Mungkin bukan saya saja yang ketika malam datang dikepung oleh rasa kesepian. Di dalam kesepian itu, seringkali saya hanya mampu tiduran di atas kasur dan memandangi langit-langit kamar. Sementara pandangan saya terpaku pada satu titik, pikiran saya berkelana ke banyak titik di dalam kehidupan saya; masa kecil dulu, cinta pertama yang telah berlalu, dan tentang masa depan yang belum saya alami. Apa yang terjadi pada saya tentu saja pernah terjadi juga pada orang lain, dunia ini penuh dengan manusia kesepian yang dilanda kesedihan yang mendalam.
Tentu saja ini bukan cerita tentang kesedihan saya, tetapi saya dapat merasakan bahwa Ingmar Bergman saat menggarap Wild Strawberries tengah merasakan perasaan yang sama: larut dalam memikirkan dirinya, hidupnya, dan masa lalunya. Tentu saja bukan hanya kondisi mental yang menjadi pemicunya, saat menggarap cerita untuk Wild Strawberries, Bergman juga sedang di ranjang rumah sakit, stress dan kelelahan.
Pada awalnya ada narasi tentang Professor Isak Borg, seorang duda tua yang tinggal bersama seorang pengasuh di Stockholm. Bagi orang lain Borg adalah seorang cendekiawan berprestasi yang akan diberikan penghargaan dua hari lagi di kota Lund, tetapi bagi dirinya sendiri dia adalah seseorang yang sudah lama mengecap asam garam kehidupan. Dibesarkan dalam keluarga yang tidak menerima kegagalan dan meninggikan kesempurnaan, kehilangan cinta pertama pada adik sendiri, dan ditinggal mati istri yang telah memberikannya seorang putra.
Mimpi dan lamunan menjadi sebuah alat yang digunakan Bergman untuk membedah kehidupan professor tua tersebut. Semenjak bertolak dari Stockholm menuju Lund, acap kali sang professor menemukan dirinya menjalani kembali kejadian dari masa lalu tetapi dengan kondisi fisik dan mental dari masa sekarang, atau sedang bermimpi tentang berbagai kesalahan yang Ia lakukan dalam hidupnya yang panjang ini. Selain cerita tentang sang professor, diceritakan juga orang-orang dalam kehidupan Borg yang mempengaruhinya sedemikian rupa serta menjadi parallel antara masa lalu dan sekarang; rumah tangganya dulu/rumah tangga anaknya sekarang, bagaimana Ia dibesarkan ibu dan bapaknya/bagaimana anaknya dibesarkan oleh Borg dan istrinya, kehilangan istrinya/anaknya yang akan kehilangan istrinya, dan sebagainya. Pertautan antara masa lalu dan sekarang menjadi alat mencapai resolusi dalam film ini, karena setiap Borg mengalami mimpi/lamunan tentang masa lalu, Ia akan merefleksikan hal tersebut dan mengubah pandangannya akan hidup; yang semula dingin dan kaku perlahan menghangat dan melunak.
Isak Borg tentu tidak benar-benar kembali ke masa lalu, tetapi setiap mengalami lamunan/mimpi akan masa lalu, Ia hadir sebagai dirinya yang sudah tua renta. Transisi dari mimpi/lamunan ke kehidupan sekarang juga tidak begitu jelas dalam beberapa adegan, sehingga membuat saya bertanya apakah Borg sudah benar-benar kembali ke dunia nyata atau masih bermimpi/melamun? Apabila Ia masih bermimpi/melamun dan tidak dilihatkan bahwa Ia kembali, apakah mimpi/lamunan seterusnya terjadi dalam mimpi/lamunan yang sedang berlangsung? Kita dibuat bingung dengan distorsi ruang dan waktu yang dilakukan Bergman. Tetapi bukan Bergman namanya apabila tidak membuat penontonnya berpikir, saya beranggapan bahwa Bergman menampilkan distorsi tersebut untuk menampilkan betapa ingatan kita dapat kacau balau apabila dihadapkan dengan ingatan buruk dan rasa sesal. Tetapi apabila Ia memang telah bangun dari mimpi/lamunannya dan menemukan jawaban atas keresahannya, maka dapat saya katakana bahwa penyesalan juga dapat diselesaikan dengan memahami bahwa kita tidak ada kuasa untuk mengubah masa lalu, dan bahwa tidak semua kejadian di masa lalu ada dalam kuasa kita untuk mengaturnya; penerimaan akan hal tersebut melegakan diri dari beban pikiran yang memberatkan langkah kita dalam kehidupan.
Selain segala konflik dan resolusi yang terjadi setelahnya dalam bagian tengah film, yang ditandai dengan perjalanan mobil dari Stockholm menuju Lund, bagian akhir film ini tentu saja juga membekaskan kesan. Setelah mengalami perubahan besar-besaran bahkan sebuah enlightenment, yang terjadi akibat siklus ingatan-penyesalan-penerimaan yang berulang-ulang, Borg akhirnya tiba di Lund dan menerima penghargaan yang menjadi alasan perjalanannya tersebut. Namun bukanlah adegan penghargaan tersebut yang membuat gusar hati saya berhenti saat film ini berakhir, adegan di mana Borg didatangi oleh anaknya dan menantunya yang semula membencinya. Dalam adegan itu Borg akhirnya melepaskan sifat dinginnya dan mencoba mendekatkan diri lagi pada anaknya yang selama ini nyaris tidak Ia anggap sebagai darah dagingnya sendiri, sang professor juga mengatakan bahwa sebenarnya Ia menyukai menantunya; meski percobaannya untuk menjadi seseorang yang sama sekali berbeda tersebut menimbulkan kebingungan bagi anak dan mantunya, akhirnya Borg mencoba menjadi manusia.
Film ini ditutup dengan sorotan kamera pada wajah Borg yang akhirnya istirahat setelah perjalanan panjangnya. “Sjostrom’s face shone” wajahnya bersinar sebut Bergman, rasa senangnya Ia sampaikan setelah melihat Sjostrom menghayati betul adegan terakhir tersebut, Ia amat puas dengan ending dari film tersebut. Sjostrom sendiri selain aktor utama film ini, adalah sutradara panutan Bergman. Kebahagiaan Bergman karena ending film yang baginya begitu sempurna harus disambut dengan duka, karena, sebagaimana sebuah film diakhiri oleh outro, kehidupan harus diakhiri kematian, Victor Sjostrom meninggal dunia tak berapa lama setelah membintangi film terakhirnya, Wild Strawberries.
Ingmar Bergman mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa film ini adalah ungkapan keresahan dari dalam dirinya sendiri. Tetapi menurut saya film ini dapat dirasakan oleh siapapun, yang seperti Isak Borg, kerap dihantui oleh penyesalan. Selain dapat dirasakan, ada kemungkinan pula film ini dapat memberikan sedikit perasaan lega; karena siapa yang tidak ikut tersenyum melihat wajah Sjostrom di akhir film ini?