Tuhan, Teman, dan Persamaan Diferensial

1996 Juli

Sempit, gelap, dan merah. Aku tak bisa bergerak.

1996 Oktober

Aku ingin keluar dari sini! Sekarang! Aku tidak kuat!

1996 November

Akhirnya aku bebas dari belenggu penjara ini. Udara segar, tiada suasana merah yang membutakanku. Hanya ada aku dan kebebasan, sepertinya.

1996 Desember

Aku dibawa menuju suatu tempat. Aku tidak tahu apa, tetapi saat itu ramai dan semua orang duduk dengan teratur dari depan ke belakang memenuhi tempat ini, sambil mengikuti arahan seseorang. Kadang mereka bernyanyi dengan kompak, walaupun ada yang suaranya tidak merdu dan sumbang, lalu berdialog mengucapkan sebuah sumpah serapah. Jumlah mereka mungkin sekitar seratus.

Suatu saat, ada seseorang yang naik ke tempat yang lebih tinggi di depan sana. Sebut saja Sang Guru. Guru berbicara banyak soal kehidupan. Hebat sekali. Mereka berseratus selalu mengangguk, tertegun, dan merenung, seolah setuju dengan semua perkataan Sang Guru. Guru selalu menyebutkan suatu entitas yang menjadi inspirasinya. Anehnya, mereka berseratus juga mengidolakan entitas yang sama. Entitas yang tadi disebutkan dalam dialog terkait sumpah serapah. Siapa entitas itu? Lalu aku di mana saat ini? Apakah mereka suatu kelompok tertentu? Mengapa aku dibawa ke sini?

Di akhir acara, ada suatu momen khusus yang didedikasikan kepada kami, yang katanya baru datang ke dunia ini. Aneh, mereka mengecap kami semua baru di dunia ini. Apa mereka tidak tahu beberapa kami adalah orang lama di dunia ini? Aku pernah ditugaskan sebagai pintu dan lampu. Ini tugasku yang ketiga, menjadi manusia.

Kembali ke acara, saat itu kami berjumlah 28. Kami dipanggil satu persatu ke depan oleh Sang Guru. Setelah menunggu 12 menit, giliranku tiba. Kedua orangtuaku (setidaknya mereka mengakui bahwa mereka adalah orangtuaku, terlepas dari mereka bohong atau tidak) membawaku ke depan, di hadapan seratus orang tadi. Sang Guru menyebutkan namaku beberapa kali, lalu memercikku dengan air segar. Kemudian dia mengangkat kedua tanganya dan mengarahkannya ke arahku, mengucapkan beberapa patah kata. Selepas itu, Sang Guru memberikan sebuah surat ke kedua orangtuaku. Orangtuaku bahagia sekali, terlihat dari raut wajah mereka, bahkan ibuku menangis. Apa artinya ini semua? Apakah saat ini aku menjadi satu kelompok dengan mereka? Untuk apa aku menjadi bagian mereka? Aku bahkan belum mengenal kelompok ini lebih jauh. Haruskah kuterima ini untuk menghargai orangtuaku?

28 Maret 2000

Aku, Dewa (kakakku, setidaknya orangtuaku mengatakan demikian, terlepas mereka bohong atau tidak), serta orangtuaku pindah ke kota di ujung pulau sebelah. Ayahku dipindahtugaskan. Senang sekali rasanya bisa mendarat di daratan baru.

29 Maret 2000

Kota ini panas, orang-orangnya kasar. Aku selalu menginterpretasikan apa yang keluar dari mulut mereka sebagai sebuah amarah. Aku hanya betah berbicara dengan Dewa, ayah, dan ibu. Selebihnya tidak. Kenapa semua orang di sini kasar?

