Air merupakan salah satu dari inti kehidupan bagi makhluk hidup di alam semesta. Bahkan, tubuh manusia sendiri terdirikan dari rata-rata 60-70 persen air. Sayangnya entah sadar atau tidak, manusia turut andil mengacaukan ketersediaan air yang layak bagi dirinya sendiri maupun makhuk hidup bumi lainnya. Menurut National Geographic, saat ini jumlah air tawar di bumi hanya sebesar 2.5 persen, lebih parahnya lagi hanya 0.1 persen saja air yang mudah diakses untuk dikonsumsi.
Salah satu akibat kegiatan manusia yang mengacaukan ketersediaan air adalah pengubahan zona hijau menjadi bangunan dan situs eksploitasi. Menurut pemaparan Danis Hidayat Sumadilaga, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI, dari 174 kota yang tergabung dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) di Indonesia hanya 12 kota yang memiliki ruang terbuka hijau (RTH) lebih dari 30 persen. Hal ini menyebabkan air hujan yang jatuh ke bumi tidak dapat diresapkan ke tanah dan melimpas begitu saja menuju sungai. Selain itu, pengambilan air tanah secara masif juga memperburuk keadaan.
Tergantikannya zona hijau dan pengambilan air tanah secara masif mengakibatkan terjadinya kekurangan maupun kelebihan air yang belum dapat dikendalikan, Misalnya, kekeringan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat pada musim kemarau 2019 serta banjir yang terjadi pada awal 2020 di Jakarta. Lebih parahnya lagi, pencemaran oleh limbah industri maupun rumah tangga juga ikut andil mengurangi jumlah air yang layak dikonsumsi. Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024, luas wilayah kritis air pada tahun 2000 sebesar 6 persen dan diprediksi akan meningkat hingga sebesar 9.6 persen pada 2045. Selain itu, dalam RPJMN tertera bahwa saat ini ketersediaan air sudah tergolong langka hingga kritis di sebagian wilayah pulau Jawa dan Bali.
Pemikiran dan teknologi senantiasa dikembangkan dalam rangka mengatasi permasalahan ketersediaan air serta menjaga kelestarian air hingga masa mendatang. Salah satunya adalah dengan penerapan pembangunan yang berpedoman pada konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Konsep ini mengisyaratkan kepada tiap negara bahwasanya segala bentuk kegiatan manusia hendaknya mempertimbangkan 17 tujuan dengan 169 capaian yang ditargetkan selesai pada 2030 nanti. Pembangunan sistem drainase berwawasan lingkungan (eco-drainage) dapat menjadi contoh nyata penerapan tersebut. Eco-drainage merupakan salah satu komponen dalam isu naturalisasi yang diperdebatkan masyarakat Indonesia pada awal 2020 lalu.
Sistem Drainase Kota Bersahaja
Eco-drainage memiliki konsep bahwa limpasan air hujan di permukaan tanah perlu dikurangi dengan cara ditampung atau diresapkan terlebih dahulu agar dapat digunakan untuk mengisi kembali pasokan air tanah (konservasi air). Menurut Sunjoto, Guru Besar Teknik UGM yang ahli di bidang keairan dan lingkungan, eco-drainage termasuk ke dalam salah satu mazhab dalam teknik drainase, yaitu mazhab Pro-Water atau Recharge System Drainage. Komponen bangunan eco-drainage meliputi sumur peresapan air hujan (SPAH), parit peresapan air hujan (PPAH), taman peresapan air hujan (TPAH) ataupun waduk, embung, telaga, situ, dan retarding basin (kolam perlambatan) lainnya. Mazhab ini diklaim dapat menyelesaikan 3 masalah utama sekaligus, yaitu banjir, kelestarian air tanah, dan pengendalian polusi.
