Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) saat ini sedang menggencarkan proyek pembangunan infrastruktur jalan tol, diantaranya jalan tol Yogyakarta-Bawen dan jalan tol Solo-Yogyakarta-Yogyakarta International Airport (YIA). Pembangunan tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 109/2020 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Nantinya, dua ruas jalan tol tersebut akan terhubung dengan jalan tol Semarang-Solo yang telah beroperasi sejak 2011. Ketiga tol tersebut diyakini mampu meningkatkan konektivitas tiga kota yakni Yogyakarta, Solo, Semarang (Joglosemar) dan membentuk kawasan segitiga emas dengan menghubungkan tiga bandara, yakni YIA, Adi Soemarmo, dan Ahmad Yani.
Keberadaan tol ini diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan pariwisata, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, juga berharap pembangunan jalan tol dapat menjadi salah satu pendorong Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di masa pandemi Covid-19.
-Proyek Jalan Tol Solo-Yogyakarta-YIA-
Proyek jalan tol Solo-Yogyakarta-YIA memiliki panjang ruas jalan 96,57 km dengan perkiraan investasi senilai Rp 26,6 triliun. Kementerian PUPR telah menetapkan pemegang proyek ini adalah konsorsium PT Jogjasolo Marga Makmur yang terdiri dari PT Daya Mulia Turangga-PT Gama Group sebesar 51 persen, PT Jasa Marga (Persero) Tbk sebesar 25 persen, dan PT Adhi Karya (Persero) sebesar 24 persen. Penandatanganan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dilakukan pada Rabu (9/9/20).
Proyek Jalan Tol Solo-Yogyakarta-YIA dirancang melewati dua provinsi, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang 60,93 km dan Jawa Tengah sepanjang 35,64 km. Tahap pembangunan ruas jalan tol dibagi menjadi tiga seksi yaitu: seksi I Kartasura-Purwomartani sepanjang 42,37 km; seksi II Purwomartani-Gamping sepanjang 23,42 km; dan seksi III Gamping-Purworejo sepanjang 30,77 km.
Tahapan pembangunan tol seksi pertama telah dimulai, diawali dari dua arah sekaligus, menghubungkan Kartasura dan Purwomartani. Nantinya, kedua titik tersebut akan bertemu di wilayah Klaten. Sedangkan proses pembangunan untuk seksi kedua dan ketiga saat ini masih belum dimulai.
Terdapat sembilan simpang susun (SS) dan satu persimpangan yang direncanakan. Kesembilan simpang susun tersebut adalah SS Kartasura, SS Karanganom, SS Klaten, SS Prambanan dan Manisrenggo, SS Purwomartani, SS Gamping, SS Sentolo, SS Wates, serta SS YIA. Sedangkan satu persimpangan tersebut merupakan Persimpangan Sleman yang mempertemukan antara jalan tol Solo-Yogyakarta-YIA dengan tol Yogyakarta-Bawen.
Desain struktur ruas jalan tol akan dibuat melayang (elevated) di sepanjang Selokan Mataram, Ring Road Utara, dan Ring Road Barat Yogyakarta. Proyek tol ini ditargetkan beroperasi secara bertahap pada 2023 dan rampung pada 2024.
-Permasalahan Pembebasan Lahan dan Imbas Tol bagi Masyarakat-
Saat ini pembangunan pada seksi I sudah memasuki tahap pembebasan lahan. Dana senilai Rp 1,3 triliun dialokasikan untuk pembebasan lahan jalan tol Solo-Yogyakarta-YIA. Sebanyak 294 bidang tanah telah dimusyawarahkan. Pada tahap pertama, 50 pemilik bidang tanah diusulkan ke Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). Namun setelah validasi berkas dilakukan, hanya 25 pemilik yang disetujui untuk menerima pembayaran pada Jumat (8/1).
Dilansir dari kompas.com, Direktur Utama PT Jogjasolo Marga Makmur, Adrian Priohutomo, memastikan akan menghindari sistem konsinyasi dalam proses pengadaan lahan. Konsinyasi merupakan penitipan uang ganti rugi dalam pengadaan tanah di pengadilan. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2007, sistem konsinyasi dilakukan apabila pemilik menolak besarnya ganti rugi, yang berhak atas ganti rugi tidak diketahui keberadaannya, atau obyek sedang menjadi perkara. Sistem ini biasanya dilakukan supaya tidak menghambat pelaksanaan pembangunan proyek.
