Dua tahun semenjak penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran 2016/2017, selama itu pula saya berproses dengan banyak orang dari berbagai daerah di kampus kerakyatan ini, terutama di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL).
Pada masa awal perkuliahan, mahasiswa baru (maba) belum mengenal dunia perkuliahan dengan sepenuhnya. Oleh karena itu, hadirlah acara-acara pengenalan, seperti info day dan open house yang bertujuan mengenalkan dunia perkuliahan kepada maba.
Di DTSL terdapat tiga jenis organisasi, yaitu Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil (KMTS) sebagai organisasi induk, Badan Semi Otonom (BSO), dan sub-bidang. Dalam masa rekrutmen tersebut, BSO dan sub-bidang di kampus berusaha menarik minat maba untuk bergabung dengan mereka. Selebaran dan poster-poster ditempel di sepanjang koridor menuju kampus, media sosial BSO dan sub-bidang juga menyiarkan ajakan-ajakan untuk bergabung. Namun, mengapa pengurus KMTS juga melakukan hal serupa?
Bagi setiap BSO, korsa menjadi penanda bagi mereka bahwa mereka adalah anggota BSO tersebut. Tidak hanya BSO, seluruh mahasiswa pun memiliki korsa khusus, yaitu korsa bertuliskan “CIVIL” disertai tahun angkatan yang memakainya. Korsa ini menjadi penanda bahwa mereka telah melewati serangkaian kewajiban yang kemudian menjadikan mereka bagian dari KMTS UGM. Jika pengurus KMTS mempunyai korsa sendiri, hal ini akan membuat kesan bahwa pengurus KMTS adalah BSO yang terbentuk (berdiri secara terpisah) di lingkungan kampus. Lalu, apa bedanya mereka dengan mahasiswa Teknik Sipil lainnya yang bukan pengurus?
Saat ini, rasanya bukan hal yang tabu apabila mengkritisi sistem yang dijalankan oleh KMTS karena hal tersebut memang diperlukan. KMTS sebagai organisasi mahasiswa merupakan wadah bagi mahasiswa teknik sipil dalam berorganisasi dan bersosialisasi. Seluruh mahasiswa Teknik Sipil berhak terlibat dengan berbagai permasalahan yang ada di KMTS. Membangun solidaritas internal maupun eksternal program studi kemudian mengembangkan mahasiswa dan prodi tersebut merupakan tujuan dibentuknya himpunan.
Pentingnya keterlibatan seluruh mahasiswa dalam menjalankan suatu himpunan tak lepas dari sistem yang ada dalam himpunan tersebut. Jika kita lihat saat ini, kepengurusan KMTS terdiri dari angkatan pertama, kedua, dan ketiga. Namun, hanya beberapa orang dari setiap angkatan yang menjadi pengurus KMTS. Lalu bagaimana nasib mahasiswa lain yang tidak tergabung sebagai pengurus KMTS? Mengapa mereka tidak diikutsertakan dalam kepengurusan?
Apabila membandingkan sistem dengan himpunan mahasiswa lain di Fakultas Teknik, saat ini sistem yang dijalankan oleh KMTS dapat dikatakan berbeda daripada yang lain. Misalnya, di Keluarga Mahasiswa Teknik Geodesi (KMTG) UGM, rekrutmen pengurus baru dilakukan setelah para maba selesai melewati kegiatan “Wahana Inisiasi”. Kegiatan ini menanamkan nilai-nilai “kegeodesian”, kebersamaan, kedisiplinan, dan nilai-nilai penting lainnya yang dirasa harus dimiliki oleh mahasiswa Teknik Geodesi. Setelah menyelesaikan kegiatan “Wahana Inisiasi”, maba dilantik menjadi anggota KMTG, kemudian dibuka rekrutmen pengurus baru oleh para pengurus KMTG periode sebelumnya. Jumlah pengurus yang berada di dalam KMTG pun rata-rata hampir satu angkatan penuh. Anggota KMTG diberi kebebasan untuk memilih menjadi pengurus atau tidak.
Sistem rekrutmen pengurus KMTS jelas berbeda dengan apa yang dijalankan oleh KMTG. Di semester pertama, maba Teknik Sipil sudah mendapatkan kesempatan untuk dapat bergabung menjadi pengurus KMTS. Sedangkan di semester pertama, maba belum mengenal banyak soal kampusnya, bahkan belum dilantik secara resmi sebagai anggota. Apakah tidak terlalu dini untuk melibatkan mahasiswa baru dalam kepengurusan suatu himpunan?
