Sebagai salah satu komoditas vital bagi keberlangsungan hidup, manusia memiliki hak yang sama atas air. Hak tersebut adalah setiap manusia memiliki akses untuk air bersih dan sanitasi dengan harga yang terjangkau. Pasal 33 Ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” pun telah menjelaskan bahwa air dan sumber daya alam lainnya harus digunakan dengan adil demi kesejahteraan rakyat.
Di Indonesia sendiri, pengelolaan dan pelayanan air harus diprioritaskan terlebih dahulu kepada kebutuhan air minum dan pertanian rakyat. Setelah kedua prioritas ini terpenuhi, pemerintah dapat mengalokasikan pengelolaan air ke berbagai kebutuhan industri, pertambangan, dan lain-lain. Oleh karena itu, undang-undang air di Indonesia membutuhkan rancangan baru untuk mengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan yang tengah aktif.
Mengapa UU RI No. 11 Tahun 1974 Harus Diganti?
Seperti yang dilansir dari hukumonline.com, pada Februari 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus keberadaan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Menurut MK, undang-undang tersebut belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta. Dengan adanya pemberhentian berlakunya undang-undang tersebut, MK mengaktifkan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mengisi kekosongan hukum hingga terbentuknya undang-undang baru.
Namun, permasalahan yang muncul berikutnya adalah ternyata Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 Pengairan tidak mengatur pemenuhan hak rakyat atas air, serta tidak mengatur prinsip pembatasan pengusahaan air. Undang-undang ini juga pada kenyataannya telah melanggar regulasi enam prinsip pembatasan penguasaan air yang dibuat oleh MK sendiri. Satu dari enam pelanggaran tersebut adalah PP No. 16 Tahun 2005 yang secara terselubung merupakan langkah swastanisasi air sekaligus pengingkaran tafsir konstitusional MK sendiri.
Pada Pasal 1 Angka 9 PP No.16 Tahun 2005, penyelenggara pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) adalah Badan Usaha Milik Negara, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat. Isi dari pasal ini tentu bertentangan dengan Pasal 40 Ayat 2 UUD 1945 Sumber Daya Alam yang menyatakan pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah. Karena hal ini melanggar UUD 1945, kehadiran PP No. 16 Tahun 2005 juga secara tidak langsung seperti senjata yang memakan tuannya sendiri sebab ketika MK menonaktifkan UU Nomor 11 Tahun 2004, MK memberikan alasan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Pengelolaan Air di Tangan Perusahaan Swasta
Berkaitan dengan PP No. 16 Tahun 2005, ini berarti isi peraturan tersebut merupakan wujud dari privatisasi air. Privatisasi air adalah kegiatan pengelolaan sumber daya air yang didominasi oleh pihak swasta. Privatisasi air terus meningkat karena permintaan yang terus bertambah. Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) menjadi penyebab mengapa perusahaan swasta yang menyediakan AMDK terus berkembang. Keterlibatan pihak swasta dalam mengelola air seharusnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyediaan air bersih bagi rakyat, tetapi kenyataannya perusahaan swasta cenderung untuk mencari keuntungan. Tindakan komersialisasi air inilah yang mengakibatkan akses rakyat untuk mendapatkan air bersih menjadi susah.
Privatisasi air di Indonesia bermula pada 1999 ketika Bank Dunia memberikan pinjaman melalui perjanjian Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) sebesar USD 300 juta. Perjanjian utang ini bertujuan untuk penataan yang memungkinkan pihak swasta untuk ikut berpartisipasi dalam mengelola sumber daya air negara.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 yang sudah tidak aktif lagi sebenarnya sudah diatur mengenai hak pengusahaan sumber daya air yang dapat dilakukan apabila kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat sudah terpenuhi. Selain itu, pihak swasta juga diwajibkan untuk melakukan konservasi terhadap sumber daya air. Namun, dalam pelaksanaannya perusahaan air swasta masih melanggar ketentuan tersebut dan memberikan kerugian kepada masyarakat setempat.
