Sejarah mungkin telah melukiskan sebuah gambaran mengenai romantisme perjuangan. Catatan perjalanan republik ini menggelorakan bagaimana mahasiswa, bersama-sama dengan rakyat, berhasil menggulingkan rezim otoriter yang telah mengekang demokrasi dan menghalangi kesejahteraan. Mungkin bagi kami (mahasiswa) masih terngiang kisah tentang keberanian kakak-kakak kami untuk mendorong Indonesia menuju gerbang demokrasi dan masa depan yang lebih cerah. Sehingga masih hidup di kalangan mahasiswa, aktivisme untuk membela rakyat. Untuk menjunjung kebenaran. Karena memang kamilah agen perubahan.
Suatu hal yang bagi saya adalah menarik mengenai definisi dari “bela rakyat” itu sendiri. Apa sih yang tergolong membela rakyat dan apapula yang tergolong tidak membela atau tidak berpihak kepada rakyat? Siapa juga yang berhak menentukan mana yang pro-rakyat mana yang tidak? Tentu saja saya bicara dalam koridor isu yang dalam “area abu-abu”. Kalau ada isu bahwa tiba-tiba pendidikan dasar dipungut biaya oleh negara pasti kita semua akan tancap gas untuk mengecam pemerintah.
Isu yang ingin saya bahas banyak dan hampir semuanya memiliki sangkut paut dengan ilmu yang saya tekuni, teknik sipil. Banyak isu memanas belakangan ini yang berhubungan erat dengan teknik sipil, dari berbagai proyek reklamasi hingga pembangunan pabrik semen. Yang paling dekat dengan saya, mahasiswa teknik sipil UGM asli Jogja, adalah pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Bandara Adistujipto Yogyakarta sudah melampaui kapasitasnya. Ditambah soal berbagi penggunaan bandara dengan Angkatan Udara untuk operasi militer, penambahan kapasitas bandara atau pembangunan bandara baru memang diperlukan. Dengan jumlah penumpang per tahun yang sudah melebihi 7 juta penumpang dan terus bertumbuh dengan laju sekitar 10% per tahun, bagaimama mungkin bandara Adisutjipto dapat dipertahankan untuk melayani kebutuhan Yogyakarta?
Meski dicanangkan sebagai solusi kebuntuan pemerintah untuk menjawab kebutuhan transportasi udara yang memadai, megaproyek bandara NYIA dinilai merugikan masyarakat setempat. Beberapa hal menjadi sorotan pihak yang menentang pembangunan bandara, antara lain melanggar peraturan tata ruang wilayah, salah dalam melakukan analisis lingkungan (AMDAL), berisiko tinggi terhadap bencana, dan menyebabkan hilangnya ribuan pekerjaan bagi petani setempat.
Kembali lagi mengenai “bela rakyat”, yang menarik bagi saya dalam kasus NYIA adalah slogan yang kerap digunakan pihak penentang yang kurang lebih berbunyi “Jokowi Anda Di Pihak Mana”, “Tolak Bandara, Selamatkan Yogya”, “Bandara untuk Rakyat Mana?”, dan semacamnya. Bagi saya dari slogan tersebut tercipta kesan bahwa siapa saja yang mendukung pembangunan bandara adalah mereka yang kejam dan tidak peduli tentang nasib rakyat yang harus direlokasi. Seakan-akan yang mendukung pembangunan bandara baru adalah anti-tesis dari slogan penentang: tidak berpihak kepada rakyat dan ingin menghancurkan Yogya.
Secara pragmatis, saya terhitung golongan yang mendukung pembangunan bandara pengganti Adisutjipto karena memang diperlukan. Tetapi apakah berarti saya tidak peduli dengan rakyat? Apakah saya ingin menghancurkan Jogja, rumah dan tempat kelahiran saya? Bagi saya seakan-akan label “pro-rakyat” telah menjadi komoditas yang dimonopoli oleh satu pihak dalam aktivisme mahasiswa. Sedangan tidak ada ruang untuk kita bisa bersama-sama menjadi “pro-rakyat” dengan pendapat dan gagasan masing-masing.
Apakah tidak ada ruang bagi kami untuk “pro-rakyat” meskipun kami mendukung pembangunan bandara baru? Kami yang mendukung adanya bandara baru tidak semata-mata mendukung pemerintah tanpa memikirkan imbas dari pembangunan tersebut. Bukan tidak peduli. Saya yakin banyak dari kami juga skeptis. Misalnya, apakah bandara baru sebagai solusi yang paling tepat memecahkan masalah darurat transportasi udara Yogyakarta? Apakah tidak bisa, untuk sementara waktu, menggabungkan pelayanan Adisutjipto dengan Adisumarmo di Solo sembari mencari solusi untuk merelokasi para terdampak sekaligus meningkatan integrasi wilayah antara Jogja, Solo, dan sekitarnya? Adapula isu yang beredar mengenai kepemilikan pihak asing dalam NYIA yang mendekati 50%. Apakah itu tidak merugikan rakyat bila mengingat Adisutjipto merupakan salah satu dari sedikit bandara di Indonesia yang setiap tahunnya meraup keuntungan? Atau bagaimana realisasi pembangunan NYIA serta menyambungkannya pada jaringan transportasi Jogja dalam waktu kurang lebih 2 tahun, mengingat rekam jejak pemerintah dalam menyelesaikan megaproyek tepat waktu belum memuaskan? Bukankah kekhawatiran yang ada dalam benak kami juga berpihak kepada rakyat?
Ruang-ruang aktivisme mahasiswa sudah lama menyumbang gerakan-gerakan yang membentuk dan memajukan Indonesia. Seiring dengan bertumbuh dan berkembangnya Indonesia, sudah sepantasnya rahim yang melahirkan gerakan-gerakan mahasiswa juga melakukan hal yang sama. Lembaga-lembaga eksekutif mahasiswa, yang seharusnya menjadi wajah perwakilan beranekaragam golongan, harus bisa berevolusi dan bisa bersikap mewadahi suara yang majemuk. Terciptanya perpecahan antara gerakan mahasiswa adalah karena adanya sentimen “kita dan mereka”. Sentimen ini telah menciptakan arogansi dikeduabelah pihak, lembaga yang merepresentasikan maupun yang direpresentasikan, bahwa kebenaran hanya berlaku satu sisi.
Perselisihan antara kita (mahasiswa) jelas kontraproduktif. Kita menghabiskan tenaga untuk saling memojokkan dan membuktikkan “kepalingbenaran” kita, sehingga melupakan untuk siapa kita berjuang. Mari kita senantiasa menjaga kesantunan dalam beraksi dan menjaga martabat antar sesama. Jangan sampai kita terhanyut dalam asiknya berjuang sehingga lupa bahwa diluar golongan sendiri, masih ada golongan lain yang sama-sama berjuang meskipun jalur dan caranya berbeda. Sudah saatnya kita kembali sadar bahwa kita bermain pada tim yang sama. Tim yang sama-sama membela rakyat, sama-sama membela Indonesia.
Kemal Fardianto
Kontributor independen