‘Hati-hati Riko,’ ujarku penuh nada kekhawatiran. Hari ini adalah hari ketiga pasca tsunami yang menyerang kota kami, Palu. Tuhan mengambil Bapak, Ibu, dan Bang Fiyan. Serta rumah kami hilang bak ditelan bumi.
Saat itu aku sedang bersiap ke rumah bu Dian untuk mengantar pesanan kue Barongko. ‘Intan akan pulang, ibu pesan Barongko 30 bungkus ya.’ Katanya minggu lalu.
‘Juli pamit ya Buk, mau antar kue, Assalamualaikum.’ Ibu tidak membalas salamku, kurasa Ibu sedang istirahat setelah membantuku membungkus kue barongko.
Sambil berjalan aku menghitung-hitung keuntungan hasil pesanan bu Dian yang akan kupakai untuk membeli perlengkapan anak pertamaku, yang masih didalam perutku ini. Tiba-tiba aku merasakan pusing yang sangat hebat, aku merasa semuanya bergoyang, tidak terlintas sedikit pun dibenakku bahwa ini adalah bencana alam yang sangat hebat, aku terjatuh sambil terus memegangi perutku, kulihat sekeliling dan melihat rumahku dalam sekejap sudah berubah menjadi lumpur. Ibu masih ada didalam sedang beristirahat.
Aku terbangun dengan sangat lemas ketika beberapa orang menggendongku menuju tempat pengungsian, mereka segera memeriksa kandunganku yang sudah berjalan 28 minggu sambil berkata ‘Alhamdulillah masih selamat.’ Seseorang mengucapkannya dengan sangat lega dan tersenyum lebar kepadaku. ‘kandungan Ibu masih selamat.’ akupun menangis tersedu-sedu sambil bersyukur bahwa anakku masih bernapas di dalam perutku.
‘Kak Juliii.’ Teriak adikku sambil berlari memelukku dengan sangat erat seolah dia tidak ingin aku kemana-mana. Aku balas memeluknya dengan bercucur air mata. Tak kuasa menahan rasa sedih dan lega, bahwa Riko adikku, adikku satu-satunya selamat.
‘Riko lihat kak, Bapak sama Bang Fiyan tertidur diantara hancurnya rumah Faiz kak, mereka sedang tidur sangat lelap sampai-sampai Riko bangunin ndak bangun, kata Bang Anto mereka sudah di Syurga, dan disana tempatnya indah sekali sehingga Bapak sama Bang Fiyan ndak mau bangun.’ Aku mencoba tersenyum tegar sambil terus mengusap kepala Riko selagi ia bercerita meninggalnya Bapak, dan suamiku Bang Fiyan.
‘Kak Juli, Riko main ya sama temen-temen Riko.’
‘Hati-hati Riko.’ Kulihat tubuh kecil nan lincah berlari menuju beberapa anak di depan posko pengungsian, air mataku sudah berjatuhan sedari tadi. Aku tidak tahu bagaimana caranya melanjutkan hidupku, Bapak, Bang Fiyan, bahkan Ibu sudah pergi semua, rumah kami hancur, harta kami hilang, bahkan kampung tempatku tinggal lenyap. Hanya tersisa anakku, permata yang akan kujaga, bersama Riko yang akan selalu menghiburku.
Tuhan jika memang ini cobaan bagi kami kuatkanlah tiap jiwa kami menghadapi cobaanmu, ikhlaskanlah hati kami karena sudah ditinggal oleh orang-orang yang kami cintai, teguhkanlah hati dan raga kami menjalani semuanya, semoga kami orang-orang yang kehilangan, ditinggalkan, bisa bangkit kembali, bisa tersenyum kembali, dan membuat kota Palu kembali hidup seperti dulu kala.
*Cerita tentang keadaan disana hasil dari menonton dan membaca beberapa berita tentang Palu. Tidak ada maksud hati menyinggung dan menyakiti para korban. #IndonesiabersamaPalu
Ditulis oleh Vira Adriani.