Adapun eco-drainage akan dapat menjadi solusi dari pemasalahan air apabila dilakukan perencanaan yang matang dan mempertimbangkan beberapa faktor. Menurut Sunjoto (2006), faktor tersebut antara lain :
- Genangan
- Daerah tangkapan hujan
- Tataguna lahan
- Aspek hidrologi
- Topografi
- Sifat Tanah
- Master Plan/RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
- Demografi
- Prasarana dan utilitas
- Material yang tersedia
- Kesehatan lingkungan
- Kelembagaan Perundangan
- Persepsi masyarakat
- Sosial ekonomi
- Biaya
Penggunaan eco-drainage tidak hanya membangun bangunan keairan, tetapi turut memperbaiki lingkungan. Beberapa manfaat yang didapat yaitu memperkecil debit limpasan air hujan tertinggi pada bagian hilir sungai, memperkecil dimensi jaringan drainase kawasan, mencegah banjir lokal, mengkonservasi air hujan yang jatuh, mempertahankan tinggi muka air tanah, mencegah intrusi air laut, memperkecil konsentrasi polutan, dan mecegah terjadinya penurunan tanah maupun sinkhole. Selain itu, penerapan eco-drainage dapat memberikan manfaat secara sosial-budaya seperti melestarikan teknik tradisional, turut mensejahterakan masyarakat secara kolektif, dan menghilangkan keresahan warga yang tinggal di daerah berpotensi tergenang.
Bukan Angan Belaka, Melainkan Kisah Nyata
Salah satu negara yang telah berhasil menggunakan eco-drainage sebagai solusi atas masalah air di kawasan urban adalah Singapura. Singapura, dengan segala keterbatasan sumber daya airnya, berusaha untuk bisa mandiri dalam rangka pemenuhan kualitas dan kuantitas kebutuhan air serta penanganan masalah banjir di negaranya. Menurut Public Utilities Board (PUB) Singapura, sekitar tahun 1960-1970 Singapura mengalami banjir berkepanjangan selama musim hujan. Namun, berkat keberhasilan sistem manajemen air Singapura yang di dalamnya termasuk eco-drainage, daerah rawan banjir di Singapura dapat berkurang secara signifikan, yaitu sebesar 3200 hektare pada 1970 menjadi 30.5 hektare pada 2016 lalu. Saat ini, dua pertiga dari luas daratan Singapura sudah digunakan sebagai daerah penangkap air hujan. Air hujan yang jatuh di area tersebut akan dikumpulkan melalui sistem drainase, kanal, dan sungai sebagai long storage sebelum disalurkan menuju 17 waduk.
Menurut Sunjoto, salah satu penyebab eco-drainage tidak berjalan sesuai semestinya dalam penerapannya di Indonesia adalah kurangnya perhatian pemerintah maupun masyarakat terhadap permasalahan lingkungan yang tercerminkan dalam setiap kebijakan serta tindakannya. Sunjoto menyebutkan kendala dari penerapan sistem ini di Indonesia, mulai dari pelaksanaan proyek yang tidak sesuai perencanaan berkonsep berkelanjutan, tidak adanya integrasi dalam pengelolaan air antardaerah, dan kurangnya hukum yang mengikat masyarakat untuk menerapkan sistem drainase yang berwawasan lingkungan. Hal ini diperparah kurangnya edukasi dari pemerintah untuk masyarakat akan pentingnya penggunaan eco-drainage.
Indonesia Kaya, Jangan Hanya Banyak Bicara
Sungguh miris rasanya, Indonesia yang dianugerahkan dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah justru membuat kebanyakan manusia Indonesia kurang menghargai dan merawat setiap cuil anugerah yang telah kita dapatkan. Mulai dari air hujan yang melimpah, matahari hangat yang senantiasa menyinari kita, dan masih banyak lagi. Jika memang pemerintah belum bisa membuat perubahan signifikan untuk merawat serta melestarikan SDA yang kita miliki, mari kita senantiasa sadar bahwa di setiap detik yang kita alami, anugerah Sang Maha Kuasa selalu mengiringi. Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa melakukan usaha seoptimal mungkin dalam rangka mensyukuri setiap jengkal anugerah tersebut. Senyatanya tiap individu bisa berkontribusi nyata dalam membuat perubahan mulai dari lingkungan rumahnya sendiri. Caranya dengan memastikan bahwa air hujan yang jatuh di halaman rumah kita tidak melimpas begitu saja dan menjadi salah satu kontributor permasalahan banjir di perkotaan. Layaknya SDGs yang senantiasa menekankan “make every drop counts”, bahwa tiap tetes air itu sesungguhnya adalah anugerah.
Tulisan dan data oleh Taufan Rosyadi Yusuf
Gambar oleh Aulia Rahma Sekar