Sejarah Revolusi Industri
Pada akhir abad ke-18 di Inggris, kegiatan perindustrian mulai menggunakan mesin berbasis manufaktur sebagai tenaga kerja, menggantikan tenaga manusia dan hewan. Hal tersebut menandai terjadinya Revolusi Industri pertama atau Revolusi Industri 1.0. Fenomena ini mengubah dunia dengan sistem produksi yang lebih efisien dan hasil produksi yang berlipat ganda. Sejak saat itu, sektor industri terus berubah mengikuti perkembangan teknologi.
Revolusi Industri 1.0 berakhir pada pertengahan 1800-an, diselingi dengan adanya perlambatan dalam penemuan makro sampai munculnya Revolusi Industri 2.0 pada 1870. Revolusi Industri 2.0, juga dikenal dengan nama Revolusi Teknologi, ditandai dengan munculnya pembangkit tenaga listrik dan motor pembakaran dalam. Penemuan ini memicu kemunculan mobil, pesawat terbang, telepon, dan sebagainya.
Awal tahun 1970 merupakan masa dimulainya Revolusi Industri 3.0 yang ditandai dengan penggunaan elektronik dan teknologi informasi sebagai otomatisasi produksi. Jika Revolusi ke-2 membuat waktu dan ruang semakin dekat dengan adanya mobil, Revolusi Industri 3.0 membuat waktu dan ruang tidak lagi berjarak. Karena itulah, Revolusi Industri 3.0 disebut juga dengan Revolusi Digital.
Kini dunia sedang menghadapi Revolusi Industri yang ke-4. Revolusi Industri 4.0 bermula di Jerman dan ditandai dengan penggunaan rekayasa intelegensia dan internet of things ke dalam sistem bernama smart factory. Revolusi Industri 4.0 merupakan era Cyber Physical Systems (CPS). CPS terdiri dari mesin pintar, sistem penyimpanan, dan fasilitas produksi yang mampu bertukar informasi secara mandiri, memicu tindakan, dan mengendalikan satu sama lain secara independen. Dapat dikatakan bahwa Revolusi Industri 4.0 merupakan efisiensi dari Revolusi Industri 3.0. Jika pada Revolusi Industri 3.0 mesin masih harus diotomatisasi oleh manusia, maka Revolusi Industri 4.0 tidak lagi memerlukan intervensi manusia dalam pengerjaan mesin.
Persiapan Indonesia Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Presiden RI Joko Widodo telah meresmikan peta jalan atau roadmap yang disebut Making Indonesia 4.0 pada April kemarin. Making Indonesia 4.0 merupakan roadmap yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era Industri 4.0. Untuk penerapan awal Industri 4.0, Indonesia akan berfokus di lima sektor manufaktur, yaitu industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia, dan industri elektronik.
Program Nawa Cita yang ke-6 adalah meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Hal ini sangat mungkin dicapai apabila Indonesia mampu mengimplementasikan Industri 4.0 dengan baik dan cepat ke dalam sistem perindustrian negara. Adanya Industri 4.0 akan membawa produksi ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Dengan hasil produksi yang jauh lebih besar, supply dapat memenuhi demand konsumer. Namun, besarnya supply dan demand akan sia-sia tanpa logistik yang mampu menunjang.
Salah satu program prioritas pemerintah pada 2019 adalah pengurangan kesenjangan antarwilayah melalui penguatan konektivitas dan kemaritiman. Lebih lanjut, pelaksanaan program tersebut adalah dengan melakukan peningkatan sistem logistik, peningkatan konektivitas serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK), disertai percepatan pembangunan daerah tertinggal dan desa. Hal ini sekaligus guna mewujudkan program Nawa Cita yang ke-3, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Sistem Logistik untuk Mendukung Revolusi Industri 4.0
Clapeyron berkesempatan untuk mewawancarai Hafida Fahmiasari, seorang Port Economist di Royal HaskoningDHV untuk membahas kondisi sistem logistik di Indonesia. Menurut Hafida, saat ini Indonesia sedang banyak berbenah di bidang logistik. Tidak hanya di infrastruktur, tetapi juga di sistemnya.
Salah satu rencana yang sedang digencarkan oleh Pemerintah adalah program Tol Laut. Tujuan program ini adalah mengadakan jasa pelayaran terjadwal dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi, program ini membutuhkan waktu yang lama untuk bisa terwujud karena membutuhkan adanya keseragaman fasilitas pelabuhan, peralatan, dan sumber daya manusia di semua pelabuhan utama yang akan disinggahi Tol Laut.
Berhubungan dengan tol laut, saat ini terdapat Pelabuhan Kuala Tanjung di Selat Malaka yang digadang-gadang dapat menjawab permasalahan kegiatan ekspor-impor Indonesia. Selama ini, kegiatan ekspor-impor harus melewati Port of Singapore terlebih dahulu karena kapasitas pelabuhan di Indonesia yang kecil.
Namun, Hafida berpendapat, dalam waktu dekat Kuala Tanjung tidak akan bisa mengalahkan Singapura jika masih memiliki pasar yang sama. Hal ini dikarenakan peralatan dan tarif pelabuhan-pelabuhan Indonesia yang tidak kompetitif. Sebagai contoh, tarif labuh di pelabuhan kita masih sangat tinggi untuk kapal-kapal internasional, sebaliknya sangat rendah untuk kapal domestik.
Selain itu, alat bongkar muat di Kuala Tanjung masih terbatas. Tidak efisiennya kegiatan bongkar muat akan menjadi hal yang dihindari bagi para pemilik kargo maupun kapal. Industri pelayanan di pelabuhan untuk kebutuhan bunkering, seperti pengisian bahan bakar, juga harus diperkuat.
Selain itu, pemerintah juga telah berupaya menyelaraskan rancangan cetak biru tiga moda transportasi pengangkutan barang (darat, laut, dan udara) dalam Sistem Logistik Nasional. Saat ini, arus barang masih didominasi jalan raya dengan pangsa 92%, laut sebesar 7%, dan kereta api hanya sebesar 1%. Oleh sebab itu, Pemerintah berusaha untuk memperkuat sistem logistik di kereta api, misalnya, dengan mengaktifkan jalur logistik yang dulu pernah digunakan dan menambah beberapa jalur baru.
Untuk menunjang Industri 4.0 di dunia logistik, menurut Hafida, pelaku usaha harus dapat menyinkronisasi data mereka dengan kebutuhan pelanggan. Misalnya, dalam bidang pergudangan, pemilik gudang dan pengguna harus bisa mengoptimasi tata letak kargo, jadwal refilling gudang, dan sinkronisasi jadwal pengantaran atau pengambilan barang dari/ke gudang.
Hal tersebut merupakan hal dasar yang sangat penting untuk dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia. Perubahan sekecil ini dapat berkontribusi terhadap berkurangnya kemacetan, naiknya kepercayaan konsumen, dan menurunnya biaya logistik.
Tulisan oleh Alvinson