30 Maret 2000

Aku, Dewa, dan orangtuaku pergi ke suatu tempat. Mungkin tempat yang sama ketika dulu aku melihat Sang Guru. Anehnya, tempat ini memiliki banyak kesamaan dengan tempat Sang Guru berada. Orang yang banyak, duduk dengan rapi memenuhi tempat ini, hal yang dilakukan juga sama. Ada juga orang yang memimpin acara dan ada sosok lain seperti Sang Guru yang pernah kulihat. Peran mereka juga sama. Mereka memberikan pelajaran kehidupan dan figur yang mereka idolakan juga sama. Aneh sekali. Apakah kelompok itu memiliki anggota di seluruh dunia?

28 Mei 2002

Aku didaftarkan ke sebuah sekolah. Aku pergi ke sekolah itu bersama ibu dan Dewa. Saat itu ayah sedang dinas ke kota sebelah. Ibu disuruh mengisi formulir pendaftaran oleh pihak sekolah. Banyak sekali yang harus diisi ibu. Nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, golongan darah, dan agama. Di bagian informasi tentang agama, ibu harus menandai satu di antara lima pilihan agama yang ada. Apakah agama cuma ada lima? Bagaimana kalau aku ingin membuat satu atau dua agama lagi? Apakah bisa menjadi enam atau tujuh?

11 Juni 2002

Hari ini berkesan sekali. Hari pertamaku masuk sekolah. Aku bertemu banyak teman dan banyak sosok inspiratif di sini. Aku paling senang dengan pelajaran sejarah. Banyak cerita tentang masa lalu yang sangat indah. Terlebih saat Pak Hata membawa beberapa foto dan barang-barang tua yang terkait materi belajar kami. Saat ini Pak Hata membawa foto gedung tua. Ingin sekali rasanya berada di sana dan menikmati hawa masa lalu. Aku paling benci dengan pelajaran agama. Aku seperti merasa terpaksa mempelajari mata pelajaran ini agar nilaiku tidak jelek dan dimarahi oleh Dewa dan orangtuaku. Kebanyakan, pelajaran agama hanya lewat saja, tidak ada yang aku resapi. Yang kusuka dari pelajaran agama hanya saat Ibu Elisa bercerita. Selebihnya tidak.

28 Januari 2006

Menikmati senja di atap rumah. Diam-diam aku ke atap rumah saat orangtuaku belum pulang dari tempat kerja. Kalau orangtuaku tau, pasti habis nasibku. Indah sekali langit hari ini. Awan berkumpul seolah tersenyum kepadaku. Ingin sekali menjadi awan di kehidupan selanjutnya. Aku selalu terpikir, siapa yang menciptakan seluruh keselarasan dan ketidakselarasan dalam dunia ini?

12 Agustus 2009

Tahun keduaku di sekolah menengah. Aku melihat wanita cantik di depan aula. Dia memakai kerudung, berkacamata, dan matanya sangat indah. Namanya Mira, anak kelas 7-4.

8 Agustus 2010

Setelah hanya bisa menyapa, curi-curi pandang, dan hanya dekat, aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan dan kekagumanku kepadanya. Sebelumnya, dia meminta diberikan waktu satu minggu untuk berpikir. Akhirnya dia menerima. Aku tidak pernah tau kenapa dia meminta waktu satu minggu untuk menjawab pertanyaanku.

11 Desember 2011

Ternyata, selama ini ibuku selalu mengundang sosok seperti Sang Guru yang dulu ke rumah secara rutin untuk berdoa. Ya, bisa dibilang tidak rutin. Kadang untuk hal khusus saja. Biasanya di dalam doa itu terselip permohonan khusus untuk Tuhan terkait suatu hal. Biasanya pencapaian tertentu, atau keinginan tertentu. Hmmmm, Tuhan? Menarik.

8 Februari 2012

Makan malam bersama Mira di sebuah restoran. Aku menabung lama untuk momen ini. Kebetulan rumah kami berdekatan jadi tidak perlu usaha berlebih untuk bertemu di luar sekolah. Kadang kami sepakat untuk bertemu setiap Jumat sore di sebuah taman sejauh tiga blok dari rumahku. Kami biasa menghabiskan waktu bercerita sambil memandangi awan. Hal yang kami suka.

