Hari ini, meski 73 tahun sudah Indonesia merdeka, masih tercatat kecacatan dalam praktik demokrasi pancasila dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat di Indonesia. Kebebasan berpendapat masih digagahi oleh mereka yang mayoritas dan atau berkuasa.
Kini, seakan-akan suara setiap satu orang yang berniat menyebarkan kebaikan menurut tafsirannya sendiri, ada sepuluh orang yang sudah siap mengacuhkan dan mendampratnya. Seharusnya dalam masyarakat demokrasi yang tertib dan beradab, pendapat bersifat tidak absolut dan tidak terkait dengan jumlah pendapat yang sejalan atau golongan yang menduduki kursi kekuasaan.
Sungguh masih banyak dari kita yang belum menyadari atau kurang memahami bahwa kebebasan berpendapat adalah hak fundamental setiap insan di bumi ini. Kebebasan berpendapat merupakan tolak ukur primer bagi peradaban masyarakat demokratis. Bukankah wanita zaman sekarang dinilai lebih maju karena sudah tidak lagi terkekang hak-hak sosial dan buah pikirnya oleh budaya-budaya zaman dulu?
Kebebasan berpendapat idealnya diterapkan tidak hanya berupa gagasan yang disampaikan secara positif dan tidak menyinggung perasaan, tetapi juga berlaku untuk gagasan dengan penyampaian yang negatif dan menghina. Karena bagaimanapun bentuk ekspresi berpendapat, itu adalah hak bagi mereka. Tidak boleh ada intervensi publik di dalamnya.
Sayang, dalam praktiknya kebebasan berpendapat di Indonesia masih dikekang oleh mereka yang mayoritas. Ditambah lagi pasal-pasal karet pencemaran nama baik dan penistaan. Alhasil banyak sekali mereka yang takut menyampaikan kegelisahannya. Takut dicerca makian tetangga atau teman, takut dianggap orang gila, takut dikirim ke penjara.
Padahal, tanpa terciptanya kebebasan pendapat yang plural dan benar-benar bebas, maka demokrasi kita selamanya hanya akan menjadi omong kosong belaka.
Opini ini ditulis dengan tujuan membela dan menghargai mereka yang tersiksa dan terhina karena melantangkan suaranya.
Tulisan oleh Bagas Muhammad