Akhir pekan menjadi hari paling memungkinkan bagi saya untuk berada di kampung halaman. Berjarak sekitar 70 kilometer, rumah bisa saya capai dengan waktu satu setengah jam dengan kereta dan berganti ke motor, entah dijemput orang tua di stasiun atau mengandalkan ojek daring. Saya dilahirkan sebagai anak laki-laki dengan dua saudara laki-laki pula, mereka adalah Dhamar dan Drajat. Dari kecil kami memang sudah dilatih untuk berbelanja ke pasar atau sekadar diminta membeli garam di warung sebelah.
Pasar dengan Beribu Sudutnya
Hingga sekarang, kami masih bersentuhan dengan pasar, seperti Pasar Gede atau Pasar Legi, meskipun kami belum sepandai ibu-ibu yang hafal harga bahan. Setiap sudut pasar menjadi bagian yang menarik untuk diamati dari warna-warna kumpulan cabai rawit hingga konflik para buruh gendong yang berebut pengguna jasanya.
Januari 2018 menjadi salah satu hari saat saya diajak belanja besar-besaran untuk pesta pernikahan sepupu. Pada hari itu, ada dua buruh gendong yang benar-benar beradu mulut untuk melayani angkutan kami, yang satu karena memang sudah janjian dengan kami dan yang satunya merasa kami adalah pelanggan setianya. Cekcok mereka berujung sengit dan kami yang mendengarnya merasa kurang nyaman, meskipun pada akhirnya mereka dibayar berdua dan diminta bagi hasil. Senangnya, mereka tampak rukun kembali.
Pasar memang menjadi salah satu tempat bersosialisasi dan bersilaturahim, baik dengan para tetangga dan teman lama yang tidak sengaja bertemu atau dengan pemilik kios langganan. Mereka saling bercakap membicarakan berbagai hal, mulai dari berapa anaknya sekarang hingga membahas isu politik nasional. Tak jarang ku menyaksikan lekuk senyum ibu saat bertemu dengan teman lama yang jarang bersua dan menanyakan, “Ini anak yang nomor berapa?”, tanya teman ibu sambil menyapaku. Pasar merupakan tempat yang indah, bukan? Belum lagi ibu saya sering diberi sekantung sayur secara cuma-cuma kalalu mampir ke salah satu kios di Pasar Legi.
Mulai Meninggalkan Pasar?
Dengan pengamatan kualitatif, kaum remaja jarang tampak di antara riuhnya pasar. Orang dewasa dan lansia terlihat mendominasi pasar. Hal itu membuat saya berpikir, saya rasa perempuan muda yang mau ke pasar akan bertambah kecantikannya.
Tanpa mengetahui alasannya, saya hanya bisa memprediksi penyebab rendahnya minat orang-orang untuk pergi ke pasar. Bisa jadi memang tidak ada waktu ke pasar karena saat pagi harus segera berangkat ke kantor. Kalau ke pasar di sore hari, badan sudah minta istirahat. Mungkin mereka lebih suka menunggu tukang sayur keliling lewat di depan rumah. Atau mungkin sudah belanja di awal bulan sekaligus jalan-jalan dengan keluarga di mall? Tak menutup kemungkinan kalau mereka kurang berminat ke pasar karena kondisi pasar yang kalut, kotor, dan bau.
Di balik stigma masyarakat tentang kurang teraturnya pasar, banyak hal detil yang harus diperhatikan saat perencanaan dan perawatan pasar. Parkir menjadi salah satu hal yang diperlukan dalam mendirikan bangunan seperti pasar. Koridor pasar bagian luar sangat sering dilalui motor yang melawan arus pejalan kaki. Terkadang ada juga yang berhenti, tetap duduk di atas motor, dan membeli barang seakan-akan pelayanan di pasar sama dengan pelayanan drive thru di kedai makanan cepat saji.
Kebiasaan buruk tersebut tentunya mengurangi kenyamanan pejalan kaki. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah memang prasarana parkir belum tersedia dengan jumlah pengunjung yang ada? Apakah karena belum ada penertiban petugas parkir liar? Apakah kini orang-orang malas berjalan kaki menyusuri pasar? Atau apakah karena masalah klasik, yaitu sulitnya menegakkan peraturan yang sudah ada?
