Taat Tenggat

Sebagai penulis, taat tenggat penulisan (deadline) itu ibarat batas pas racikan gula dan kopi. Meski kopinya senikmat apa pun, ketika kebanyakan gula, yaa akan berkurang kenikmatan ngopinya. Sebaliknya, jika kekurangan gula, akan terasa pahit. Kala ada penulis bagus, namun sering telat tenggat, penilaian sebagai penulis bagus pun akan berkurang. Apalagi di dunia industri, tenggat itu hampir sama dengan nyawa media. Begitu lewat deadline, habis.

 

Taat tenggat bagi penulis sudah menjadi karakter yang mewarnai kehidupan. Jika dijabarkan bisa saja menjadi taat aturan, kesepakatan, atawa tidak mengingkari janji dan segala ketentuan. Bisa jadi menjadi sikap yang menghargai waktu, menghormati orang lain.

 

Meski saya tidak lagi bekerja sebagai penulis di industri media massa komersial, namun taat tenggat tetap menjadi acuan penting. Pekerjaan saya sebagai rekanan dalam bidang penyusunan majalah dan buku di institusi kementerian, tetap wajib taat tenggat. Majalah dan buku yang saya susun memang tidak diedarkan di khalayak umum. Pembacanya terbatas di pemangku kepentingan pendidikan. Meski begitu, Kementerian selalu punya target waktu, kapan majalah dan buku-buku itu diedarkan.

 

Pengantar ini perlu saya sampaikan, karena saya sendiri hampir melewati batas waktu penulisan. Clapeyron memberi tenggat waktu penulisan hingga 30 Juni 2018. Pagi ini saya baru menulis. Semoga tidak dinilai telat atau setidaknya nyaris telat.

 

Dunia menulis bagi saya adalah kehidupan saya. Kata, kalimat, dan paragraf adalah kehidupan saya. Ketika orang mengatakan: lulusan Teknik Sipil UGM, kok menulis. Saya sering mencandai saja dengan jawaban: saya kan tetap warga sipil, yang bebas menulis.

 

Saya mengawali bekerja di dunia jurnalistik pada akhir 1997 di Majalah Gatra. Ketika itu saya menjadi calon reporter Biro Jawa Tengah dan DIY Gatra, yang berkantor di Ruko Babarsari, Yogyakarta. Memilih keluar dari Gatra tahun 2003. Setelah itu sempat bekerja berpindah-pindah media: Harian Solopos (2003-2004), Tabloid Koranku (2004), Tabloid Khalifah (2004-2005). Hingga akhirnya memutuskan mandiri, dengan mendirikan perusahaan penerbitan, bersama rekan sesama wartawan Gatra.

 

Sekilas kisah perjalanan pekerjaan saya itu perlu saya sampaikan, karena memang menjadi bagian tak terpisahkan dari pertanyaan: alasan bergabung dengan Clapeyron. Kalau dalam film ada adegan flashback, Juli 1989 adalah bulan bersejarah. Begitu saya dinyatakan diterima di Teknik Sipil UGM pada koran yang memuat pengumuman Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (sekarang Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri),  saya langsung ngebis, dari tempat tinggal saya di Magelang ke Yogyakarta. Padahal jelas hari itu belum dibuka registrasi mahasiswa baru.

 

Saya memang meniatkan untuk langsung melihat kampus saya. Karena memang sebelumnya belum pernah menginjakkan kaki di Kampus Pogung. Dan, mata saya langsung terpaku pada markas Clapeyron. Di kampus lama, Clapeyron menempati ruangan kecil paling depan begitu orang masuk halaman kampus. Hati saya menetapi: saya harus masuk Clapeyron.

 

Clapeyron sudah menjadi dunia saya sebagai mahasiswa baru. Saya masuk Teknik Sipil lebih karena “perintah” almarhum bapak saya. Kecintaan saya sebenarnya lebih pada dunia seni yang penuh imajinasi. Tata letak dan artistik majalah adalah dunia yang saya dambakan. Dunia menulis sejatinya juga dunia seni yang penuh imajinasi. Singkatnya, saya angkatan 1989 tercepat yang “diterima” masuk Clapeyron, ketika yang lain masih berstatus “magang” alias belum dapat job dan jabatan.

 

Padahal, ritual di Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil (KMTS) kala itu, mahasiswa baru dibolehkan beraktivitas di kegiatan KMTS jika sudah mengikuti OPSPEK Sipil, yang baru diadakan akhir semester I. Sementara saya sudah masuk secara tidak resmi di Clapeyron sebelum acara “gojlokan” yang saat itu selalu digelar di Bebeng, Kaliurang. Saya diuntungkan karena pengurus Clapeyron, yakni bagian produksi, tata letak dan artistik sudah absen dari kegiatan. Secara defacto sebenarnya saya sudah kepala bagian produksi, tata letak dan artistik, di saat teman-teman seangkatan baru awal masuk Clapeyron.

 

Di Clapeyron saya banyak belajar dunia tata letak dan artistik. Karena jadi Clapper, saya mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut, yang diadakan Majalah Balairung, UGM. Saya ikut kelas artistik. Dunia jurnalistik mewarnai saya juga, karena otomatis dalam penulisan majalah tetap saja dilibatkan. Apalagi sejak saat itu, saya sejatinya tak ubahnya editor naskah pemula, karena selalu mencermati tulisan yang saya layout. Kemampuan menulis dan tata letak-artistik ini tentu saja tidak pernah didapat di kelas-kelas perkuliahan. Lha wong saya malah jarang kuliah, hehe..

 

Sepertinya sudah tertulis di garis tangan saya. Meski saya awalnya bekerja di kontraktor, toh pada akhirnya saya masuk ke dunia menulis. Memang ada kondisi perekonomian yang krisis mulai September 1997, yang menjadikan saya berpindah haluan dunia kerja. Lowongan kerja sebagai reporter di Majalah Gatra, menjadi jalan hidup baru. Andai tidak diterima di Gatra? Saya yakin tetap akan bekerja di dunia jurnalistik, karena memang saat itu, di era reformasi, media massa sedang tumbuh subur bak cendawan di musim basah.

 

Kembali, soal taat tenggat. Orang mungkin menganggap sepele. Tapi bagi saya, itulah dasar yang membentuk karakter. Karena Clapeyron, saya mengenal tenggat. Saya semakin mengimani tenggat, bukan saja saat bekerja di dunia penulisan, namun dalam keseharian juga. Jadi, kalau mau jadi Clapper, jangan pernah sepelekan tenggat.

Tulisan oleh Dipo Handoko (Awak Clapeyron angkatan 1989)

Penulis Senior dan Desainer dan Tata Letak, Penerbitan Mahamedia Cipta Sarana, Jakarta