Beranda Opini Mural : Media Bebas Berekspresi yang Dibungkam dari Eksistensi

Mural : Media Bebas Berekspresi yang Dibungkam dari Eksistensi

oleh Redaksi


“In art, what we want is the certainty that one spark of original genius shall not be extinguished.” – Mary Cassatt

Dari kutipan Mary Cassatt di atas, dapat kita ketahui bahwasannya kejeniusan yang terdapat pada seni seharusnya tidak boleh padam. Dalam artian lain, ekspresi yang dituangkan dalam seni seharusnya diindahkan, bukan dibungkam. Hal ini tentu sangat berkaitan erat dengan apa yang terjadi baru-baru ini, yakni mengenai penghapusan mural yang dinilai menghina presiden dan mengkritik pemerintah.

Salah satu mural yang menjadi sorotan publik ialah mural “Jokowi 404 : Not Found” di Batuceper, Tangerang. Mural tersebut dihapus pada Jumat (13/8/2021) oleh petugas keamanan. Aparat mengatakan bahwa penghapusan mural tersebut didasari oleh pengertian bahwa presiden adalah lambang negara yang harus dihormati. Tak hanya penghapusan mural, sang pelukis “Jokowi 404 : Not Found” pun juga sempat diburu aparat kepolisian meski ujungnya tidak ditindaklanjuti karena tidak memenuhi unsur pidana.

Penghapusan terhadap mural lainnya juga terjadi di berbagai wilayah. Mural “Tuhan Aku Lapar” di kawasan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang juga dihapus oleh petugas. Selain itu, di kabupaten yang sama, mural bertuliskan “Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan” turut dihapus. Aparat berdalih bahwa mural tersebut dapat menimbulkan multitafsir dan merusak keindahan publik. Hal yang sama terjadi di kawasan Bangil, Kabupaten Pasuruan. Mural “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” juga menjadi sasaran penghapusan. Mural tersebut dinilai telah melanggar Pasal 19 Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat.

Apa yang terjadi baru-baru ini menimbulkan anggapan pemerintah yang antikritik dan menyisakan gelitik tanya bagi masyarakat mengenai kebebasan berekspresi. Apa yang melatarbelakangi masifnya mural yang bersifat ofensif terhadap pemerintah? Bolehkah melukis mural kritik? Apakah terdapat dasar hukum yang menjamin kebebasan berekspresi?
Berseminya Mural Kritik

Baru-baru ini masyarakat umum mulai mengenal dan memperhatikan mural sebagai praktik seni rupa yang menjamur. Perhatian tersebut tak ayal disebabkan oleh banyaknya mural yang terdapat di ruang-ruang publik. Mural tersebut bisa berupa mural 17-an, mural iklan, dan juga yang sedang banyak ditemukan sekarang, yakni mural kritik.

Di Indonesia sendiri, mural sudah ada semenjak masa perjuangan kemerdekaan. Kala itu, masyarakat Indonesia menjadikan mural sebagai bentuk perlawanan Indonesia terhadap penjajah sekaligus untuk membakar semangat juang rakyat Indonesia. Mural bertuliskan “Freedom is the Glory of Any Nation – Indonesia for Indonesians”, dan juga mural bertuliskan “Merdeka ataoe Mati” merupakan contoh dari banyak mural perjuangan di masa itu.

Pada masa sekarang, mural dilukis dengan berbagai tujuan di baliknya, tak hanya sekadar memenuhi gairah estetika pelukis. Tujuan itu mulai dari branding merek hingga media edukasi. Mural juga sering digunakan sebagai wadah kritik kepada penguasa karena merupakan salah satu bentuk ekspresi yang dapat memengaruhi para pengamatnya.

Yang menjadi pertanyaan banyak orang saat ini ialah mengapa banyak muncul mural yang mengkritik dan bersifat ofensif terhadap penguasa? Tentu hal ini sangat berhubungan dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini. Sangat pelik bila kita berpikir bahwa mural tersebut tidak menjamur akibat keadaan yang sedang terjadi di bumi pertiwi. Keadaan yang dimaksud ialah keadaan birokrasi yang sedang tidak baik-baik saja. Logisnya, bila penguasa menjalankan pemerintahan sesuai dengan yang diharapkan masyarakat, pastinya tidak akan muncul mural yang dianggap “kontroversial” ini.

Setiap karya mural muncul sebagai ekspresi dari fenomena sosial yang tengah terjadi di masyarakat. Adanya tindakan represif dari pemerintah terhadap mural yang banyak muncul menunjukkan bahwa pemerintah belum bisa menangkap substansi dari mural tersebut. Padahal, nilai substantial kritik tersebutlah yang seharusnya menjadi pusat perhatian pemerintah.

