20 Oktober 2014 adalah hari bersejarah, momen ‘dikawinkannya’ pemerintahan Jokowi-JK. Hari ini tepat 2 tahun eksekutif tertinggi Negara kita dikendalikan oleh beliau-beliau dengan Kabinet Kerjanya. Entah itu diperingati sebagai perayaan, atau justru sebagai akumulasi dari tuntutan-tuntutan 2 tahun ke belakang. Realitanya mungkin tidak semua orang berpendapat sama bagaimana pemerintahan Presiden Jokowi sudah berjalan sejauh ini, mengingat kebijakan yang diterapkan selalu menuai pro dan kontra dalam kesehariannya.
Sejenak melihat ke belakang, mungkin kita masih ingat ketika sedang riuh-riuhnya tahapan kampanye dalam proses pra pilpres. Jokowi-JK menawarkan gagasan andalan mereka yang dinamai dengan Nawa Cita. Program ini disebut-sebut sebagai sembilan agenda prioritas yang pro-rakyat dan sangat diidam-idamkan oleh masyarakat. Selain itu, citra Jokowi dimata masyarakat, sangat dekat dengan rakyat kecil dengan agenda blusukannya, bertegur sapa, dan bertatap muka langsung dengan masyarakat saat beliau masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta bahkan ketika masih memangku jabatan sebagai walikota Solo. Belum lagi persepsi kebanyakan masyarakat yang menganggap pemerintahan sebelumnya terkesan kapitalistik dan gagal dalam pemberantasan korupsi sehingga Nawa Cita dianggap tepat hadir di tengah krisis mentalitas dan keruhnya sistem pemerintahan dengan permasalahan yang begitu kompleks. Dari sana masyarakat bisa mengkomparasikan dan kemudian memberikan ekspektasi yang tinggi dimana pada akhirnya Jokowi berhasil menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia
Menelisik lebih lanjut mengenai kebijakan-kebijakan yang dirintis oleh Jokowi sejauh ini dari sudut pandang masyarakat memang masih banyak kekurangan walau tidak sedikit terobosan sudah berhasil dijalankan. Banyak hal yang menjadi sorotan, terutama bidang ekonomi. Kebijakan kenaikan harga BBM di awal mula menjabat tak lama setelah dilantik sebagai Presiden, langsung meruntuhkan ekspektasi publik. Kritik, hujatan, rilis pernyataan sikap, dan penolakan-penolakan mulai bermunculan karena memang kebijakannya yang kontroversial dan dinilai tidak sesuai dengan asas ekonomi kerakyatan yang dijanjikan oleh Jokowi.
Nilai tukar rupiah yang tak stabil dan cenderung melemah dari waktu ke waktu pun berdampak pada harga bahan-bahan pokok yang semakin melambung tinggi. Hal ini lantaran ketergantungan impor yang lumayan tinggi sehingga perekonomian di pasar tidak berjalan semestinya. Memang, subsidi dari kenaikan harga BBM dapat memangkas 150 Triliun, mungkin juga pertumbuhan ekonomi tidak selalu mengalami tren negatif, tetapi ramahkah data yang ada dengan kondisi perekonomian rakyat saat ini? Sudahkah lapangan pekerjaan cukup tersedia? Kedaulatan ekonomi masih dianggap sebatas embel embel kampanye, mengingat tak sedikit korporat-korporat wal investor-investor asing yang menguras dan mengambil jatah makan rakyat di rumahnya sendiri.
Munculnya kegaduhan dalam lembaga tak ayal semakin melemahkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Mungkin Jokowi memang berhasil mengharmoniskan hubungan antara Istana dan Senayan. Tapi, tentu kita masih ingat konflik di antara dua lembaga yang seharusnya selaras dalam penegakan hukum di tubuh bangsa ini, siapa lagi kalau bukan Polri versus KPK. Kegaduhan yang tidak lebih penting dari tujuan kedua lembaga ini didirikan, kita saksikan setiap hari entah dari televisi ataupun media lainnya, cukup meresahkan memang. Akibatnya, kinerja dari lembaga tidak berjalan dengan semestinya karena konflik yang terjadi justru mengalihkan fokus lembaga daripada tupoksinya masing-masing.
