Dua tahun lalu, bagian pertama dari tulisan ini saya tulis. Saat itu, bagian pertama ditujukan untuk memberikan pengalaman pribadi saat sudah satu tahun berkecimpung di dunia jurnalistik kampus. Pengalaman ini ditulis untuk menarik minat anak-anak baru untuk bergabung. Sekarang, setelah satu tahun saya purna dari dunia jurnalistik, mungkin sudah saatnya saya menulis bagian kedua dari tulisan ini.
Puluhan tahun yang lalu, tepatnya pada 1969, para pendahulu berfikir bahwa Universitas Gadjah Mada terutama teknik sipil membutuhkan sebuah wadah jurnalistik sebagai media kontrol dan media publikasi. Terbentuklah majalah mahasiswa teknik sipil dan ilmiah populer, Clapeyron.
Memilih Clapeyron sebagai wadah untuk berkembang merupakan pilihan yang tepat. Selain tidak tertarik dengan kegiatan Badan Semi Otonom (BSO) lain, ternyata Clapeyron memberikan lebih dari sekadar tempat belajar, yaitu rumah untuk kembali. Rumah yang dimaksud bukanlah sekretariat berdinding merah dengan segala macam coretan jadwal di dalamnya. Rumah di sini berarti keluarga, keluarga untuk pulang. Clapeyron diibaratkan seperti Asgard. Seperti kata Odin dalam film Thor, “Asgard bukanlah tempat, Asgard adalah rakyatnya.”
Benar, Clapeyron bukanlah sekre kecil di ujung bangunan sekertariat. Clapeyron adalah segenap awak yang masih bertugas maupun yang telah purna. Hubungan antara awak aktif dengan awak yang telah purna pun baik. Di antara kedua elemen tersebut saling mengingatkan maupun saling bertanya.
Tantangan Sumber Daya Manusia
Memasuki tahun kedua di Clapeyron, saya mendapatkan tugas mengepalai divisi redaksi. Kepala divisi redaksi bertugas memimpin seluruh awak redaksi dari segi hubungan manusia, tugas, dan koordinasi lainnya yang kemudian bertanggung jawab kepada pemimpin redaksi. Mendapat amanah ini merupakan tanggung jawab yang berat, karena ditugaskan untuk menjaga ritme agar tetap baik dan profesional setelah bangkitnya Clapeyron.
Setiap kejadian tidak selalu berjalan mulus. Ada saatnya kami bahagia bukan main karena apresiasi, ada saatnya pula harus keluar sumpah serapah saat mengerjakan tugas menemukan hambatan dan kebuntuan. Itulah keseimbangan, semua hal baik yang diliat orang tentang Clapeyron tidak selamanya melalui proses yang baik. Tidak ada awak yang tersedia, gagal janjian, revisi terlewat masa terbit, adalah hal-hal yang biasa ditemui dalam mengerjakan tugas.
Layaknya keluarga, bertengkar karena hal-hal di atas adalah biasa. Menurut saya, satu hal yang sangat dijunjung oleh Clapeyron dalam bertugas adalah profesionalitas, bukan kekeluargaan. Ada kalanya kami dimarahi habis-habisan karena gagal atau terlambat melakukan tugas, tetapi sehabis itu kami makan malam bersama dan bercanda ria seakan-akan tidak ada yang terjadi. Inilah yang membentuk Clapeyron menjadi organisasi yang profesional, tapi tetap dekat layaknya keluarga.
Satu masalah klasik yang dialami oleh semua organisasi adalah ritme. Ritme tiap orang tentu saja berbeda-beda. Ada yang berlari, tapi ada pula yang terseok-seok. Strategi menyamakan ritme inilah yang menjadi tantangan. Selain menyamakan ritme, tantangan selanjutnya adalah menempatkan awak di tugas yang tepat. Dulu, ada awak yang ahli dalam liputan, ada yang ahli membuat komentar politik, ada yang ahli membuat puisi. Semua diberdayakan sesuai dengan keahlian spesifik masing-masing.
Jika kita berbicara tentang rasa memiliki dalam Clapeyron, mungkin kalian akan beranggapan bahwa hal tersebut adalah kalimat seremonial. Kalimat yang digunakan oleh setiap pemimpin organisasi untuk menumbuhkan rasa semangat bekerja di dalam organisasinya. Hal ini tidak terjadi di dalam Clapeyron, rasa memiliki ditumbuhkan bukan dari kalimat-kalimat penyemangat. Rasa memiliki ditumbuhkan dengan misi bersama, mengerjakan tugas bersama di sekre, bahkan menjadikan sekretariat Clapeyron menjadi tempat tinggal.