Beberapa kasus seperti di Sukabumi dan Klaten, masyarakat yang tinggal di daerah sumber mata air justru mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih. Di Boyolali, terjadi konflik antara petani dengan perusahaan air minum dalam penggunaan air irigasi. Sementara di daerah Jatiluhur, air waduk yang awalnya difungsikan sebagai sumber air irigasi bagi para petani justru telah beralihfungsi menjadi sumber air bagi industri sekitar dan sumber air minum warga Jakarta sehingga kapasitas air untuk irigasi berkurang banyak.
Melihat penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh perusahaan air swasta, seharusnya kekuasaan perusahaan swasta lebih dibatasi melalui peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Izin yang diperoleh perusahaan swasta dalam mengolah air perlu dikaji ulang agar tidak terjadi eksploitasi berlebih yang memberatkan rakyat dan untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, perlu dirancang Undang-undang mengenai Sumber Daya Air guna memperketat wewenang pihak swasta, sekaligus memfokuskan kepengurusan masalah air kembali kepada pemerintah pusat atau daerah. Penegakan peraturan yang baru juga perlu diimbangi dengan pengawasan yang lebih ketat.
Problematika Pengelolaan Air
Siklus hidrologi dikenal sebagai siklus kekekalan air yang tidak akan habis. Pada kenyataannya, air tidak seperti udara yang dapat diperoleh di mana saja. Pendapat MK perkara pengujian UU SDA menyebutkan bahwa siklus hidrologi tidak menjamin ketersediaan air secara merata bagi masyarakat. Siklus hidrologi membutuhkan waktu, sedangkan manusia tetap membutuhkan air untuk kegiatan dan kehidupannya setiap saat. Ketersediaan air yang tidak merata dan kebutuhan pasokan air di tiap daerah perlu diimbangi. Penggunaan teknologi untuk mendapatkan air sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Oleh karena itu, permasalahan sebenarnya dari krisis air adalah pengelolaannya. Dari kesalahan pengelolaan inilah, air tiba pada kondisi yang dapat disebut langka.
Pengelolaan yang terlalu bertujuan untuk mendapat keuntungan daripada pelayanan masyarakat mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat untuk mengakses air. Padahal, UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa sumber daya yang dimiliki negara harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Sebab saat ini, air yang merupakan substansi kehidupan manusia dan tersedia secara cuma-cuma malah dijadikan barang dagang oleh pihak swasta.
Salah satu dampak besar dari monopoli air oleh pihak swasta adalah terancamnya sistem irigasi para petani yang selama ini telah mereka gunakan. Menurut ‘kebijakan’ Perum Jasa Tirta II dan pemerintah, hanya petani yang harus melakukan penghematan air sedangkan industri diperbolehkan mengambil air dengan maksimal. Cara-cara ‘penghematan’ yang dapat dilakukan oleh para petani adalah dengan menggunakan sistem giliran air dan golongan musim tanam atau dengan sistem SRI (System Rice Intensification). Selain itu, petani juga diharuskan membayar air dengan sistem iuran warga melalui P3A Mitra Cai di saat seharusnya air irigasi tidak membutuhkan biaya apapun untuk memperolehnya, terutama bagi para petani.
Hak Atas Air
Melihat ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin meningkat akibat adanya penyalahgunaan wewenang pengelolaan air, diperlukan kesadaran akan pemenuhan kebutuhan air bersih yang saat ini masih dinilai kurang mendapat perhatian. Air bukanlah suatu komoditas komersial. Kesadaran mengenai air sebagai hak publik yang tidak dapat diganggu gugat menuntut tanggung jawab pengelolaan air untuk dikembalikan ke pemerintah. Pemerintah boleh saja bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk memenuhi kebutuhan air bersih, tetapi wajib dengan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas. Sebab rakyatlah yang masih dan akan selalu memiliki hak utama atas kepemilikan sumber daya alam negara, salah satunya air.
Artikel oleh : Hanan Zharifah Wijdan dan Refaldo Bonar