Penetapan Hari Keadilan Internasional didasari oleh perumusan Statuta Roma pada sebuah konferensi diplomatik internasional di Roma, Italia, yang diadakan pada tanggal 17 Juli 1998. Statuta Roma menjadi landasan terbentuknya International Criminal Court (ICC) pada tahun 2002, setelah enam puluh negara meratifikasi Statuta Roma.
Ide dasar pembuatan ICC diawali dengan terbentuknya Nuremberg Tribunal dan Tokyo War Crimes Tribunal pasca-Perang Dunia II untuk mengadili para penjahat perang. Kedua tribunal militer tersebut menjadi awal kesadaran akan pentingnya sebuah lembaga peradilan yang permanen dan otonom untuk mengadili pelaku kejahatan internasional dan menolak hak impunitas.
Perumusan Statuta Roma dan pembentukan ICC mengingatkan kita akan kejahatan kemanusiaan serta ketidakadilan yang tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga di masa kini. Sayangnya, bentuk ketidakadilan tersebut dapat dijumpai pula di tanah air kita, Indonesia.
Di Indonesia, keadilan dituangkan dalam Pancasila, yakni pada sila kedua dan kelima. Sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” menyatakan bahwa seluruh manusia merupakan makhluk yang beradab dan memiliki keadilan yang setara. Keadilan ini kembali ditegaskan dalam sila ke-5, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“. Dalam sila tersebut, seluruh masyarakat tanpa terkecuali berhak mendapatkan keadilan.
Sayangnya, realitas keadilan di Indonesia masihlah jauh dari makna keadilan yang sesungguhnya, yaitu tercapainya keseimbangan hak dan kewajiban. Hingga hari ini, masih terdapat berbagai kasus kejahatan yang belum terungkap dan tidak diketahui kejelasannya. Beberapa kasus ada yang sempat ramai diperbincangkan publik, tetapi lebih banyak lagi kasus yang tidak jelas peradilannya.
Seperti salah satu kasus yang menimpa Nenek Asyani yang didakwa mencuri kayu jati. Nenek Asyani divonis hukuman 1 tahun penjara serta denda sebesar 500 juta rupiah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Situbondo pada tahun 2015. Bandingkan dengan koruptor yang merugikan negara hingga triliunan rupiah, tetapi mendapatkan hukuman yang ringan. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2019, rata-rata hukuman pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
Istilah “Hukum hanya tajam untuk kalangan bawah dan tumpul untuk kalangan atas” menggambarkan kedua kasus tersebut. Ketika hukum dihadapkan dengan kaum elite, proses hukum mereka berbelit-belit, bahkan keputusan hakim sering tidak sesuai dengan undang-undang. Para penjahat kelas kakap ini dapat dengan mudahnya melenggang tanpa beban atau menikmati fasilitas mewah di dalam penjara, sementara rakyat kecil harus merasakan dinginnya sel penjara.
Rendahnya moralitas aparat penegak hukum, seperti ketidaktegasan dalam menjalankan proses hukum yang berlaku, menjadi salah satu penyebab lemahnya keadilan di Indonesia. Masyarakat yang belum sepenuhnya sadar dan memahami hukum dan aturan yang berlaku turut berperan dalam hal ini.
Untuk mencapai salah satu tujuan Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yaitu melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, perlu adanya sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Dukungan dari pemerintah dan masyarakat diperlukan agar penegakan keadilan dapat terlaksana dengan lancar.
Hari Keadilan Internasional menjadi momen untuk terus mengingat dan memperjuangkan keadilan yang belum sepenuhnya hadir. Jalan yang ditempuh untuk mencari keadilan tidaklah mudah. Mewujudkan keadilan dapat dimulai dari sebuah sikap sederhana. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian!, “Ketidakadilan harus dilawan, walaupun dalam hati.”
Tulisan oleh Dwitha Nurfarida
Ilustrasi oleh Rafi Hanan Kausar