Siapa yang Memakai Sandalku?

done

“Sopo sing nganggo sendalku? Aku ora iso bali iki, j****k” umpat salah satu teman di suatu sore yang syahdu di Rumah Kami. Beberapa saat kemudian umpatan kembali menggema dari sisi Rumah Kami yang lain “A*u sopo sing numpahke asbak nang karpet, ora diresiki meneh, s**g”. Seketika layanan pesan gratis pun heboh mencari pengutil sandal serta penista karpet. Sore itu pun berubah, syahdunya berganti menjadi ajang umpat-mengumpat terbesar semenjak Rumah Kami didirikan. Bahkan, sepanjang sejarah mungkin. “Ah, rasanya terlalu berlebihan” tapi maaf bukan maksud saya untuk menjadi berlebih.

Begini, jika suatu saat nanti Anda mendapat kesempatan untuk menjadi manusia sial yang tidak bisa pulang karena sandalmu dipinjam tanpa izin, pasti Anda mengerti mengapa ajang umpat-mengumpat besar tersebut harus dilaksanakan. Apalagi ketika Ibumu sudah menunggu di rumah untuk diantar ke arisan Dasawisma, yang skala prioritasnya hanya kalah dengan urusan nonton sinetron India di A*TV (jika Ibumu tidak begitu bersyukurlah, karena Ibuku dan teman-temannya seperti itu) . Rasanya ajang umpat-mengumpat terbesar sepanjang sejarah cukup beralasan juga kan untuk digelar?

“Tapi penulisnya masih terlalu Iebay nih, kenapa kalau penting banget kenapa nggak ambil sandal lain aja?” Ya karena begitulah bibit ciak-menciak muncul. Tidak selamanya yang biasa itu baik, dan tidak selamanya pula yang dibiasakan itu dibenarkan. Solusi dengan mengambil sandal yang lain itu dilakukan karena sudah biasa, enak, mudah, dan simple. Namun efeknya adalah rantai peminjaman tanpa izin yang tiada ujungnya, ruwet, mbundet seperti permasalahan Persamaan Diferensial kita senja kala kemarin. Lagipula permasalahannya bukan hanya sandal saja, banyak barang-barang dipinjam tanpa pernah kembali lalu hilang ditelan bumi, banyak sampah berserakan dan didiamkan padahal orang-orang berlalu lalang.

“Terus gimana dong? Ngeluh terus nih tanpa solusi”. Solusi apapun jika manusianya sudah memiliki kebiasaan mengambil yang bukan haknya, meminjam tanpa izin maupun membuang sampah sembarangan, hasilnya seperti rumus Ax2+Bx+C sama dengan nol. Penghuni Rumah Kami mungkin bisa saja membeli puluhan sandal untuk digunakan bersama, menyediakan tempat sampah di setiap ubin Rumah Kami, atau memasang CCTV di setiap jengkal atapnya, namun apakah ada uangnya? Hanya Tuhan dan beberapa orang yang tahu, semoga nanti semua tahu.

Mari mundur sejenak ke paragraf pertama tulisan ini, lalu renungkan pertanyaan “Siapa yang pakai sandalku?”. Bila pertanyaan siapa diganti dengan mengapa, mungkin jawabannya tidak sama dengan nol lagi. Pertanyaan “Mengapa memakai sandalku?” memang masih bisa dijawab  dengan berbagai macam alasan. Namun pertanyaan-pertanyaan selanjutnya seperti “Mengapa tidak bilang dulu kalau mau meminjam?”, “Mengapa tidak mengembalikan barang pinjaman?”, “Mengapa membuang sampah sembarangan?”, dan seterusnya akan memberikan harapan untuk menyentuh hati nurani, menumbuhkan empati yang patah dan belum terganti.

Pertanyaan terakhir adalah “Mengapa kita masih belum berani bertanggung jawab atas segala hal yang akan maupun sudah kita lakukan?”. Kali ini biarkan hati yang menjawab, istirahatkan akal sejenak karena ialah yang terkadang membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar. Semoga hati nurani masing-masing Penghuni Rumah Kami sudah memberikan jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan diatas, sehingga tidak ada lagi ajang adu umpat terbesar sepanjang sejarah di rumah ini. Lalu kita bisa lantangkan dengan bangga “welcome to our home, this is where our heart is”

“Daritadi ngomongin yang jelek-jelek terus tentang rumah kita nih, padahal yang baiknya kan banyak juga” ya Tuhan, padahal tulisan sudah selesai namun suara-suara ini terus muncul. Karena yang baiknya cukup dirasakan langsung, lalu disimpan dalam hati menjadi cinta, dan dijadikan bekal untuk hidup nanti. Jika yang baik juga diceritakan, mungkin jadinya akan setebal buku Structural and Stress Analysis-nya Megson, dengan kata lain tidak dibaca.

“Emang penulis sudah melakukan itu semua? Sudah izin kalau mau pinjam sandal? Sudah membuang sampah pada tempatnya?” barangkali ini memang ajang disediakannya Frequently Asked Question (FAQ). Belum, penulis masih sering meminjam sandal tanpa izin, masih sering buang sampah sembarangan, dan lain lain. Tapi tidakkah perubahan dalam diri manusia bukanlah sebuah keniscayaan? Bukankah hati nurani pula yang menjadikan manusia seorang manusia seutuhnya? Mari berubah bersama menjadi lebih baik, saling mengingatkan, saling instropeksi, dan saling membersihkan hati. Penulis hanya ingin melakukan sesuatu untuk memperbaiki Rumah Kita. Sebab seseorang pernah berkata bahwa cinta tanpa sebuah tindakan adalah sebuah kesalahan.

Artikel oleh
Aldetto Gustirama