Sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia, tidak heran jika aktivitas masyarakat DKI Jakarta sangatlah padat. Aktivitas yang padat ini berpengaruh pada besarnya pergerakan lalu lintas hingga akhirnya timbul berbagai persoalan transportasi, di antaranya adalah kemacetan. Berdasarkan Traffic Index Ranking 2020 oleh Tomtom International BV, Jakarta menempati urutan ke-31 sebagai kota termacet di dunia, bahkan pernah menempati urutan ke-4 pada tahun 2017.
Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah demi menurunkan angka kemacetan di Jakarta. Langkah terbaru yang akan dilakukan Pemerintah Ibu Kota Jakarta adalah dengan menerapkan kebijakan sistem jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Lantas, akankah kebijakan ERP menjadi solusi nyata kemacetan di Jakarta atau sekadar solusi sementara?
Sebelum munculnya rencana penerapan sistem ERP ini, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi kemacetan. Upaya-upaya itu antara lain adalah penerapan kebijakan 3 in 1, kebijakan ganjil genap, dan sejumlah konstruksi underpass ataupun flyover di beberapa titik jalan ibu kota.
Terhitung mulai tanggal 16 Mei 2016, Pemprov DKI Jakarta secara resmi menghapus kebijakan 3 in 1. Kebijakan ini mewajibkan setiap mobil pribadi dalam kawasan tertentu harus memiliki tiga atau lebih penumpang. Sudah cukup lama kebijakan ini diberlakukan, yaitu sejak tahun 1990-an. Kurangnya dukungan masyarakat terhadap peraturan pemerintah membuat ada saja kecurangan yang dilakukan oleh pengguna jalan. Tidak jarang ditemukan pengguna jalan yang menyewa jasa joki agar jumlah penumpang yang ada dalam kendaraan sesuai dengan peraturan 3 in 1 tersebut. Sebagai pengganti kebijakan 3 in 1, Pemprov DKI Jakarta mulai menerapkan sistem ganjil genap.
Penerapan kebijakan ganjil genap bertujuan untuk membatasi pengguna jalan dengan melihat nomor pelat kendaraannya. Hasil yang diharapkan adalah pengguna jalan berkurang separuh dari sebelumnya karena pembatasan. Namun, apa yang terjadi di lapangan seringkali tidak sesuai dengan harapan. Masih banyak masyarakat yang menyiasati aturan dengan membuat 2 pelat nomor (ganjil dan genap) untuk satu kendaraan. Selain itu, diduga ada praktik ilegal antara petugas dan pengguna jalan yang melanggar aturan sehingga kebijakan ini kurang efektif jika digunakan dalam jangka panjang. Ditambah lagi dengan sulitnya pengecekan pelat nomor secara visual yang membuat banyak kendaraan lolos pengecekan.
Tidak henti berusaha, Pemprov DKI juga membangun underpass dan flyover di beberapa titik untuk mengatasi kemacetan. Walaupun bisa mengurangi kemacetan di satu simpang, pembangunan ini juga berpotensi menambah kemacetan pada simpang lainnya yang belum siap menerima traffic flow tambahan. Konstruksi underpass dan flyover hanyalah solusi sementara untuk mengurangi kemacetan. Hal ini karena ruas jalan yang tertolong flyover akan kembali macet seiring waktu jika tingkat pembelian kendaraan pribadi Jakarta terus meningkat. Solusi ini justru menjadi bom waktu yang dapat memperparah kemacetan.
Telah banyak kebijakan yang diterapkan, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan harapan—pasalnya masih banyak kemacetan yang terjadi di Ibu Kota. Tidak hanya itu, menurut Institut Studi Transportasi (INSTRAN), jumlah pengguna kendaraan pribadi juga masih terbilang banyak, yaitu 96%. Maka dari itu, diharapkan kebijakan ERP ini dapat membuahkan hasil yang maksimal.
Road pricing adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana untuk menerapkan ERP di sejumlah ruas jalan protokol pada tahun 2023. Artinya, sistem ERP ini mulai dibangun pada tahun depan.
Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik Dinas Perhubungan DKI Jakarta Zulkifli menyatakan bahwa rencana penerapan ERP sudah masuk ke dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta (RITJ) dan akan dibahas pada tahun ini. Terdapat 18 koridor ruas jalan dengan panjang hampir 174,04 kilometer yang akan diterapkan sistem ERP.
ERP bertujuan untuk mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, dan mendorong penggunaan angkutan massal. Jika melihat dari sistem yang berlaku di Negara Singapura, ERP ini akan diterapkan di ruas jalan tertentu pada saat jam puncak. Setiap kendaraan harus membayar saat memasuki area tersebut pada jam kerja masyarakat yang terbilang padat.
Pemprov DKI Jakarta berencana menerapkan sistem ERP dengan tarif mulai dari Rp5.000 hingga Rp19.900 untuk satu kali melintas. Harga ini tentu lebih mahal dari penggunaan angkutan umum yang hanya merogoh kocek sebanyak Rp3.500. Harapannya, para pengguna kendaraan pribadi akan keberatan mengeluarkan uang untuk ERP dan memilih menggunakan angkutan umum sehingga terjadi pengurangan kepadatan lalu lintas.
