Menengok kembali sejarah Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Hardiknas diperingati untuk mengenang perjuangan Ki Hadjar Dewantoro yang tidak kenal lelah dalam memperjuangkan keadilan agar pribumi dapat mengenyam pendidikan yang layak. Pada masa kini, kemudahan dalam menempuh jenjang pendidikan sudah jauh lebih baik dibandingkan pada masa lampau. Namun, apakah kita sudah benar-benar mencapai keadilan dalam pendidikan?
Disparitas bukan lagi merupakan kata yang asing terdengar di telinga, apalagi bila disangkutpautkan dengan pendidikan. Pendidikan di Indonesia sudah dapat dibilang cukup baik, tetapi belum yang terbaik. Perbedaan yang sangat signifikan dalam pendidikan masih dapat dirasakan bila kita mau membuka mata dan menelusurinya dengan lebih dalam.
Fasilitas, sarana, dan prasarana merupakan komponen pendukung penting dalam pendidikan yang pada realitanya belum dapat diwujudkan secara merata di Indonesia. Pada 2019, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar 492,5 triliun rupiah atau sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Walau pemerintah telah mencurahkan dana bantuan yang besar, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua sekolah memiliki fasilitas, sarana, dan prasarana yang layak untuk mendukung berjalannya proses pendidikan di sekolah tersebut.
Ketika mayoritas siswa di perkotaan dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah yang nyaman dan memiliki fasilitas penunjang yang cukup, masih banyak siswa di daerah lain yang belum bisa merasakan kenikmatan yang sama. Hal ini dapat diamati dengan jelas, mulai dari tidak adanya buku sebagai bahan ajar, minimnya infrastruktur akses menuju sekolah, hingga kondisi bangunan yang tidak layak untuk digunakan.
Ditinjau dari aspek peserta didik, setiap siswa pasti memiliki perbedaan. Pada hakikatnya, tujuan siswa menempuh pendidikan di sekolah adalah untuk belajar dan meningkatkan kemampuannya. Namun, realitanya setiap siswa diselimuti oleh latar belakang yang berbeda-beda, khususnya bila ditinjau dari kondisi sosial dan ekonominya.
Dengan biaya pendidikan yang terbilang tidak murah, belum tentu semua siswa dapat menempuh pendidikan dengan baik hingga lulus. Walau bukan satu-satunya alasan, banyak sekali siswa yang putus sekolah oleh karena tidak mampu untuk membayar biaya pendidikan, baik biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) maupun dana informal lainnya. Ketidakmampuan untuk membayar tersebut sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan keluarga tiap siswa. Hal ini pun ditegaskan oleh Pusat Data Statistik Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tahun 2019/2020 yang menyatakan bahwasanya terdapat lebih dari 157.000 siswa Indonesia dari jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang putus sekolah.
Memang pemerintah sudah membebaskan SPP bagi siswa di sekolah negeri. Namun, kita tertampar oleh realita bahwa dengan adanya sekolah favorit —di mana mayoritas sekolah favorit adalah sekolah negeri—, siswa yang kurang mampu pada akhirnya harus bersekolah di sekolah swasta dengan biaya yang lebih mahal karena sekolah negeri telah terisi oleh siswa dengan latar belakang ekonomi yang relatif lebih baik. Padahal, untuk bersekolah di sekolah swasta, siswa harus membayar uang pangkal hingga jutaan rupiah dan SPP sebesar ratusan ribu rupiah setiap bulannya. Biaya tersebut bukan merupakan angka yang kecil.
Dengan adanya pemberlakuan sistem seleksi menggunakan Nilai Ujian Nasional (NUN) untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, siswa berlomba-lomba untuk memeroleh NUN yang terbaik agar mereka bisa diterima di sekolah favorit yang mereka inginkan. Siswa pun berbondong-bondong mengikuti kegiatan bimbingan belajar di luar pendidikan formal sekolah dengan biaya bimbingan belajar yang tidak murah. Bimbingan belajar memang dapat meningkatkan kemampuan dan ketelitian siswa dalam mengerjakan Ujian Nasional (UN), tetapi tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk dapat mengikutinya. Pada akhirnya, siswa yang tidak mampu untuk mengikuti bimbingan belajar pun bisa kalah bersaing dalam NUN sehingga tidak dapat diterima di sekolah favorit, bahkan di sekolah negeri.
Adanya sekolah favorit dan non-favorit ini merupakan salah satu akar permasalahan ketimpangan dalam bidang pendidikan. Dengan mayoritas sekolah favorit berada di daerah perkotaan, guru sebagai pendidik pun juga tertumpuk di daerah perkotaan. Padahal, guru memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan. Guru yang menumpuk di daerah perkotaan juga menyebabkan adanya kekurangan guru yang berkualitas dan berkompetensi untuk mengajar di daerah pelosok. Tentunya, hal ini sangat berdampak pada kompetensi lulusan sekolah.
Pemerintah sudah mulai melakukan banyak hal untuk mengatasi disparitas pendidikan yang terjadi di Indonesia, mulai dari pengadaan dana dengan nominal yang besar, hingga usaha untuk memeratakan guru dengan redistribusi guru. Sistem zonasi untuk mengatasi ketimpangan dalam hal sekolah favorit dan non-favorit pun sudah mulai diterapkan di berbagai daerah di Indonesia, walaupun dalam pelaksanaannya masih banyak yang harus dievaluasi dan dibenahi.
Usaha-usaha pemerintah tersebut tercermin dalam salah satu misi Kemdikbud yang berbunyi “Mewujudkan Akses yang Meluas, Merata, dan Berkeadilan.” Namun, kembali lagi pada pertanyaan kita di awal, apakah saat ini kita sudah benar-benar mencapai keadilan dalam pendidikan?
Tulisan oleh Andrea Wibowo
Gambar oleh Setiawan Nugroho