketersediaan maupun akses terhadap pangan mengalami kesulitan, baik dari sisi keamanan, kemerataan, keterjangkauan, maupun jumlah beserta mutunya.

Di Indonesia sendiri, isu climate change dan ketahanan pangan sudah menjadi bahasan utama, termasuk pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun 2022 yang baru selesai dilaksanakan di Bali. Oleh karena itu, salah satu hasil dari KTT G20 ini adalah terkait dengan transisi energi yang merupakan hasil konkret dari permasalahan krisis pangan dan perubahan iklim. 

Isu climate change pernah diperkenalkan oleh Menteri Pertahanan Indonesia, yaitu Prabowo Subianto. Dalam pidatonya, dijelaskan mengenai hasil pertanian singkong yang diklaim dapat dijadikan sebagai solusi atas ancaman krisis pangan pada Forum Keamanan Pangan Dunia yang selanjutnya direalisasikan menjadi proyek dengan nama food estate. Proyek food estate yang diterapkan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menjadi simbol keseriusan pemerintah nasional dalam menangani krisis ketahanan pangan dan iklim yang sedang dan akan terjadi.

Perlu diingat bahwa dalam setiap kebijakan pemerintah pasti terdapat government failure-nya. Kegagalan dari kebijakan pemerintah bisa terjadi karena beberapa faktor yang melatarbelakangi, contohnya adalah kurang tepatnya observasi penelitian dengan kebijakan yang diambil. Hal ini diperkuat dengan adanya temuan fakta dari komunitas pegiat lingkungan internasional, yaitu Greenpeace Indonesia. Komunitas pegiat lingkungan ini telah melakukan observasi lapangan untuk meninjau proyek food estate di Kalimantan Tengah. Greenpeace Indonesia menemukan fakta bahwa proyek besar dengan harapan tinggi ini kenyataannya hanya berupa tanaman singkong kerdil yang jauh dari kriteria pangan sehat. 

Adanya temuan fakta ini menunjukkan bahwa adanya pengorbanan yang berbanding terbalik dengan kerugian yang sudah ditimbulkan, yaitu hilangnya kawasan hutan sekitar tiga juta hektare dengan perhitungan apabila proyek ini terus dijalankan. Di sisi lain, apabila krisis iklim kian memburuk, produksi pangan akan ikut terganggu sehingga mengakibatkan semakin cepatnya krisis pangan. 

Untuk itu, dibutuhkan upaya pengawasan dari masyarakat dalam memantau ketepatan dan keefisienan kebijakan dari pemerintah, apalagi yang berdampak luas bagi ketahanan pangan nasional. Jika membahas masyarakat, maka yang menjadi label utama perwakilannya adalah mahasiswa. 

Mahasiswa dipandang sebagai kaum intelektual yang mempunyai gagasan inovatif yang tinggi. Hal ini terjadi bukan tanpa sebab, mahasiswa yang sejatinya memiliki Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat dituntut untuk dapat mengaplikasikannya. Khususnya, kekritisan pada poin pengabdian yang diadaptasikan dengan zaman 5.0 society, artinya ditekankan pada pemanfaatan teknologi yang berdaya tinggi. Makna kata berdaya tinggi untuk tindakan mahasiswa adalah suatu tindakan yang menyuarakan fakta empiris dengan kritis dan logis ketika kebijakan publik menyimpang dari norma, aturan maupun tujuan yang sudah dibuat sebelumnya. 

Kebijakan pemerintah memang perlu untuk diawasi oleh semua pihak dan tidak terikat hanya pada lembaga formal yang secara undang-undang diatur untuk saling mengawasi sebagai bentuk dari siklus pengawasan dalam fungsi pemerintahan saja. Masyarakat juga dapat melakukan pengawasan, terlebih pada peran mahasiswa sebagai wakil masyarakat yang mempunyai nilai moral dalam kekritisan dan terjamin kebebasannya. Masyarakat yang kritis, logis, dan tepat adalah simbol bahwa pendidikan akademis telah sukses mencetak mahasiswa sebagai insan cendekiawan dan bagian dari masyarakat.

Kedudukan mahasiswa dalam kemasyarakatan adalah sebagai bagian integral yang tidak dipisahkan dari masyarakat. Selain itu, mahasiswa juga berfungsi sebagai pengawas dari luar pemerintahan untuk bersama-sama dapat mencapai realisasi dari program kebijakan, khususnya terkait ketahanan pangan yang paling urgent. Dengan demikian, program ketahanan pangan food estate di Kalimantan Tengah harus disorot dan dievaluasi agar nama dan maknanya tetap sama, yaitu “food estate” yang tidak berubah menjadi “fool estate” dengan mengikuti perubahan iklim.

Tulisan oleh Mohammad Ichsan Verianto
Ilustrasi oleh Aldhytian Surya Arthaka 

Artikel Terkait