Aku selalu terbiasa berdoa sebelum makan. Tapi, ini pertama kali aku melihat Mira berdoa. Mengapa dia tidak berdoa seperti caraku berdoa?

17 April 2012

Laporan pelajaran bulanan dibagi hari ini. Kebanyakan angka yang ada berwarna merah. Biasanya, angka merah itu hanya aku dapatkan antara dua hingga empat. Kenapa sekarang bisa sampai tujuh? Ya terus terang, Mira menyita waktu dan pikiranku.

Sampai di rumah, ibuku marah. Aku berdalih aku sudah berusaha keras untuk belajar. Ibu percaya karena beberapa kali ibu melihatku belajar hingga larut malam di kamar. Ibu hanya tidak tahu kalau aku kebanyakan hanya bertukar pesan singkat dengan Mira, bahkan kadang beberapa kali bertelepon hingga subuh tiba. Ibu bilang, aku kurang berdoa. Lalu, apa korelasinya? Aku hanya kurang belajar dan tidak fokus dengan pelajaranku karena kebanyakan Mira. Kenapa tiba-tiba ada istilah “kurang berdoa”?

17 Mei 2012

Orangtuaku dipanggil oleh guru karena nilaiku yang tak kunjung naik. Setelah dipanggil ke sekolah, ibu menginterogasiku di rumah. “Apa kamu pacaran?” tanya ibu kepadaku dengan curiga. Aku membenarkan hal itu. Aku tidak mau berbohong kepada ibu. Kemudian aku bercerita banyak tentang Mira. Perjumpaan pertamaku dengan Mira, pendekatanku ke Mira, pertemuan setiap Jumat sore, hingga cara berdoa Mira. Aku heran kenapa ibu marah ketika aku bercerita tentang cara Mira berdoa. Menurutku tidak ada yang salah dengan cara berdoanya yang berbeda dengan caraku berdoa. Apa yang salah dengan agama yang berbeda? Setelah diinterogasi dua jam, ibu minta aku putus dengan Mira. Ibu takut aku pindah agama atau menyembah Tuhan yang berbeda karena Mira. Memangnya Tuhan ada berapa? Apa jumlah Tuhan sebanyak agama di dunia? Apa kalau aku membuat agama, apa aku juga membuat Tuhan yang baru? Ya bagus, dong, kalau Tuhan ada banyak. Bisa silaturahmi dengan Tuhan tetangga. Anggap saja menambah kenalan atau menambah link kalau kata orang yang mau kerja atau minta sponsor.

17 Juni 2013

Aku diterima di Sekolah Menengah Atas di Jawa. Di rumah, hanya tersisa ayah dan ibu. Dewa sudah sejak dua tahun lalu pergi ke Jawa untuk kuliah.

20 Juni 2013

Hari pertama sekolah di Jawa, dan mata pelajaran pertama yang aku dapatkan adalah pelajaran agama. Kenapa lagi-lagi agama? Tapi, aku suka dengan pelajaran agama di sekolah ini. Yang menarik dari pelajaran agama di sekolah ini adalah kami mempelajari agama secara umum dari segi sejarah dan Tuhan secara umum. Ini menarik sekali. Karena aku senang sejarah dari kecil, dan aku benci dengan agama, hal ini menjadi sebuah ketertarikan yang baru kepadaku. Aku selalu termotivasi untuk mencari literatur tentang Tuhan dan agama.

26 September 2013

Hari ini di kelas agama, kami belajar tentang sikap Tuhan. Sebuah pembicaraan yang menarik. Dari penjelasan Pak Tinus, aku memahami satu hal. Watak Tuhan yang selama ini dikenal oleh manusia, sebenarnya adalah proyeksi dari sifat manusia itu sendiri. Sebagai contoh, Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penyabar, Tuhan sosok yang cemburuan, dan lain-lain. Watak itu sebenarnya adalah watak manusia.

