Seorang bocah berlompatan di tengah reruntuhan. Senyumnya semringah, mengalahkan matahari yang terik bersinar. “Ibu! Ibu! Beneran nih kita bisa punya rumah baru?” Perempuan paruh baya di dekatnya mengangguk kuat-kuat. “TV baru, kulkas baru, meja belajar baru, baju baru, buku-buku baru! Terus nanti kamu bisa pergi ke sekolah baru, ketemu temen-temen baru,” ibunya melanjutkan cerita. Anak laki-laki itu tambah girang menatap bongkahan-bongkahan atap rumahnya yang sudah rata dengan tanah. “Asyik! Rasanya kayak natal!”
Di tenda pengungsian, hanya suara mereka berdua saja yang mengisi keheningan. Pengungsi lain sedang beristirahat, memulihkan luka, atau kebanyakan merenung saja memikirkan keluarganya. Haru-biru dan kelam kenangan seakan dipatahkan oleh tawa riang anak ini. Banyak mata memandangnya, berharap bisa kembali seceria dirinya.
“Kalau ayah enggak bisa balik ya, Bu?” tanya anak itu. Aku sempat mengira hening yang menyusul menyisakan ruang untuk sang ibu menangis sendu. Tapi tidak, ia malah tertawa dan menepuk-nepuk dada. “Ibu kan bisa juga pura-pura jadi ayah!” jawabnya. Si anak kembali tertawa-tawa girang dan mengikuti permainan ibunya, ia berkata, “Irfan juga bisa pura-pura jadi abang!”
“Kok kamu mau jadi abang?” tanya seorang anak lain yang terbaring lemah di samping mereka berdua. Irfan terdiam sejenak, tapi ibunya meneguhkan. “Dek Irfan, Dek Irfan, kenapa kamu mau jadi abang?”
“Biar ada yang jagain aku!” kata Irfan. “Juga biar ada yang bantu ibu angkat jemuran, buang sampah, manjat pohon mangga!” sambungnya.
Mendengar jawaban itu, ibunya tertawa geli, “Kalau kamu jadi abang, kamu jagain diri kamu sendiri, dong! Kan kamu juga jadi adek!”
Sejenak tak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Irfan sedang sibuk berpikir. “Iya juga ya ma.”
“Abang aku udah enggak ada.”
Irfan lantas menoleh kepada anak tadi yang memotong perbincangannya dengan sang ibu. Badannya berisi dan bagus, tapi banyak bekas luka tergores. Sedari kemarin ia hanya tergolek lemas menanti seseorang membawakannya makan. Memang ia sendirian, tak seperti Irfan yang masih bisa menemukan ibunya segera setelah menyelamatkan diri. “Kamu mau aku jadi abang kamu? Tapi kamu harus nurut! Nggak boleh makan coklat malem-malem, gak boleh males sekolah, gak boleh baca buku gelap-gelap.”
Anak itu cepat-cepat mengiyakan. “Dulu abangku juga begitu! Dia kalau marah selalu teriak, ‘Hans, kamu tuh ya!’ terus nanti aku nangis, ngadu ke mama,” anak itu tertawa sambil bercerita. Irfan ikut tertawa, menularkan tawa kepada ibu dan beberapa pengungsi lain di dalam tenda.
“Hansss, kamu tuh ya!” tiru Irfan. Hans melanjutkan tawanya yang lantang. Mereka berdua kini duduk berdampingan, tak berbicara apa-apa, hanya saling memandang dan tersenyum kecil.
“Abang Irfan, Adek Hans, udah malem, ayo tidur-tidur, nanti ibu bilangin ke ayah, nih!” kata sang ibu. “Iya, ayo tidur siang dulu!” katanya lagi dengan suara yang diberat-beratkan layaknya seorang ayah. Kedua anak tadi lantas tertawa geli. “Ayo dek, tidur siang! Nanti ayah sama ibu marah,” kata Irfan. Hans lalu berbaring dengan Irfan di sebelahnya, berbisik-bisik berdua sebelum akhirnya memejamkan mata.
Saat keduanya terlelap, getaran kecil terasa mengguncang tanah. Spontan sang ibu berdiri dan bersiap menyelamatkan kedua anak tadi. “Aman, aman, cuma gempa susulan!” kata petugas jaga di luar. Pengungsi perlahan-lahan mengendurkan adrenalin yang sempat meninggi.
“Huh, panik saya setiap kali berasa getaran. Jadi parnoan!” keluh seorang ibu. Beliau duduk di sebuah tumpukan kayu dan enggan merebah kembali seperti sebelumnya. Pasi masih membayangi wajahnya.
“Tenang Bu, kalau ada getaran, nanti saya yang paling duluan bangunin Ibu!” kata ibunya Irfan. Dengan kondisi badan yang masih lumayan sehat, hanya sedikit kotor, dan tergores, ibu Irfan dengan senang hati berteriak keras-keras setiap ada goncangan.
“Eh, enggak tahunya bukan diguncang gempa bumi, cuma kepala saya aja yang lagi pusing tujuh keliling,” gurau ibu Irfan. Beberapa lengkung senyum tercipta di bawah tenda itu, tak sanggup tertawa tetapi terpercik sedikit bahagia.
“Saya kangen banget sama bapak, sama anak-anak,” kata seorang ibu yang lain. Sepertinya tak ada yang bisa menahan diri untuk berdiam di atmosfer yang sudah berubah ini. Beberapa ibu lain mendukung dan beberapa yang lain mengangguk-angguk setuju. Mereka bercerita tentang susahnya mencari kesana-kemari, berharap tragedi segera berlalu dan mereka bisa berkumpul bersama lagi.
“Dan kalau nanti kita sudah kembali sama-sama, kita pasti berharap siapapun mereka berbahagia, di mana pun berada.” kata ibu Irfan.
Ditulis oleh Mercy.