Bagaimana masyarakat harus menanggapi keadaan yang demikian sementara pemerintah saja sulit mengatasi permasalahan yang tidak penting bagi kehidupan masyarakat. Sementara di sudut pandang lain, citra Jokowi secara pribadi justru terlihat garang dan tegas dalam urusan penegakkan hukum. Sudah berjilid-jilid eksekusi mati terhadap pengedar narkoba yang keluar masuk berkeliaran di Indonesia, pun berpuluh-puluh grasi dari terpidana di tolak. Namun, tetap saja, selalu menuai pro dan kontra. Mungkin di satu sisi kebijakan hukuman mati dianggap dapat mengurangi peredaran narkoba di Indonesia, tapi di sisi lain, eksekusi mati adalah pelanggaran kemanusiaan. Selain itu dari banyak kasus yang terjadi, beberapa dinilai tidak tepat sasaran apabila dijatuhi hukuman mati. Publik pun mulai meragukan apakah hukuman mati memang sebuah bentuk ketegasan atau hanya sekedar bentuk ketakutan terhadap statistik data penyalahgunaan narkoba, sehingga seseorang yang sekadar dimanfaatkan pun turut terancam dieksekusi mati. Padahal, melihat kasus lain seperti korupsi, tetap saja sulit diatasi lantaran masih adanya kongkalikong hukum.
Sementara, di sisi infrastuktur, sejauh ini progres pembangunan bisa dikatakan stabil, berlanjut, dan merata ke pulau-pulau lain di Indonesia, setidaknya sudah mengubah stigma banyak masyarakat yang berpandangan bahwa pembangunan selama ini berorientasi Javasentris. Beberapa pembangunan dengan target progress tertentu per tahunnya barangkali sudah terlunaskan. Memang dalam pembangunan infrastruktur, selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang lumrah terjadi, mengingat proyek tidak bernilai kecil dengan kompleksitas prosedur yang harus dijalankan secara keseluruhan dan komprehensif mulai dari pra konstruksi hingga pengoperasiannya.
Namun, tidak demikian dengan rencana proyek kereta cepat. Proyek ini dianggap tidak sesuai dengan rencana “pembangunan dari pinggir” yang acap kali disampaikan oleh Jokowi. Selain itu proyek ini dinilai bukanlah pembangunan yang memprioritaskan kebutuhan transportasi masyarakat banyak golongan dikarenakan memakan biaya pembangunan dan operasi yang besar dengan akses yang tidak terlalu luas. Belum lagi pecah kongsi dengan pihak asing yang berinvestasi di dalamnya, sehingga proyek ini dianggap tidak populis. Alangkah lebih baik anggaran dana dialokasikan untuk membangun prasarana infrastuktur yang dapat mengakses lebih banyak tempat supaya kebutuhan akses transportasi masyarakat lebih bisa terpenuhi.
Dua tahun mungkin waktu yang belum cukup bagi kita untuk menjustifikasi apakah era pemerintahan Jokowi sudah berhasil, atau malah gagal. Masih banyak hal-hal yang perlu kita kawal dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintahan bukanlah sebuah sistem yang bekerja pada kondisi atau waktu tertentu. Pemerintahan selalu berjalan waktu ke waktu, hari ke hari, jam ke jam, sehingga tidak ini-ini saja problematika yang muncul. Barangkali masih banyak yang tidak terawasi dari kita.
Terlepas dari banyaknya, baik kesuksesan maupun problematika yang muncul, setidaknya masih ada 3 tahun lagi Indonesia berada di bawah pemerintahan Jokowi untuk dapat mewujudkan cita-cita bangsa yang utuh dan harapan yang diidam-idamkan rakyat. Sebagai pihak yang direpresentasikan, sebagai pihak yang menerima dampak dari sistem yang ada, akankah kita sekadar pasrah berdiam diri atau bersedia turut membantu mendorong jalannya roda pemerintahan? Jangan sampai ada lagi sarkasme-sarkasme seperti yang dikemukakan Karl Marx pada kaum rakyat kecil yang hanya bisa pasrah dengan penderitaan dan tidak mau bergerak. Sindiran Karl Marx yang hari ini keliru kita simpulkan dengan menyatakan Komunis adalah Atheis.
Hidup Rakyat!!
Penulis : Farizqi Khaldirian