Aku setuju dengan pernyataan Pak Tinus. Aku pernah membaca di buku karangan Karen Armstrong bahwa seluruh ajaran percaya bahwa Tuhan adalah sosok yang luhur. Tuhan adalah segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi yang tidak terwakili oleh gambaran apapun. Tuhan teralu luhur untuk ibadah manusia yang bercela.

Tuhan memiliki watak yang sama dengan manusia. Ada kuasa yang melingkupi dunia manusia, yang melingkupi manusia, yang bergerak jauh di luar kapasitas manusia. Kuasa tersebut berasal dari Tuhan. Namun, seperti yang telah dikatakan di atas, Tuhan terlalu luhur untuk manusia. Gambaran manusia terkait entitas Tuhan hanya alat bantu manusia untuk memahami Tuhan.

Karen juga mengatakan bahwa sebagaimana seni, agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan.

1 November 2013

Terlalu asyik membeli buku membuatku boros. Aku tidak enak untuk meminta uang saku tambahan dari ibu. Terpaksa aku makan dua hari sekali, dan menumpang makan di rumah teman untuk menyambung hidup. Kadang, kalau aku lapar, aku hanya tidur untuk melupakan rasa lapar.

1 Desember 2013

Ujian akhir sudah dekat. Larut dalam eksplorasiku tentang agama dan Tuhan membuatku lupa belajar mata pelajaran sekolah. Aku harus mengejar banyak materi yang kutinggal selama ini.

Malamnya, temanku mengajakku ke suatu desa yang berjarak satu jam dari kota. Desa itu ada tempat untuk berdoa, dan dikenal mujarab oleh orang banyak. “Ayolah, kan sebentar lagi ujian,” ujarnya. Lah, memang berdoa hanya waktu dekat ujian saja?

3 Desember 2013

Temanku kembali mengajak ke desa itu. Karena ujian tinggal tiga hari lagi, dia ingin selama dua hari ke depan berdoa secara rutin di sana. Dia takut nilanya jelek. Mengapa berdoa secara khusus hingga ke tempat tertentu hanya untuk momen tertentu? Apa berdoa hanya untuk saat takut akan suatu hal? Aneh. Apa bedanya “teman kalau butuh” dengan “Tuhan kalau butuh”. Secara tidak langsung otakku menginterpretasikan tindakannya tadi sebagai kalimat, “Kamu itu Tuhanku kalau aku butuh atau lagi susah. Kalau tidak butuh atau aku lagi bahagia ya Kamu bukan Tuhanku.” Ada-ada saja.

6 Desember 2013

Hari pertama ujian akhir. Biasa saja, tidak ada yang istimewa.

21 Desember 2013

Besok hasil belajar satu semester dibagikan. Aku tidak terlalu gugup atau khawatir seperti temanku. Lagi, temanku mengajak ke desa yang sama untuk berdoa. Kembali aku menolak untuk ketiga kalinya.

22 Desember 2013

Hari ini tanggal mainnya. Hasil satu semester telah terlihat. Nilaiku biasa saja. Ada tiga angka merah. 11 sisanya hitam. Kira-kira apa kabar nilai temanku sang maniak desa sebelah nan mujarab? Entahlah, biarkan saja dia menangis sendiri di pojok sana.

12 Februari 2014

Ternyata keluargaku dililit untuk membiayai pendidikanku dan Dewa serta tanggungan orangtuaku untuk membiayai operasi cangkok jantung nenek. Terpaksa aku harus mencari kerja paruh waktu.

13 Maret 2014

Sebulan belakangan aku mencari tempat untuk kerja sambilan. Aku mendaftar ke beberapa kafe. Sialnya, beberapa ada yang mengharuskan shift pagi yang tentunya akan mengganggu jam sekolahku, dan ada yang lowongannya baru muncul dua bulan kemudian karena sudah penuh dengan pekerja paruh waktu. Sial.

