Mungkin masih terngiang di benak masing-masing bagaimana hujan mengguyur wilayah Jabodetabek pada awal dekade. Untuk mengurangi dampak negatif bencana banjir serupa, perlu dilakukan peninjauan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Saat ini, pemerintah sedang bersinergi dengan berbagai pihak untuk memperbaiki kerusakan infrastruktur dan membenahi kerusakan yang terjadi.
Kali ini, Clapeyron akan membahas lebih lanjut mengenai penanganan jangka panjang terhadap bencana banjir. Satu kata untuk tajuk ini adalah mitigasi. Apa yang dimaksud dengan mitigasi bencana? Dalam mitigasi bencana banjir, terdapat tiga langkah penanganan yang perlu dilakukan, yaitu mengidentifikasi daerah rawan bencana, mengenali penyebab bencana, dan melakukan mitigasi bencana secara struktural dan non-struktural.
Pertama, identifikasi daerah rawan bencana. Kita mengambil kasus bencana banjir yang baru saja terjadi di daerah Jabodetabek pada awal dekade. Hujan mengguyur wilayah Jabodetabek sejak Selasa (30/12/2019), sempat berhenti tengah malam, dan kembali turun hingga keesokan harinya. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga saat ini, setidaknya terdapat 169 titik banjir di Jabodetabek dan Banten. Secara geografis, Jakarta berada di bidang datar sehingga sulit jika hanya bergantung pada sistem kanal yang mengandalkan gravitasi. Di sisi lain, Jakarta hampir tidak ada ruang terbuka hijau bagi air untuk menyerap sebelum dialirkan ke laut.
Kedua, mengenali penyebab bencana alam. Faktor apa saja yang menyebabkan banjir Jabodetabek 2020? Banjir di wilayah Jabodetabek sejatinya tidak memiliki faktor penyebab tunggal, tetapi dikaji lewat dua sudut pandang, yaitu kondisi iklim saat ini dan tata guna lahan, baik di hulu maupu di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS).
Mengenai kondisi iklim, analisis statistik data series 150 tahun Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan seperti periode ulang kejadian 2014, 2015 dan awal tahun 2020 di Jakarta menunjukkan peningkatan 2-3% bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.
Mengenai tata guna lahan, resapan air di selatan Jakarta atau bagian hulu (Bogor dan Depok) sangat minim jumlahnya. Di Bogor dan Depok, terjadi perubahan tata guna lahan DAS menjadi perumahan. Sedangkan, Daerah Depok juga mengalami peningkatan jumlah populasi sebesar 3,5 persen. Pada tahun 2019, jumlah penduduk mencapai 2,254,513 jiwa. Perubahan ahli fungsi lahan yang berlangsung cepat menyebabkan kemampuan daya resap sistem Daerah Aliran Sungai di Jabodetabek terhadap air hujan menjadi menurun.
Ketiga, melakukan mitigasi bencana berupa pencegahan bencana dan kegiatan kesiapsiagaan secara struktural dan non-struktural. Secara struktural, pembangunan infrastruktur yang rentan terhadap banjir dapat dilakukan. Misalnya, meninggikan lantai bangunan di atas muka air banjir, bangunan penahan banjir, atau membangun infrastruktur yang mampu menahan rembesan air tanah. Pengurangan potensi besaran bahaya secara struktural dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu:
Bagian hulu
- Dinding penahan dan tanggul di sepanjang sungai
- Membangun daerah resapan berupa lubang peresapan (biopori) atau kolam retensi penampung air untuk mengembalikan sejumlah fungsi lahan yang saat ini peruntukkannya sebagai gedung
- Pembangunan waduk untuk mengatur aliran air
- Pembangunan sistem pintu air
- Peningkatan vegetasi penutup untuk memperlambat aliran air permukaan surface run-off
- Pembangunan sistem drainase, dapat berupa alur sungai baru atau sistem drainase pipa untuk mengurangi beban sungai
Bagian hilir
- Membangun daerah resapan berupa lubang peresapan (biopori) atau kolam retensi penampung air untuk mengembalikan sejumlah fungsi lahan yang saat ini peruntukkannya sebagai gedung
- Saluran drainase air hujan perkotaan untuk meningkatkan kapasitas pembuangan air berlebih
- Pembangunan gundukan pasir (sand-dunes)
- Pemecah gelombang dan dinding laut sepanjang pantai untuk mencegah air laut masuk dan keluar dari bantaran banjir
Secara non-struktural, mitigasi dilakukan dengan mengontrol penggunaan lahan dan tata ruang, salah satunya adalah melalui regulasi. Salah satu contohnya, Pergub Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sumur Resapan dan Kepgub Nomor 279 Tahun 2018 tentang Tim Pengawasan Terpadu Penyediaan Sumur Resapan dan Instalasi Pengolahan Air Limbah Serta Pemanfaatan Air Tanah di Bangunan Gedung dan Perumahan.
Mitigasi bencana sejatinya merupakan tanggung jawab berbagai pihak, termasuk elemen masyarakat sebagai subjek dan pemerintah sebagai regulator sekaligus eksekutor. Jika penanggulangan banjir sudah baik, infiltrasi di hulu maksimal, drainase dan daerah resapan air hujan mumpuni di hilir, waduk dan pintu air berfungsi secara optimal, maka risikonya bisa diminimalisasi.
Tulisan oleh Ria Verensia
Data oleh Yustina
Gambar oleh Elvira Apriana