Meskipun begitu, Adrian mengakui bahwa pihaknya menggunakan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai landasan kerja dalam pengadaan tanah. Di dalam UU tersebut turut diatur persoalan mengenai konsinyasi.
Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan semestinya. Hal ini dibuktikan dengan adanya warga Kalasan yang memiliki tanah pekarangan di Desa Somopuro, Jogonalan, Klaten, memprotes proses penetapan ganti rugi bagi pemilik tanah. Warga melayangkan surat ke Kantor Staf Presiden sebagai bentuk protes pada Selasa (12/1).
Musyawarah ganti rugi dinilai tidak sesuai dengan pasal 37 UU No. 2 Tahun 2012, yang didalamnya tertulis bahwa ganti rugi dilakukan dengan musyawarah antara lembaga berwenang dan pihak yang berhak (warga). Seharusnya, musyawarah dapat dilakukan paling lama 30 hari. Namun pada praktiknya, yang terjadi justru masyarakat diberi amplop tertutup dengan nilai besaran ganti rugi. Apabila tidak menerima, maka akan dilakukan konsinyasi.
Sejumlah warga Dukuh Temanggal 1 juga menolak besaran nilai ganti rugi tanah proyek tol. Tanah yang dihargai senilai harga pasar saat ini menjadi alasan utama penolakan warga. Sebab warga merasa kesulitan mencari lahan pengganti apabila nilai ganti rugi cenderung rendah.
Lagi-lagi tindakan pemerintah dapat dinilai sebagai tindakan yang mencederai keadilan masyarakat, terlebih persoalan mengenai konsinyasi. Bagaimana tidak? Walaupun penilaian tersebut tergantung dari persepsi yang diangkat, dari sudut pandang pemerintah pembebasan lahan diartikan sebagai kepentingan nasional. Namun, bagi sebagian masyarakat pembebasan hak atas tanah dianggap lebih menguntungkan pihak lain, seolah-olah masyarakat hanya memiliki satu pilihan yakni menerima uang ganti rugi dari pengadilan atau kehilangan hak atas tanahnya tanpa ganti rugi.
Selain permasalahan terkait agraria, pembangunan tol juga dapat menimbulkan persoalan bagi beberapa pelaku ekonomi. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, pedagang di sepanjang jalur Pantura sempat mengeluhkan penurunan omzet yang cukup drastis setelah dioperasikannya Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) dan Tol Trans Jawa lainnya. Sebagian toko-toko bahkan sudah tutup karena bangkrut.
Lantas, bagaimana nasib industri perdagangan di wilayah Yogyakarta-Solo yang akan dilalui tol? Apakah pemerintah sudah mengantisipasi atau menyusun rencana relokasi, mengingat banyaknya pedagang di sepanjang Ring Road dan Jalan Solo? Apakah pemerintah bersedia menanggung kerugian apabila terjadi dampak buruk pada masyarakat?
Selain itu, seberapa efisien peningkatan distribusi logistik dengan jalan tol patut dipertanyakan. Apakah tujuan tol tersebut dapat terpenuhi bila tarif tol yang dipatok cukup mahal? Banyak timbul pertanyaan yang kemudian mengarahkan kita pada pertanyaan utama: Apakah sebetulnya pembangunan Tol Solo-Yogyakarta-YIA merupakan solusi yang tepat sasaran untuk kondisi saat ini?
-Pandangan Akademisi-
Menurut Dewanti, Dosen Transportasi di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, pembangunan tol Solo-Yogyakarta-YIA akan mempermudah akses menuju bandara maupun kota-kota lain. Dengan prinsip meminimalkan pembebasan lahan, struktur elevated digunakan dalam proyek tol ini. Apalagi Yogyakarta memiliki kebijakan mempertahankan luasan tanah untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Sehingga, tidak mudah untuk membuka lahan produktif di Yogyakarta.