Sore harinya, ibu menelepon. Ibu bilang, untuk bulan ini tidak bisa mengirimkan uang karena sudah habis untuk menyicil utang dan biaya perawatan nenek. Sial kuadrat.

Malam harinya, Mira menelepon. Ya, diam-diam aku masih lanjut dengan Mira. Aku tidak mengindahkan perkataan ibu. Aku ingin sekali cerita kepada Mira terkait masalah yang sedang aku hadapi. Aku kira ini adalah momen yang pas dan menjadi percakapan indah seperti biasa. Ternyata Mira menelepon minta putus. Ternyata selama dua bulan ini Mira sudah bersama dengan laki-laki lain. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang kesialanku masuk ke persamaan eksponensial derajat tiga. Lengkap.

16 Maret 2014

Hari ini pembagian hasil belajar tengah semester. Aku yakin nilaiku baik-baik saja walaupun beberapa waktu lalu aku sibuk mencari pekerjaan paruh waktu. Dari 14 mata pelajaran, terdapat delapan nilai dengan angka berwarna merah. Mantap, eksponensial derajat empat. Lebih lengkap. Apa mungkin akan berlanjut ke persamaan diferensial?

20 Maret 2014

Kini rak bukuku sudah kosong. Buku-buku yang dengan susah payah aku beli harus aku jual demi menyambung hidup. Selain itu, aku juga menjual beberapa perabotan yang ada di kamar kosku. Di kamarku hanya tersisa kasur, tikar, dan rak buku. Mungkin ini yang namanya persamaan diferensial. Memang berbeda dan sangat sial.

Tengah malam ibu menelepon. Ibu menyuruhku berdoa untuk kesembuhan nenek, utang-utang keluarga, serta dapat dikuatkan dan dapat melewati masa sulit ini.

Aku teringat pelajaran Pak Tinus di kelas. Watak Tuhan adalah proyeksi dari watak manusia. Jujur saja, aku tidak enak untuk berdoa saat ini. Aku sangat sungkan untuk berdoa karena aku baru berdoa hanya saat sulit saja. Saat aku senang dan tidak mengalami suatu permasahalahan, aku sama sekali tidak pernah datang kepada Tuhan, walaupun hanya untuk sekadar bersyukur dan berterima kasih.

Kalau aku bisa bersifat sungkan kepada ibu, Mira, atau teman-teman yang lain, kenapa aku tidak sungkan kepada Tuhan? Apa yang membedakan Tuhan dan ibu, jika saya datang kepada Tuhan hanya saat susah? Kalau dianalogikan dengan ibu, sama saja dengan aku hanya menelepon ibu hanya saat meminta uang saja. Aku malu sekali dengan Tuhan. Terlebih, ibadahku selama ini tidak pernah aku tunaikan. Aku yakin Tuhan pasti murka. Mungkin ini cara Tuhan mengekspresikan kemurkaannya dengan memberikanku persamaan diferensial.

Karena aku memposisikan Tuhan sebagai temanku, aku tidak mau berdoa untuk saat ini. Relasiku dengan Tuhan bisa saja terwakilkan dengan pernyataan “teman kalau butuh” jika aku baru datang ke Tuhan sekarang. Sama saja dengan aku menjilat Tuhan. Ke mana aku selama ini? Tapi, aku yakin Tuhan tak lagi duduk di surga. Tuhan telah turun ke bumi untuk membimbingku tanpa aku sadari. Aku berjanji untuk selanjutnya aku akan datang ke hadapan Tuhan dalam keadaan apapun. Baik senang maupun susah, baik suka maupun duka. Tuhan adalah temanku, aku tidak ingin kehilangan teman atau menjilat teman. Tuhan, maafkan temanmu ini.

Kini hanya tersisa aku dan persamaan diferensial tadi. Aku ingin tidur dan bangun dalam keadaan persamaan diferensial itu menemukan solusi umum dan solusi khususnya sendiri.

 

Reynaldo Daniel