Beranda Artikel Jogja Darurat Transportasi Udara?

Jogja Darurat Transportasi Udara?

oleh Redaksi

Siapa saja yang pernah menggunakan Bandara Udara Internasional Adisutjipto Yogyakarta dalam beberapa tahun silam tentu pernah merasakan betapa padat terminalnya. Pasalnya, sudah lama terminal Bandara Adisutjipto mengalami kelebihan kapasitas. Permintaan akan transportasi udara kian meningkat. Tingkat pertumbuhan kapasitas rata-rata dari tahun 2005 hingga 2015 sebesar 9,78%. Dengan melihat stastitik tersebut, jumlah penumpang yang dilayani Bandara Adisutjipto akan mencapai sekitar 7 juta penumpang untuk tahun 2016. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena kedua terminal Bandara Adisutjipto hanya dapat menampung 4.243.156 penumpang per tahun.

Kondisi Bandara Adisutjipto menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk segera menggantikan Adisutjipto dengan bandara baru. Sudah beberapa tahun terakhir pemerintah mewacanakan bandara baru di Kulon Progo sebagai pengganti. Hingga sekarang, realisasi megaproyek tersebut belum terwujud. Ketidakpastian bandara baru semakin mendesak pemerintah untuk mencari solusi mengatasi jumlah permintaan transportasi udara yang terus meningkat. Salah satu alternatif yang dapat menjadi solusi jangka pendek mengatasi kepadatan di Adisutjipto adalah mengembangkan multiple airport region.

Mengoperasikan lebih dari satu bandara dalam suatu wilayah yang berdekatan adalah praktik yang sudah diterapkan di berbagai negara. Hal ini dapat terlihat di kota-kota seperti London, Tokyo, New York, dan Paris yang jarak antara dua bandara dalam satu wilayah kurang dari 100 kilometer. Di Indonesia, ini dapat ditemukan di Jakarta dan Yogyakarta-Solo. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Solo Raya, dan sekitarnya dilayani dua bandara internasional, Adisutjipto (Yogyakarta) dan Adi Sumarmo (Boyolali). Masalah kepadatan yang dialami Adisutjipto tidak dirasakan di Adi Sumarmo, sehingga dapat dikembangkan multiple airport region dengan mengalihkan penumpang dari Adisutjipto ke Adi Sumarmo.

Kepadatan suatu bandara dapat diukur dari utilitasnya, yaitu jumlah penumpang yang dilayani per tahun dibagi kapasitas terminalnya. Pada saat tahun 2015, Adisutjipto berada di utilitas 150% dan diprediksikan akan mencapai 165% pada akhir tahun 2016. Sedangkan utilitas Adi Sumarmo hanya mencapai 40% pada tahun 2015 dan diprediksikan meningkat hingga 42% pada tahun 2016. Statistik tersebut menunjukkan bahwa Adi Sumarmo mampu untuk melayani lalu lintas penumpang yang lebih banyak. Melihat kesempatan tersebut, pemerintah tidak salah untuk mengambil langkah mengembangkan Adisutjipto dan Adi Sumarmo dalam skema multiple airport region.

Dalam sebuah seminar nasional yang diadakan di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) pada 29 Oktober 2016, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Perhubungan, Agus Santoso, mengatakan bahwa pemerintah sedang mempersiapkan rencana untuk pengembangan multiple airport region. Dalam skema yang akan dikembangkan, Santoso menyatakan rencana pemerintah untuk memindahkan 30% penumpang dari Adisutjipto ke Adi Sumarmo. Gagasan ini tetap harus kembali meninjau statistik utilitas pada kedua bandara tersebut. Menggunakan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata selama 10 tahun terakhir untuk memprediksi jumlah penumpang, Adisutjipto dan Adi Sumarmo masing-masing akan melayani 7.004.519 dan 1.611.898 penumpang pada tahun 2016. Jika meninjau Adisutjipto dan Adi Sumarmo sebagai satu kesatuan noda transportasi udara yang terintegrasi, maka utilitas kolektifnya adalah 107%. Dengan kata lain, kapasitas tetap terlampaui.

Meskipun kapasitas kolektif kedua bandara tetap terlampaui, pemerintah tidak punya banyak alternatif untuk memecahkan permasalahan kepadatan Bandara Adisutjipto. Jika mengintegrasikan Adisutjipto dan Adi Sumarmo adalah langkah yang harus diambil pemerintah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana caranya untuk membangun integrasi. Integrasi yang dimaksud disini adalah menghubungkan kedua bandara tersebut untuk memudahkan akses penumpang menuju ke bandara. Skema integrasi yang telah dikembangkan di Tokyo, Paris, New York, dan London adalah integrasi antarmoda, terutama dengan kereta api.

Kereta api menjadi sorotan utama pemerintah dalam membangun integrasi mengingat kemampuannya untuk mengangkut jumlah penumpang yang banyak dan jalur khusus yang ditempuhnya minim hambatan. Jika pemerintah berencana untuk memindahkan beban penumpang sebesar 30 persen dari Adisutjipto ke Adi Sumarmo, maka patut untuk memperhitungkan seberapa banyak penumpang yang harus dipindahkan melalui infrastruktur penghubung (kereta api). Jika diasumsikan bahwa integrasi ini mulai beroperasi pada awal tahun 2018, maka 30 persen dari total penumpang di Adisutjipto yang harus dipindahkan adalah 2.532.614. Pada tahun tersebut utilitas kolektif di kedua bandara adalah 127%. Dalam skema pemindahan 30 persen penumpang, utilitas Adisutjipto berada di angka 139% dan Adi Sumarmo berada di 113%. Dengan skema ini maka Adisutjipto mengalami penurunan utilitas sebesar 11%.