Mengingat pasar menjadi lokasi naik turunnya barang, tempat ini tentu akan dimasuki berbagai jenis moda seperti becak, sepeda, motor, mobil, dan truk pengangkut buah. Perencanaan parkir dengan analisis permintaan yang tepat akan menjawab masalah parkir dari segi besaran ruang parkir. Selain itu, tatanan ruang parkir menuju ke pusat jual beli juga perlu dirancang dengan rute optimal agar pengguna kendaraan dapat melintas dengan aman dan nyaman.
Penataan Kios dan Lapak
Jika dibandingkan, tingkat kebersihan pasar tradisional secara umum memang masih jauh dari pasar swalayan. Namun, kalau kita amati, pola pengangkutan barang dari kedua pasar ini memang berbeda. Barang yang diterima di pasar swalayan dilakukan di belakang bangunan dan dilakukan pemilahan. Jika pemilahan sudah selesai, maka barang baru diangkut ke dalam pasar swalayan.
Sementara di pasar tradisional, barang yang datang akan langsung diangkut melalui koridor yang sama dengan tempat berlalulalangnya para pembeli. Barang-barang basah, sepeti sayur, buah, dan daging akan tercecer di koridor. Setelah itu, penjual akan memilah barangnya. Saat pemilahan, masih ada barang yang tercecer lagi. Barang-barang yang tercecer akan terlindas gerobak pengangkut dan kaki pengunjung, sehingga akan melekat dan mengotori lantai. Di pasar yang terdapat blind track seperti Pasar Gede Solo, tekstur yang memandu penyandang tunanetra sudah tidak terasa karena sudah rata dengan sampah-sampah basah yang terinjak-injak.
Hal itulah yang menyebabkan kondisi pasar tradisional menjadi kumuh. Selain itu, masalah tata ruang koridor pasar tradisional yang tak jarang terlalu sempit untuk dilalui dua arah arus juga menambah kekusutan dalam atmosfer pasar tradisional. Hal ini tampak saat pasar tengah ramai, sebab pasar menjadi terkesan sempit dan berdesakan. Paling tidak, pasar harus menyediakan ruang untuk pembeli yang sedang berhenti di kios, dua arus pembeli, dan jalur penyandang tunanetra.
Drainase dan Sanitasi Pasar
Pasar tradisional biasanya didominasi oleh penjual barang basah. Air sering digunakan oleh para pedagang, terutama pedagang daging dan ikan. Jika ada air di dalam ruangan, maka diperlukan sistem drainase.
Sejauh ini, saya melihat masih banyak pasar tradisional yang kurang merawat sistem drainasenya. Saluran drainase terlihat tersumbat, hitam, dan menggenang. Tidak hanya itu, ada juga saluran drainase yang tidak menggenang, tapi saluran terlihat hitam yang tidak sedap dipandang mata.
Mengingat air yang dibuang adalah air cucian bekas daging dan ikan, tentu sistem drainase harus dirancang secara terpadu. Sistem ini juga harus memperhatikan limbah dari toilet. Semakin ramai pasar, maka semakin banyak air yang digunakan. Limbah yang terbuang pun juga semakin banyak. Jika sistem drainase tidak dikelola dengan baik, pencemaran badan air sangat memungkinkan dari berdirinya pasar.
Potensi dan Budaya
Jika pasar diperhatikan dan dirawat dengan baik, pengunjung akan datang lebih banyak. Potensi pertanian, perkebunan, dan peternakan daerah tentu akan tereksploitasi dengan baik. Didukung dengan pemasaran yang baik, buah lokal akan lebih tersentuh masyarakat daripada buah impor di swalayan. Belum lagi jika pasar dikembangkan sebagai pasar wisata, pendapatan daerah tentu akan meningkat dari hasil daerahnya sendiri.
Pergi ke pasar juga akan menjadi sarana pengenalan makanan tradisional. Banyak orang mengatakan anak sekarang tidak tahu dan tidak doyan makanan jadul karena memang tidak dikenalkan. Seberapa banyak anak sekarang tahu gayam rebus, kentang hitam rebus, asinan sawi, telasih kering, hingga bawang tunggal?
Semoga insinyur-insinyur muda dapat membangun dan merombak pasar tradisional menjadi tempat yang nyaman dan ramah dengan memanusiakan manusia melalui prasarana. Kemudian, semakin banyak anak-anak yang tahu tentang makanan lama karena terbiasa belanja di pasar tradisional sekaligus kembali menghidupkan pasar tradisional.
Tulisan oleh Hutama Sektiaji