Dalam Rencana Induk Transportasi (RIT) di Yogyakarta, diprediksikan kemacetan akan berdampak 33 persen pada ruas jalan tol di Yogyakarta tahun 2022 dan 50 persen pada tahun 2027. Terkait hal tersebut, Dewanti juga memberikan pandangannya bahwa secara umum kemacetan sudah terjadi di Yogyakarta.
Menurut Dewanti, adanya jalan tol memang berpotensi menimbulkan kemacetan khususnya di zona exit dan entry dari tol. Arus lalu lintas di daerah ramai, seperti Jombor dan Jalan Kaliurang, perlu diwaspadai karena titik keluar masuk jalan tol dapat menimbulkan antrian kendaraan yang turut memperparah kemacetan di daerah tersebut. Adanya jalan tol yang mempermudah akses melalui jalan darat juga dapat mendorong masyarakat menggunakan kendaraan pribadi sehingga menyebabkan kenaikan beban lalu lintas di Yogyakarta.
Kegiatan pada masa konstruksi pasti juga menimbulkan kemacetan. Untuk meminimalkan permasalahan tersebut, Dewanti menyarankan untuk melakukan pengalihan arus lalu lintas, mengadakan sosialisasi kepada masyarakat sejak jauh hari, meningkatkan penerangan malam hari, serta memberikan rambu-rambu yang berulang dan jaraknya tidak dekat dengan lokasi konstruksi. Harapannya, masyarakat bisa lebih sadar, mawas diri, dan dapat menghindari terjadinya kecelakaan.
Dewanti juga mengatakan bahwa salah satu karakteristik jalan tol adalah pengguna tidak bisa berhenti di sembarang tempat, seperti saat menggunakan jalan umum. Pengguna jalan tol hanya dapat berhenti pada fasilitas yang sudah disediakan, yakni rest area. Selain berperan sebagai tempat pemberhentian kendaraan, rest area dapat berperan sebagai tempat untuk meningkatkan industri perdagangan.
Uniknya, pada tol wilayah Yogyakarta sengaja tidak menggunakan rest area. Hal itu ditujukan agar pengguna tol dapat langsung keluar tol dan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar tol. Sebab pengembangan kawasan exit tol juga dapat membantu ekonomi industri mikro.
Bagi Dewanti, dalam jangka pendek kontribusi jalan tol terhadap PEN tidak terlalu besar. Pada masa konstruksi memang akan ada pergerakan ekonomi masyarakat karena adanya keterlibatan masyarakat setempat untuk bekerja. Namun, hal itu dirasa kurang signifikan. Sedangkan dalam jangka panjang, tol akan membuka dan memudahkan akses terutama untuk distribusi logistik. Dengan harapan, transport cost barang dapat ditekan dan harga barang akan lebih terjangkau.
Akan tetapi, perlu diteliti lebih lanjut mengenai seberapa besar dan cepat peran tol terhadap PEN serta dampak lalu lintas pergerakan barang. Menilik tarif tol Trans Jawa yang cukup mahal, yakni mencapai lebih dari Rp 1.000/km, hal tersebut dapat berdampak pada harga barang.
“Prinsip jalan tol adalah jalan alternatif. Masyarakat akan diberi pilihan, ingin melalui jalan tol atau jalan umum? Jika memilih jalan tol, maka pengguna wajib membayar”, ungkap Dewanti. Masih banyak angkutan barang yang rela menggunakan jalan umum karena dirasa tarif jalan tol cukup mahal. Sebetulnya hal ini tergantung dari jenis barang yang diangkut, apabila nominal barang tinggi, maka melalui jalur tol akan menjadi relatif lebih murah. Lagipula, keamanan dan kecepatan distribusi juga menjadi lebih tinggi.
Meskipun demikian, Dewanti berharap agar tarif jalan tol bisa menjadi lebih murah. Sehingga, semakin banyak kendaraan angkutan logistik, harga barang semakin rendah, jalan umum menjadi lebih lancar, dan sesuai dengan salah satu tujuan dibangunnya jalan tol yakni sebagai pendorong PEN.
Data oleh Salma Putri Afida
Tulisan oleh Amalia Ramadhani
Gambar oleh Nibroos Muhammad Nashshoor