Beranda Artikel Maleko, Sisi Lain Indahnya Wakatobi

Maleko, Sisi Lain Indahnya Wakatobi

oleh Redaksi

Wakatobi, nama yang sudah tak asing lagi bagi kita. Sebuah kabupaten yang terletak di Sulawesi Tenggara ini sangat dikenal dengan kekayaan dan keindahan bawah lautnya sehingga menjadi surga bagi para penyelam dari seluruh penjuru dunia. Karena potensi alam Wakatobi yang begitu melimpah, Wakatobi disebut-sebut sebagai calon The Next Bali. Walaupun mungkin masih membutuhkan banyak waktu.

Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Pembelajaran Masyarakat Universitas Gadjah Mada  (KKN-PPM UGM) membawa kami, 30 mahasiswa UGM datang mengunjungi Wakatobi. Selain karna keinginan untuk mengabdi, rasa penasaran akan surga bahari Wakatobi juga yang menjadi alasan bagi kami memilih Wakatobi sebagai lokasi pengabdian. Desa Waginopo dan Maleko, desa yang akhirnya menjadi tempat kami menjalankan program-program pengembangan masyarakat. Pada akhirnya kami dibagi menjadi dua sub-unit, dan Saya mendapatkan lokasi di Desa Maleko. Sedikit berbeda dengan ekspektasi awal kami, Desa Waginopo dan Maleko berada di kawasan perbukitan yang tentunya cukup jauh dari pantai.

Pertama kali tiba di Maleko, kami menjumpai pemandangan yang cukup asing bagi kami. Memasuki Dusun Ehata, salah satu dusun di Desa Maleko, kami disambut dengan jajaran rumah-rumah warga yang nampak seragam dengan perpaduan cat warna hijau dan kuning. Rumah-rumah tersebut adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah itu berjajar rapi di sepanjang jalan yang menjadi satu-satunya akses untuk kendaraan. Memasuki Dusun Limbowo’ou, rumah-rumah sudah mulai bervariasi antara rumah panggung dan rumah pada umumnya yang sering kita jumpai di Jawa.

Pada hari pertama kami, tentunya banyak kejutan yang kami dapatkan di Maleko. Kami disambut dengan baik dan sangat ramah oleh para warga, tak hanya orang dewasa, anak-anak pun turut terlihat antusias dengan kedatangan kami. Salah satu kejutan yang kami dapatkan ialah nenek pemilik rumah pondokan kami tidak mengerti bahasa Indonesia dan hanya bisa menggunakan bahasa setempat, bahasa Wanci. Ternyata masih banyak warga Maleko yang belum fasih dalam berbahasa Indonesia, terutama para lansia dan balita. Kejutan lain yang lebih hebat adalah pada kala itu di Maleko tengah terjadi krisis air bersih akibat pompa air yang mengangkut air bersih dari mata air ke rumah-rumah warga sedang tidak berfungsi dengan baik, akibatnya warga harus membeli air bersih dari kota untuk keperluan sehari-hari. Untuk menghemat air, banyak dari warga yang memilih untuk mandi dan mencuci di sungai, begitu pula dengan kami yang harus menyesuaikan diri untuk bisa mandi dan mencuci di sungai. Beruntunglah sungai tidak begitu jauh dari rumah warga, sehingga perjalanan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tak sedikit pula warga yang menampung air hujan untuk persediaan air mereka.

Kami mendapati pengalaman yang cukup menyentuh hati ketika kami berinteraksi dengan siswa-siswi SD Negeri Tindoi, satu satunya tempat belajar mengajar untuk pendidikan formal yang ada di Maleko. Kondisi fisik bangunan sekolah memang terlihat masih cukup layak, tetapi kegiatan belajar mengajarnya memprihatinkan. Jumlah siswa dari setiap kelas tidak ada yang mencapai 20 orang. Dari cerita anak-anak yang kami dengar, guru-guru pengampu mata pelajaran sangat jarang hadir untuk memberikan ilmu pada para siswa ini, bahkan jumlah kehadirannya bisa dihitung dengan jari. Tak heran jika kemampuan akademik dan tingkat pengetahuan anak-anak SD Negeri Tindoi ini sangat kurang. Banyak dari anak-anak SD, bahkan yang baru saja lulus dari SD masih kesulitan dalam membaca dan menulis, hal paling mendasar yang seharusnya sudah mereka kuasai. Pengetahuan umum seperti nama presiden pertama Republik Indonesia pun tidak ada satupun dari mereka yang tahu.

Kondisi perekonomian di desa ini juga tidak berjalan begitu mulus. Kebanyakan dari warga menggantungkan hidup mereka dari hasil di kebun, dengan komoditi utama yaitu tanaman singkong. Warga hanya dapat menjual singkong dengan harga yang relatif rendah. Satu-satunya produk olahan yang mereka jual adalah kasuami, makanan berbahan dasar singkong yang biasa dimakan warga sebagai makanan pokok selain nasi. Tidak ada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk membangkitkan kegiatan perekonomian di Maleko. Untuk membantu membangkitkan perekonomian warga, akhirnya dengan bantuan dari mahasiswa KKN, dapat terbentuk suatu BUMDes dengan nama BUMDes Maleko Berkarya.

Kehadiran kami mahasiswa KKN dari UGM mungkin sedikit membawa angin segar kepada warga Maleko atas program-pogram kecil yang kami lakukan, seperti membenahi infrastruktur, memberi pemeriksaan gratis, sosialisasi, sekolah alam, dan kegiatan lainnya untuk sedikit dapat membantu beberapa permasalahan besar di desa ini. Sekecil apapun yang kami lakukan, cukup memberikan kesan yang mendalam untuk warga. Hal terbesar yang kami dapatkan dari kurang lebih dua bulan kegiatan KKN adalah rasa syukur. Melihat kehidupan warga desa Maleko yang begitu sederhana, menyadarkan kami bahwa banyak saudara-saudara kita yang masih jauh dari kemajuan peradaban yang kita rasakan. Banyaknya pembangunan di kota-kota besar, tidak dirasakan juga oleh mereka yang tinggal di satu desa kecil ini, dan tentunya Maleko hanyalah satu contoh kecil dari sekian banyak desa di seluruh penjuru Indonesia yang bernasib hampir sama, atau bahkan lebih buruk lagi. Sudah saatnya untuk membuka mata dan telinga untuk saudara kita diluar sana. Ilmu yang sudah kita dapat melalui mudahnya fasilitas dalam melakukan studi akan sangat bermanfaat apabila bisa digunakan untuk membawa perubahan pada mereka. Sudah saatnya tanyakan pada diri sendiri, perubahan apa yang dapat kita bawa, manfaat apa yang dapat kita berikan, untuk saudara kita, untuk tanah air kita.

Fawzia Rahmawati P.

Kontributor

Artikel Terkait