Sebagai contoh, mural bertuliskan “Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan” dapat bermakna bahwa masyarakat seolah dibiarkan berlomba-lomba mengais makanan. Pemerintah tidak mengimplementasikan UU Kekarantinaan di tengah mewabahnya pandemi yang berkelanjutan ini. Padahal, dalam UU Kekarantinaan, pemenuhan hak-hak masyarakat tercantum dalam Pasal 55 ayat (1) yang berbunyi, “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”. Mungkin inilah mengapa pemerintah tidak pernah menggunakan istilah karantina ataupun lockdown dalam kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat.

Bolehkah Mengkritik dalam Bentuk Mural?
Seiring bertambahnya jumlah mural kritik yang ada di ruang publik, bermunculan pula pertanyaan-pertanyaan. Apakah mural yang berisi kritik publik dilarang? Bukankah kritik merupakan hal yang positif? Hal ini berarti bahwa masyarakat masih peduli dengan birokrasi negara tercintanya. Masyarakat memiliki berbagai cara dan media dalam mengkritik pemerintah. Ada dalam bentuk demonstrasi, poster, tulisan, video, dan tak lain juga mural. Masyarakat mulai memilih mural sebagai media kritik karena dianggap lebih dapat menyuarakan pendapat di tempat yang lebih terbuka, yakni ruang publik.

Pada acara Peluncuran Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin 8 Februari 2021, Presiden Joko Widodo sendiri meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. “Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan,” terang Jokowi.

Sebagai tambahan, Kabareskrim Komjen Agus Andrianto mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya tidak berkenan bila polisi responsif menindak kritik yang dilayangkan melalui kesenian seperti mural. Agus juga menyampaikan bahwa melontarkan kritik terhadap pemerintah sebenarnya sah-sah saja. Akan tetapi, akan menjadi masalah apabila yang disampaikan adalah fitnah yang memecah belah persatuan dan kesatuan serta menyerang secara pribadi.

Dari hal di atas, bukankah terimplikasi bahwa kritik dalam bentuk mural itu diperbolehkan? Lagipula kritik merupakan hak warga negara untuk bebas berekspresi sehingga dapat disimpulkan bahwa kritik dalam bentuk mural sebenarnya sah-sah saja untuk dilakukan.

Ihwal Kaidah Hukum Kemerdekaan Berekspresi
Hukum bukanlah milik sang penguasa, melainkan milik rakyat. Penegakan hukum harus dilakukan berdasarkan asas persamaan di hadapan hukum, artinya setiap orang tak terkecuali tunduk pada hukum peradilan yang sama. Hukum juga seharusnya berperan untuk mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara legal dan etis. Akan tetapi, yang terjadi akhir-akhir ini dirasa sangat berbeda 180 derajat. Rakyat merasa hukum saat ini lebih dijadikan tameng untuk mengelak bahkan membungkam kritikan yang ditujukan kepada pemangku kebijakan.

Sementara itu, Indonesia sendiri merupakan negara yang menganut sistem demokrasi. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemegang kekuasaan tertinggi di negara demokrasi bukanlah pemerintah, melainkan rakyat. Kebebasan berekspresi merupakan pilar penting yang harus dijunjung tinggi dalam demokrasi. Oleh karena itu, negara harus menjamin perlindungan dan penegakan atas hak kemerdekaan berekspresi.

Di Indonesia, isu mengenai kebebasan berekspresi telah diatur dalam konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan juga dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Perlindungan kebebasan berpendapat diatur secara spesifik dalam UUD 1945 dan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yaitu
1. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
2. Pasal 1 ayat 1 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang berbunyi
“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan
dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”

Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwasannya dalam menyampaikan ekspresi bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, tidak hanya tulisan ataupun lisan saja. Ekspresi yang disampaikan pastinya membutuhkan ruang sebagai media ekspresi dari pendapat yang akan disampaikan. Maka dari itu, mural sebagai salah satu bentuk penyampaian ekspresi yang berada di ruang publik seharusnya dapat diterima dengan baik, bukan disingkirkan.

Mural Sebagai Simbol Kebebasan Berekspresi
Semerbaknya mural akan terus ada seiring berjalannya waktu. Mural tak mungkin tercipta dengan sendirinya, pasti ada sesuatu hal yang melatarbelakanginya. Kritik merupakan salah satu hal yang menjadi latar belakang. Oleh karena itu, mustahil kritikan dapat dihentikan jika persoalan utama dalam kritikan tersebut tidak menjadi perhatian utama dan segera diselesaikan.

Mural kritik sebagai salah satu bentuk ekspresi sangat dibutuhkan untuk pendewasaan demokrasi sekaligus berbangsa dan bernegara. Penghapusan mural bukanlah solusi atas menjamurnya mural kritik ini, melainkan justru memantik seniman lain untuk melakukan hal yang sama. Bukankah masih banyak hal yang jauh lebih urgen untuk diselesaikan daripada sekadar menghapus lukisan di dinding?

Tulisan oleh Alkansa Jesiro Syam
Data oleh Fahmi Muhammad Gibran
Ilustrasi oleh Crysanda Faza Kinanti

Artikel Terkait