Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang sangat melimpah. Kekayaan sumber daya alam ini harus dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk kemakmuran rakyat. Agar dapat memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah tersebut, diperlukan sumber daya manusia yang melimpah pula. Namun sayangnya, potensi sumber daya manusia itu tidak tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Kepadatan penduduk di Indonesia lebih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Padahal, daya tampung dan daya dukung dari pulau-pulau ini guna memenuhi kebutuhan hidup bagi penduduknya sudah sangat minim.
Melihat ketidakseimbangan antara potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia tersebut, pemerintah membuat suatu program khusus yang bernama transmigrasi. Transmigrasi merupakan pemindahan penduduk dari pulau-pulau yang terlalu padat penduduknya ke pulau-pulau yang kepadatan penduduknya masih cukup rendah dan potensi alamnya masih belum digarap secara intensif. Program ini bertujuan untuk meratakan persebaran penduduk Indonesia dikarenakan sejak zaman dahulu persebaran penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa. Selain itu, transmigrasi juga merupakan sebuah upaya untuk mendorong penduduk yang melakukan transmigrasi (transmigran) untuk mengolah lahan pertanian di luar Pulau Jawa yang belum banyak termanfaatkan pada masa orde baru.
Sebelum pemerintah Indonesia membuat program transmigrasi, pemerintah kolonial Belanda yang saat itu menjajah Indonesia menggunakan program serupa yang disebut kolonisasi. Latar belakang dari kolonisasi itu sendiri dikarenakan lahan pertanian di Pulau Jawa yang semakin menyusut serta peningkatan penduduk yang tajam dan banyaknya lahan yang belum tergarap di luar Pulau Jawa. Pemerintah kolonial Belanda mengadakan program ini sebagai bagian dari politik etis yang bertujuan mengurangi penduduk Pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah serta kebutuhan akan tenaga kerja di luar Pulau Jawa.
Lokasi yang menjadi tujuan program transmigrasi adalah Pulau Sumatera, tepatnya di wilayah yang sekarang bernama Provinsi Lampung. Transmigran pertama tiba pada 12 Desember 1905 berjumlah sebanyak 23 Kepala Keluarga. Kini, setiap tahunnya, tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Bakti Transmigrasi. Mereka berasal dari Karesidenan Kedu, Jawa Tengah. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengadopsi program kolonisasi ini menjadi program transmigrasi. Sebagai modal awal pemerintah memberikan tanah yang luasnya dapat mencapai 5 hektare dan sebuah rumah untuk ditempati para transmigran.
Transmigrasi mencapai puncak kejayaannya pada era orde baru ketika Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada masa itu, kebijakan Orde Baru mengenai transmigrasi tidak semata-mata untuk memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar pulau, melainkan juga menekankan pada produksi beras untuk mencapai swasembada pangan. Pembukaan daerah transmigrasi diperluas sampai Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi, bahkan Papua.
Pada masa reformasi, program transmigrasi berhasil memindahkan lebih banyak penduduk Pulau Jawa. Namun, upaya pemindahan ini ternyata masih belum berhasil mengimbangi pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang meningkat dengan cepat. Jika dikaitkan dengan tujuan pengurangan penduduk Pulau Jawa, maka program ini dikatakan belum tepat sasaran. Dampak pemerataan pembangunan yang diharapkan juga belum begitu terasa. Oleh karena itu, disusunlah sebuah terobosan baru di bidang transmigrasi. Pelaksanaan transmigrasi tidak lagi diprioritaskan pada pemerataan penduduk, namun difokuskan kepada pembangunan daerah.
Dalam perjalanan panjang pelaksanaan transmigrasi, fakta-fakta yang ada menunjukkan berbagai keberhasilan program ini baik dari sisi tujuan demografis maupun non-demografis. Namun demikian, berbagai stigma negatif juga menyertai perjalanan program transmigrasi ini, yang menyebabkan menurunnya kinerja transmigrasi sejak reformasi atau era otonomi daerah dan penolakan transmigrasi di beberapa daerah. Transmigrasi dapat menjadi contoh dalam konteks pengembangan wilayah di Indonesia. Dalam konteks tersebut, maka diperlukan reorientasi pelaksanaan program transmigrasi.
Reorientasi utama terkait dengan pengembangan wilayah adalah bagaimana menempatkan kawasan transmigrasi sehingga dapat benar-benar terintegrasi dengan wilayah-wilayah sekitarnya sebagaimana suatu kawasan fungsional, sehingga tidak menjadi kawasan yang bersifat ekslusif. Usaha-usaha yang dilakukan dalam hal ini adalah merancang keterkaitan antara kawasan transmigrasi dengan wilayah-wilayah sekitarnya, baik keterkaitan sosial, ekonomi maupun budaya. Keterkaitan yang kuat ini diharapkan dapat meminimalisasi berbagai stigma negatif dari program transmigrasi dan sekaligus akan mampu memicu pengembangan wilayah khususnya wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Untuk mendukung reorientasi pembangunan kawasan transmigrasi, sudah waktunya dikembangkan konsep dan strategi baru pengembangan kawasan transmigrasi disertai dengan indikator-indikator pengembangan yang lebih komprehensif, baik menyangkut indikator perkembangan fisik, perkembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tulisan oleh Millennia Annisa
Gambar oleh Elvira Apriana