Hasil penerimaan dari penerapan Sistem ERP ini akan digunakan hanya untuk biaya peningkatan pelayanan angkutan umum massal berbasis jalan dan peningkatan kinerja lalu lintas atau kebijakan earmarking. Hal ini sekaligus dapat menarik minat masyarakat DKI Jakarta untuk menggunakan kendaraan umum karena fasilitas yang akan meningkat seiring waktu.
Jika tujuan sistem ERP—yaitu pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum—telah tercapai, akan didapatkan keuntungan lainnya dari berbagai sektor. Pada sektor lalu lintas, keuntungan yang didapat antara lain adalah mengurangi kemacetan sehingga waktu tempuh perjalanan menjadi lebih singkat serta meningkatkan keselamatan lalu lintas. Pada sektor lingkungan, keuntungannya adalah mengurangi kebisingan yang dihasilkan kendaraan dan menurunkan tingkat polusi udara dari asap kendaraan.
Di sektor hukum, dengan tersedianya kamera CCTV sebagai pelengkap kebijakan ERP maka penegakan hukum pengguna jalan dapat dilakukan secara elektronik. Penggunaan perangkat elektronik juga membuat sistem ERP dapat memangkas birokrasi peradilan hukum terkait pelanggaran lalu lintas serta meningkatkan ketertiban masyarakat terhadap kebijakan. Untuk sektor transportasi sendiri, keuntungannya adalah meningkatkan kinerja lalu lintas jalan dan mewujudkan tarif angkutan umum massal yang lebih terjangkau. Dengan melihat adanya banyak manfaat di berbagai sektor, sistem ERP ini layaknya pepatah “Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”.
Namun tentu saja, untuk mendapatkan hasil yang maksimal diperlukan usaha yang keras pula. Tujuan sistem ERP yang diinginkan dapat tercapai apabila sistem ini berjalan baik bersama dengan faktor-faktor pendukung dan kesiapan lainnya. Salah satu faktor sukses berjalannya ERP adalah kondisi angkutan umum yang baik. Kondisi ini harus diperhatikan karena akan memengaruhi beralihnya pengguna jalan ke angkutan umum.
Dr. Ir. Dewanti, MS., salah satu dosen DTSL UGM, berpendapat bahwa sistem ERP ini efektif untuk mengurangi kemacetan dan menggantikan kebijakan ganjil genap. Dengan catatan, faktor penunjang dan kesiapannya sudah terpenuhi. Ia juga menambahkan, penggunaan sistem ERP ini akan efektif jika diberlakukan untuk satu kawasan, tidak hanya pada satu ruas jalan tertentu.
Melihat keuntungan yang akan didapatkan jika menerapkan sistem ERP maka tidak ada salahnya apabila sistem ini juga diterapkan pada kota-kota besar di Indonesia atau dalam skala nasional. Dewanti menyatakan, “Tentunya harus melihat dari kasus per kasus seperti tingkat kemacetan dengan kondisi jalan, kesiapan masyarakat terkait perekonomian untuk jalan berbayar, kondisi struktur transportasi, dan yang terpenting melihat kondisi keuangan daerah dan SDM-nya. Menurut saya, tidak perlu latah harus mengadopsi sistem ERP di daerah lain, dilihat dahulu dari kasus per kasus tingkat kemacetan dan pelayanan jalannya seperti apa. Jangan tergiur dengan income atau uang yang masuk, tetapi tetap disesuaikan dengan kesiapan dan kebutuhan wilayahnya seperti apa.”
Diberlakukannya ERP tidak dimungkiri dapat menimbulkan resiko besar penumpukan kendaraan pada jalan yang tidak berbayar. Namun, hal ini dapat dicegah dengan memperhatikan peraturan terkait ruas jalan alternatif. Menurut penulis, ERP termasuk solusi yang baik untuk mengatasi kemacetan. Namun, seperti kebijakan-kebijakan lainnya, ERP masih termasuk solusi sementara karena faktor utama kemacetan adalah banyaknya penggunaan kendaraan pribadi oleh masyarakat. Solusi akhir dari kemacetan adalah meningkatkan penggunaan angkutan umum yang sejalan dengan peningkatan baik sarana maupun prasarana berkat hasil dana yang diperoleh dari ERP.
Jika meninjau kepadatan aktivitas dan mobilitas masyarakat DKI Jakarta, mengatasi masalah kemacetan di Ibu Kota memang seperti mengurai benang kusut. Pemerintah dan masyarakat haruslah bekerja sama untuk mengatasi masalah kemacetan ini sehingga kebijakan yang diterapkan dapat berjalan dengan efektif. Hingga kelak, saat sistem sudah berjalan lancar, kebijakan tersebut akan membuahkan tujuan yang diharapkan.
Tulisan oleh Liveta Nissi Ramadhanti
Data oleh Bhre Padantya Noor
Ilustrasi oleh Muhammad Iqbal Bai