Pemindahan beban 30% penumpang dari Adisutjipto membuat ada 5757 penumpang per hari yang harus dilimpahkan ke Adi Sumarmo. Ketatnya jadwal penerbangan mengharuskan kereta api menjadi penghubung yang tepat waktu. 5757 penumpang per hari berarti ada 240 penumpang per jam yang harus dilayani kereta api. Santoso dalam paparannya menyatakan bahwa kereta api yang akan mengangkut penumpang antara Adisutjipto dan Adi Sumarmo memiliki spesifikasi 4 rangkaian dengan masing-masing rangkaian berkapasitas 40 penumpang. Kereta tersebut akan menuntaskan perjalanan dalam waktu 50 menit dengan headway (waktu antar kereta api) sebesar 30 menit. Dengan headway tersebut dapat diasumsikan bahwa dalam 1 jam terdapat 2 kereta api yang menempuh perjalanan dari Adisutjipto menuju Adi Sumarmo dengan kemampuan mengangkut 320 penumpang per jam. Dalam perhitungan sederhana yang dilakukan untuk memprediksi jumlah penumpang pada tahun 2018, perencanaan pemerintah mampu untuk memikul beban pemindahan penumpang. Namun jika pada tahun 2020 tidak ada penambahan frekuensi operasi atau jumlah rangkaian, kereta api tidak akan mampu melayani jumlah penumpang per jam yang dapat mencapai 348.

Membangun kereta api penghubung bandara bukan perkara mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti penambahan segmen rel menuju ke Adi Sumarmo yang saat ini belum terhubung dalam jaringan rel. Kemampuan kereta api untuk menempuh perjalanan dalam waktu 50 menit juga patut dipertanyakan, mengingat saat ini dibutuhkan waktu lebih dari 1 jam untuk menempuh perjalanan dari Stasiun Tugu ke Stasiun Purwosari. Belum jelas juga apakah kereta merupakan layanan baru antara Yogyakarta-Solo atau gabung dalam pelayanan kereta api komuter yang sudah ada, Prambanan Ekspres. Sulit dibayangkan jika layanan ini akan digabungkan dalam Prambanan Ekspres jika mempertimbangkan headway yang direncanakan adalah 30 menit. Apapun bentuk layanan kereta api yang menghubungkan bandara di Yogyakarta dan Solo tentu akan berdampak pada jadwal kereta api yang saat ini melintas ruas Yogyakarta-Solo. Banyak aspek harus diperhatikan dalam perancangan dengan jendela waktu pengerjaan yang sempit.

Pengembangan multiple airport region bukan melulu soal teknis. Banyak studi yang telah dilakukan, terutama pada wilayah Teluk San Fransico di Amerika Serikat, mengenai perilaku konsumen dalam multiple airport region. Banyak faktor yang menentukan bagaimana konsumen memilih bandara sebagai titik keberangkatan maupun titik kedatangan, seperti aksesibilitas, biaya tiket pesawat, preferensi maskapai, dan frekuensi penerbangan. Pels et al. (2001) menganalisis pilihan bandara dan maskapai di wilayah Teluk San Francisco dan menarik kesimpulan bahwa konsumen cenderung memilih bandara dahulu sebelum memilih maskapai. Van Dender (2009), menyatakan bahwa faktor tipe perjalanan, bisnis atau wisata, sangat mempengaruhi proses pemilihan bandara oleh konsumen. Studi yang sedemikian rupa perlu dilakukan guna menentukan cara yang tepat untuk memindahkan limpahan penumpang dari Adistujipto ke Adi Sumarmo.

Berapapun persentase penumpang yang akan dipindahkan, perlu perencanaan penerbangan mana saja yang akan dialihkan guna mengatasi ketidaknyamanan penumpang. Pengalihan penumpang ini harus melihat penerbangan mana yang memberi dampak ketidaknyamanan paling kecil bagi penumpang. Saat ini, persentase penerbangan domestik yang mendominasi keluar masuk bandara Adisutjipto adalah 50% berasal dari Jakarta dan sisanya dari bandara-bandara lain (Denpasar 11%, Surabya, 9%, Balikpapan 8%, Makassar 5%, dan sisa bandara yang masing-masing dibawah 5%). Sedangkan untuk penerbangan dengan asal Adisutjipto juga didominasi dengan tujuan Jakarta dengan persentase 53%.

Pertumbuhan jumlah penumpang transportasi udara tidak dapat dipungkiri. Begitu pula keterbatasan bandara Adisutjipto untuk berkembang. Pemerintah harus segera bertindak jika ingin mengikuti permintaan pasar dan memicu pertumbuhan ekonomi. Perkara Bandara Kulon Progo dapat direalisasikan atau tidak, pengembangan integrasi Bandara Adisutjipto dan Bandara Adi Sumarmo sebagai solusi jangka pendek tidak dapat ditawar. Pengembangan ini sudah seharusnya dipandang pemerintah bukan sekadar untuk memecah peliknya permasalahan kepadatan Adisutjipto, namun juga untuk meningkatkan integrasi wilayah antara DIY dan Solo dan memicu pertumbuhan di wilayah sekitarnya, terutama Klaten. Jendela waktu untuk bertindak kian mengecil. Sampai kapan pemerintah akan menunda dan berwacana?

Oleh : Kemal Ferdianto | Kontributor Independen

Artikel Terkait