Clapeyron Media
Tiga tahun yang lalu, Clapeyron melakukan sebuah terobosan dengan membuat Clapeyron Media. Sebuah diversifikasi untuk menjawab tantangan digital. Media cetak mingguan berupa Clap Post pun dihapus dan dipindahkan ke laman atau media sosial. Sudah tidak terhitung berapa produk digital yang kami hasilkan berupa tulisan atau pun multimedia. Sayangnya, wadah digital ini baru sekadar menjadi wadah. Belum adanya sistem atau model yang diaplikasikan agar traffic pembaca yang masuk ke laman menjadi maksimal.
Tantangan ke depan adalah bagaimana Clapeyron bisa bertahan pada perkembangan zaman. Revolusi industri 4.0 mengharuskan kita untuk berada di dalam era internet of things. Segala hal mulai dari makanan, komunikasi, jasa, dan terutama media sudah berada pada platform daring. Media cetak konvensional mulai terseok-seok untuk bertahan karena memang sudah ketinggalan zaman.
Permodelan bisnis untuk media daring harus dipelajari lebih lanjut. Media daring tidak hanya sekadar menaruh konten di internet, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan agar banyak orang mau masuk ke dalam website. Promosi di akun sosial media tidaklah cukup.
Wadah Diskusi Intelektual Mahasiswa
Berkarya adalah harga mati, suatu hal yang tidak bisa ditoleransi. Karya adalah nyawa dari organisasi jurnalistik ini. Tanpa karya, Clapeyron hanya sekadar tempat-tempat ngumpul yang tidak menghasilkan jati diri. Dengan karya, Clapeyron akan tetap bisa berlari kencang dan dapat berdiri sendiri. Tetapi jangan pernah lupa, tugas jurnalisme mahasiswa adalah mencerdaskan masyarakat dengan publikasi dan diskusi.
Terkadang kita dipusingkan dengan materi apa yang harus dipublikasikan. Padahal kita lupa, banyak orang-orang dengan pemikiran hebat berada di luar lingkaran organisasi ini. Diskusi tentang hal-hal yang sedang hangat sepertinya harus mulai digalakkan kembali agar mahasiswa diajak untuk berpikir secara ilmiah dan belajar mengemukakan pendapat.
Clapeyron harus sanggup menjadi pemantik diskusi antarmahasiswa. Tidak ada lagi organisasi di Kampus Sipil yang mengerti permasalahan pembangunan di luar sana selain Clapeyron. Tidak ada pula yang peduli dengan isu pembangunan selain Clapeyron. Oleh karena itu, dengan bermodal pengetahuan yang lebih, Clapeyron harus bisa menjadi wadah diskusi dan wadah opini sgar budaya berpikir kritis bisa tumbuh di lingkungan mahasiswa.
Wadah ini tidak selamanya harus resmi, bermodalkan lampu dan keramaian di parkiran sehabis maghrib sudah cukup untuk menarik orang untuk ikut diskusi. Berat memang awalnya, tetapi apabila tidak ada yang memulai, sampai kapan diskusi ini hanya menjadi wacana semata?
Puluhan tahun berdiri, Clapeyron tetap saja tidak sempurna, dan jangan sampai sempurna. Kesempurnaan lah yang akan menjadi jebakan kita untuk terus berada di zona nyaman. Hasrat kekurangan di tiap generasi harus tetap ada, agar nafsu untuk mengubah Clapeyron untuk menjadi lebih baik tetap tertanam.
Di ulang tahun yang ke-49 ini harapan saya selalu sama, Clapeyron menjadi tumpuan pencerdasan mahasiswa. Entah nanti bentuk Clapeyron seperti apa, biarlah waktu yang menjawab. Fisik boleh berubah, gaya boleh tidak sama, tetapi dasar jurnalistik untuk pencerdasan harus tetap sama.
Kalau diberi mesin waktu, mungkin saya berharap kembali ke masa mahasiswa baru. Saat itu saya bisa berada di Clapeyron lebih awal, memberikan kontribusi berdasarkan dengan ilmu-ilmu yang saya dapatkan justru setelah selesai bertugas.
Saya memilih Clapeyron sebagai wadah saya ditempa,
Saya memutus untuk mengabdi walaupun sudah purna,
Karena hanya Clapeyron lah yang membuat saya jatuh cinta.
Tulisan oleh Muhammad Ali Akbar (Awak Clapeyron angkatan 2014)