Satu hari setelah gempa pertama terjadi di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, alumnus Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL) Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM), Joko Sumiyono, mengunjungi daerah tersebut untuk melakukan asesmen. Bersama beberapa dosen dari DTSL FT UGM, mereka melakukan asesmen terhadap bangunan-bangunan publik, seperti rumah sakit dan rumah ibadah.
Dari hasil asesmen, penyebab kerusakan bangunan akibat gempa Lombok adalah tidak terpasangnya tulangan dalam baja sesuai ketentuan atau memang belum menggunakan sistem konstruksi baja tulangan. Untuk jumlah pastinya, Joko belum dapat memastikan persentase bangunan yang tidak memakai baja tulangan, bangunan yang sudah memakai tulangan tapi tidak sesuai ketentuan, serta bangunan yang sudah memakai tulangan dan sudah sesuai ketentuan. “Dibutuhkan sampling untuk dapat menentukan hal tersebut,” ujar Joko.
– Tingkat Kerusakan Bangunan –
Asesmen yang dilakukan merupakan asesmen sederhana; pengujian hanya dilakukan lewat pengamatan. Secara singkatnya, kita mengamati bentuk kerusakan yang ada, kemudian kita tentukan tergolong dalam tingkat apakah kerusakan tersebut.
Jika retakan hanya terjadi di dinding, maka kerusakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kerusakan ringan (RR) dalam ketentuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Jika kerusakan terjadi di balok, maka kerusakan dapat tergolong sebagai kerusakan sedang (RS). Jika kerusakan sudah tampak di bagian kolom, maka kerusakan tergolong sebagai kerusakan berat (RB).
Mengapa kerusakan di balok tergolong sebagai kerusakan sedang? Menurut Joko, bangunan masih dapat berdiri meskipun telah ada retakan di bagian balok. Untuk dapat lanjut ke tahap keruntuhan, dibutuhkan gaya gempa yang lebih besar atau durasi gempa yang lebih lama.
Sedangkan berdasarkan struktur beton bertulangnya, Imam Satyarno, dosen DTSL FT UGM yang ahli di bidang rekayasa gempa, evaluasi seismik dan retrofit, mengatakan terdapat tiga tingkat kerusakan bangunan.
Kerusakan termasuk rusak ringan jika hanya terjadi keretakan atau betonnya terkelupas, tetapi baja tulangannya belum terlihat. Rusak sedang jika selimut beton terkelupas, tetapi baja tulangannya masih lurus, belum retak atau belum putus, dan beton bagian dalam terlihat masih kompak. Rusak berat jika selimut beton terkelupas dan terlihat ada baja tulangan yang bengkok atau putus, serta bagian dalam beton terlihat sudah tidak kompak.
– Kolom Kuat Balok Lemah –
Dalam membangun sebuah bangunan tahan gempa, konsep pembangunan Strong Column and Weak Beam diterapkan untuk mencegah risiko kerusakan bangunan akibat gempa. Maksud dari prinsip ini adalah jika terjadi keruntuhan, retakan terjadi di balok terlebih dahulu, sehingga penghuni dalam bangunan sempat keluar untuk menyelamatkan diri.
Dengan prinsip tersebut, kapasitas kolom harus lebih besar daripada kapasitas balok. Dalam tahap konstruksi, kolom dirancang berdasarkan kapasitas balok, tapi tetap mempertimbangkan hasil mekanika hitungan untuk gaya-gaya dalam kolom.
– Pertahankan atau Rubuhkan? –
Lalu bagaimana cara merenovasi bangunan-bangunan yang terdampak gempa? Jika bangunan mengalami kerusakan ringan atau non-struktural (atap, plafon, dinding, partisi, pintu, jendela, tangga), maka dapat dilakukan perbaikan hanya di bagian yang retak. Namun, jika bangunan mengalami kerusakan berat atau struktural (pelat, balok, kolom, fondasi), maka bangunan harus diperbaiki atau dibongkar total.
Untuk ke depannya, Joko berharap agar sistem konstruksi di Indonesia dapat lebih diperhatikan lagi mengenai kualitasnya dan kesesuaiannya dengan standar yang telah ditetapkan. Agar asesmen lebih akurat, Joko menganjurkan asesmen dilakukan sebelum dan sesudah bangunan terkena dampak gempa.
Tulisan oleh Hanan Zharifah W
Gambar oleh Afif Rachmadi
————————
Dapatkan informasi lainnya dengan mengikuti media sosial kami:
Line: https://line.me/R/ti/p/%40asx6449h
Instagram: @clapeyron.ugm
Laman: clapeyronmedia.com
Surel: humas@clapeyronmedia.com
————————
#bangunan #kerusakan #bencana #clapeyron