Salah satu pengurus KMTS aktif juga bersuara mengenai hal ini. Menurutnya, mengambil maba sebagai pengurus adalah hal yang terlalu dini. Seharusnya, maba difokuskan terlebih dahulu pada kaderisasi untuk dapat menjadi anggota. Dengan diberikannya waktu bagi maba untuk mengikuti kaderisasi terlebih dahulu, maka akan lebih banyak waktu yang dimiliki oleh maba untuk mengenal kampusnya, baik dari segi fisik maupun non-fisik.
Pertimbangan lainnya adalah pada satu tahun pertama menjadi maba, tentu mereka sedang berada dalam masa transisi dari seorang pelajar menjadi seorang mahasiswa. Banyak nilai-nilai sosial yang perlu ditanamkan dalam setiap diri maba untuk siap menjadi mahasiswa. Apa yang terjadi jika seseorang yang diterima menjadi pengurus adalah sosok yang hanya panas di awal karena euforia menyandang status mahasiswa baru?
Sistem yang digunakan saat ini mengundang berbagai polemik internal di lingkungan KMTS. Persepsi hadirnya kaum elit pengurus yang membuat adanya jarak antara pengurus dan anggota juga dirasakan berbagai pihak. Batas-batas inilah yang seharusnya dihilangkan antara anggota dan pengurus untuk membuat KMTS menjadi lebih baik.
Hadi Triolaksana, alumni Teknik Sipil UGM angkatan 1990 yang merupakan ketua ospek di jamannya bercerita, dulu maba didaulat menjadi anggota KMTS apabila telah menyelesaikan rangkaian kaderisasi. Setelah kaderisasi selesai, diadakanlah penerimaan menjadi bagian dari kepengurusan KMTS UGM dengan syarat bahwa calon pengurus sudah melewati dan lulus dari rangkaian kaderisasi.
Bukankah hal ini hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh prodi lain di Fakultas Teknik terhadap adik-adiknya saat ini? Lalu mengapa kini KMTS memiliki sistem rekrutmen yang berbeda? Apakah hanya karena ego beberapa orang yang ingin membatasi jumlah pengurus atau memang ada hal lain sebagai bahan pertimbangan?
Dalam kaitannya dengan kaderisasi, rekrutmen BSO dan pengurus yang dilakukan saat semester pertama akan berimbas terhadap tidak optimalnya kaderisasi yang dilakukan. Dapat kita lihat selama ini, serangkaian hal yang dilakukan saat rekrutmen pengurus dan BSO membuat mahasiswa lebih terfokus pada hal tersebut. Setelah diterima oleh organisasi masing-masing, nantinya akan ada banyak tugas dari organisasi yang menanti maba. Lalu, kapan maba memiliki waktu untuk dapat dikaderisasi secara optimal jika sejak awal masa kuliah mereka telah disibukkan dengan agenda organisasi?
Urgensi kaderisasi terhadap mahasiswa baru amatlah penting agar tidak menciptakan individu yang apatis terhadap lingkungan sekitarnya. Penanaman nilai-nilai sosial mulai dari nilai kekeluargaan, kebersamaan, rasa saling menghargai, hingga adab sopan santun terhadap sesama perlu ditekankan kepada maba. Sempit sekali apabila ada yang berpikir bahwa kaderisasi hanya dilakukan sebagai ajang balas dendam kakak tingkat kepada adiknya. Padahal, kaderisasi adalah masa untuk mempersiapkan maba sebagai generasi penerus agar mereka bisa meneruskan tonggak kepemimpinan kelak.
Ada nilai positif yang dapat kita ambil jika KMTS kembali menganut sistem terdahulu. Dengan dilakukannya rekrutmen organisasi dan pengurus pada semester dua, maka kaderisasi yang dilakukan terhadap maba dapat lebih efisien karena maba tidak dipusingkan dengan agenda rekrutmen pengurus organisasi. Dampak selanjutnya adalah nilai-nilai yang hendak ditanamkan kepada maba akan tercapai di masa awal perkuliahan, sehingga tidak ada lagi sekat antara pengurus dan anggota karena seluruh maba dinilai sama sebagai satu kesatuan angkatan, tanpa ada mahasiswa yang memiliki organisasi lebih dulu di internal kampus.
Sistem turun-temurun yang tidak sempurna memang masih menjadi masalah yang mengakar di KMTS. Perubahan bukanlah hal yang mudah jika hanya dilakukan sendirian, tapi dengan niat tulus dan aksi nyata dari segala kalangan, niscaya perubahan tersebut dapat tercapai. Sekarang semua kembali ke diri kita masing-masing, apakah ingin ikut andil dalam prosesnya, atau hanya diam dan menunggu perubahan?
Tulisan oleh Satria Bagas Saputra
Ilustrasi oleh Dean Aristya Nugraha